Jumat, 04 Januari 2019

Kisah misionaris yang mengalami kepahitan terhadap Tuhan




Pada tahun 1921 ada 2 pasang Suami Istri dari Stockholm (Swedia) menjawab panggilan Tuhan untuk melayani misi Penginjilan di Afrika. 

Kedua pasang Suami Istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan Injil dalam suatu Kebaktian Pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk melayani Negara Belgian Kongo yang sekarang bernama Zaire. 

Mereka adalah David Flood dan isterinya Svea. Serta Joel Erickson dan isterinya Bertha.

Setelah tiba di Zaire mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk Malaria. 

David dan Svea membawa Anaknya David Jr yang masih berumur 2 Tahun. Dalam perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria. Namun mereka pantang menyerah dan rela mati untuk Pekerjaan Injil. 

Tiba di tengah Hutan mereka menemukan sebuah Desa di pedalaman. Namun ... penduduk desa tidak mengijinkan mereka memasuki desanya. "Tak boleh ada orang kulit putih yang boleh masuk ke desa. Dewa-dewa kami akan marah" demikian kata penduduk desa itu.

Di desa N’dolera itu mereka di tentang habis oleh Kepala Suku yang khawatir kehadiran orang-orang putih ini membuat dewa-dewa setempat murka. 

Jadi di dirikan lah sebuah pondok dari lumpur kira-kira 750 Meter di luar desa. Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. 

Setelah beberapa bulan tinggal di tempat itu, mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa. 

Setelah 6 Bulan berlalu Keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor Misi. Namun ... keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal. Apalagi karena saat itu Svea baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk. Di samping itu David juga menginginkan agar anaknya lahir di Afrika. Ia sudah bertekad memberikan hidupnya untuk melayani di tempat tersebut.

Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang semakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk asli dari desa tersebut. 

Anak kecil itu lah satu-satunya kontak dengan penduduk lokal yang di ijinkan menjual telur dan daging ayam seminggu 2 kali dan di sambut dengan senang hati dibimbing kepada Kristus.

Dapat dikatakan anak kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui Keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini hanya tersenyum kepadanya. 

Penyakit malaria yang di derita Svea semakin memburuk sampai ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa. 

Namun ... Svea tidak mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya semakin sangat buruk dan menjelang kepergiannya ia berbisik kepada David, "Berikan nama Aina pada anak kita" lalu ia meninggal. 

David sangat terpukul dengan kematian Istrinya. Ia membuat peti mati untuk Svea lalu menguburkannya. Saat ia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis bayi perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. 

Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan emosi yang tidak terkontrol David berseru marah: "Tuhan mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau?! Istriku yang cantik dan pandai sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 Tahun dan nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami ada di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan Aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku!"

Kemudian David kembali ke kantor Misi Afrika. Saat itu David bertemu lagi dengan Keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh kejengkelan: "Saya akan kembali ke Swedia! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu." Kemudian David memberikan Aina kepada Keluarga Erickson untuk dibesarkan. 

Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek Kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Tuhan. Ia menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya bahwa ia telah mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak memperdulikannya.

Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan di depannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum minuman keras. 

Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan suami-istri Erickson yang merawat Aina meninggal karena di racun oleh Kepala Suku dari daerah di mana mereka layani. 

Selanjutnya si kecil Aina di asuh oleh Arthur dan Anna Berg. Keluarga ini membawa Aina ke sebuah desa yang bernama Masisi, Utara Kongo. Di sana Aina dipanggil "Aggie". Si kecil Aggie segera belajar bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Kongo. 

Pada saat-saat sendirian Aggie sering bermain dengan khayalan. Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki 4 saudara laki-laki dan 1 saudara perempuan. Dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya.

Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya. Dalam khayalannya ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu memandang dirinya. Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis. 

Saat Aggie beranjak dewasa ia mendapat kiriman majalah Kristen dengan berbahasa Swedia di kotak suratnya. Saat ia melihat sebuah halaman di majalah tersebut ia terhenti kaget karena foto-foto yang ada di majalah tersebut. 

Ada sebuah kuburan primitif dengan Salib Putih dan di Salib tertulis nama Svea Flood. Aggie pun spontan beranjak ke mobilnya dan pergi menemui seseorang yang bisa menerjemahkan artikel berbahasa Swedia tersebut. 

Kemudian Penterjemah membacakan dengan ringkas bahwa dulu ada pasangan suami isteri misionaris yang datang ke Afrika dan memperkenalkan Yesus kepada seorang bocah laki-laki. 

Suami-isteri ini dikaruniai seorang anak perempuan tapi ibunya meninggal dunia setelah beberapa hari. Namun melalui anak kecil yang pernah di bimbing Svea Flood Tuhan telah menyelamatkan 600 Orang Zaire. 

Ketika si bocah tersebut beranjak dewasa ia mendirikan sekolah di desanya tersebut dan oleh semangat belas kasihan Kristus yang ia peroleh dari Svea kini ia telah menjadi Pemimpin dari Gereja Pentakosta di Zaire dan memimpin 110.000 Orang-orang Kristen di Zaire. 

Sejak itu Aggie pun berusaha mencari tahu keberadaan Ayahnya.
Tapi sia-sia. Aggie menikah dengan Dewey Hurst yang kemudian menjadi Presiden dari Sekolah Alkitab Northwest Bible College. 

Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dan telah mempunyai 5 orang anak, 4 putra dan 1 putri (tepat seperti khayalan Aggie). 

Suatu ketika ... Sekolah Alkitab memberikan tiket pada Aggie dan suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari ayahnya. 

Saat tiba di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall. Di tengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan Penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang Pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.

Setelah selesai acara ia mendekati Pengkotbah itu dan bertanya, "Pernahkah Anda mengetahui pasangan Penginjil yang bernama David dan Svea Flood?" 

Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, "Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak. Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang." 

Aggie segera berseru : "Sayalah bayi perempuan itu. Saya adalah Aggie - Aina."

Mendengar seruan itu Ruhigita Ndagora si Pengkotbah kulit hitam itu segera menggenggam Tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita. Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. 

Ia bertumbuh menjadi seorang Penginjil yang melayani Bangsanya.
Pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 Orang Kristen, 32 Pos penginjilan, beberapa Sekolah Alkitab dan sebuah Rumah Sakit dengan 120 tempat tidur.

Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm. Berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel ke-3 saudaranya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara 5 orang. 

Ia bertanya kepada mereka: "Dimana David kakakku?" Mereka menunjuk seorang laki-laki yang duduk sendirian di lobi. David Jr adalah Pria yang nampak kering lesu dan berambut Putih. Seperti Ayahnya, ia pun di penuhi oleh kekecewaan dan kepahitan hidup yang berantakan karena alkohol. 

Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata ... semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. 

Aggie bertanya: "Bagaimana dengan saudara perempuanku?" Tak lama kemudian saudara perempuannya datang ke hotel dan memeluk Aggie serta berkata: "Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu ke mana-mana."

Saudara Perempuannya juga telah menjauhi ayahnya tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie bertemu ayahnya. Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk pintu datanglah seorang wanita dan mempersilahkan mereka masuk. 

Di dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman. Di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang Penginjil. Ia berumur 73 Tahun. Menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya. 

Aggie jatuh di sisi ayahnya dan menangis, "Ayah... aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika."

Sesaat ... orang tua itu menoleh dan memandangnya. Airmata membasahi matanya. Ia menjawab, "Aku tak pernah bermaksud membuangmu. Aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi".

Aggie menjawab, "Tidak apa-apa ayah. Tuhan telah memelihara Aku." Tiba-tiba wajah ayahnya menjadi gelap, "Tuhan tidak memeliharamu!" ia pun mengamuk. "Tuhan telah menghancurkan seluruh keluarga kita! Tuhan membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada 1 pun hasil di sana. Semuanya sia-sia!" 

Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang Pengkotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan Penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. 

"Sekarang semua orang mengenal anak kecil si Pengkotbah itu. Kisahnya telah di muat di semua Surat Kabar".

Saat itulah ... Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar. Dan tidak sanggup menahan airmata. Lalu bertobat. Tak lama setelah pertemuan itu David Flood meninggal. Tetapi Tuhan telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.

Pesan ini ditujukan kepada semua orang yang merasa bahwa ia berhak untuk marah kepada Tuhan

Mungkin awalnya di mata David Flood, ia dan istrinya telah gagal sebagai seorang misionaris. Namun ... jerih payah di dalam Tuhan tidak pernah sia-sia. 

Terbukti ... bahwa belas kasihan dan keperdulian yang disertai pemberitaan Injil terhadap 1 orang melahirkan 600 orang yang bertobat dan di-muridkan. 

Beberapa tahun kemudian Aggie dan suami mengunjungi desa N’dolera tersebut. Disambut riuh rendah penuh sukacita. Mereka berziarah ke kubur Svea Flood. 

Aggie berlutut mengucap syukur di sana dan Pendeta setempat membacakan 2 ayat berikut :

Yohanes 12:24 Aku berkata kepadamu : Sesungguhnya jikalau Biji Gandum tidak jatuh ke dalam Tanah dan Mati, ia tetap 1 Biji saja.
Tetapi jika ia Mati, ia akan menghasilkan banyak Buah.

Mazmur 126:5 Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan Airmata, akan menuai dengan bersorai-sorai.

[Dikutip dari buku Aggie Hurst: The Inspiring Story of A Girl Without A Country]