c) PENERUSAN WAHYU ILAHI DAN KITAB SUCI
28. Apakah Wahyu Ilahi diteruskan sampai kepada kita juga?
Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, agar supaya apa yang Ia wahyukan demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh sepanjang segala masa dan diteruskan kepada semua turunan. Sebab itu, Kristus Tuhan, Yang merupakan penyelesaian seluruh Wahyu Allah Yang Mahatinggi (bdk. 2 Kor 1:20 & 3:16-4:6), memerintahkan para Rasul, agar mewartakan Kabar Gembira (atau Injil).
Kabar Gembira itu telah dijanjikan sebelumnya melalui para Nabi dan digenapi oleh pewartaan Kristus sendiri di muka umum. Kepada semua orang Kabar Gembira itu diwartakan sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan maupun sebagai ajaran kesusilaan. Dan dengan demikian anugerah-anugerah ilahi dibagikan kepada mereka.
Memang, tugas ini telah dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul. Dengan pewartaan lisan, teladan hidup dan penetapan-penetapan para Rasul meneruskan apa yang mereka terima dari mulut Kristus sendiri, dari pergaulan serta karya-karya-Nya, begitu juga apa yang mereka pelajari dengan ilham Roh Kudus. Hal ini dilakukan juga oleh para Rasul dan murid-murid mereka, yang diilhami oleh Roh Kudus supaya mencatat warta keselamatan secara tertulis. (WI 7)
29. Bagaimana Wahyu Ilahi diteruskan kepada kita?
28. Apakah Wahyu Ilahi diteruskan sampai kepada kita juga?
Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, agar supaya apa yang Ia wahyukan demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh sepanjang segala masa dan diteruskan kepada semua turunan. Sebab itu, Kristus Tuhan, Yang merupakan penyelesaian seluruh Wahyu Allah Yang Mahatinggi (bdk. 2 Kor 1:20 & 3:16-4:6), memerintahkan para Rasul, agar mewartakan Kabar Gembira (atau Injil).
Kabar Gembira itu telah dijanjikan sebelumnya melalui para Nabi dan digenapi oleh pewartaan Kristus sendiri di muka umum. Kepada semua orang Kabar Gembira itu diwartakan sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan maupun sebagai ajaran kesusilaan. Dan dengan demikian anugerah-anugerah ilahi dibagikan kepada mereka.
Memang, tugas ini telah dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul. Dengan pewartaan lisan, teladan hidup dan penetapan-penetapan para Rasul meneruskan apa yang mereka terima dari mulut Kristus sendiri, dari pergaulan serta karya-karya-Nya, begitu juga apa yang mereka pelajari dengan ilham Roh Kudus. Hal ini dilakukan juga oleh para Rasul dan murid-murid mereka, yang diilhami oleh Roh Kudus supaya mencatat warta keselamatan secara tertulis. (WI 7)
29. Bagaimana Wahyu Ilahi diteruskan kepada kita?
Pewartaan para Rasul, yang diungkapkan secara istimewa dalam Kitab-kitab yang diilhami, harus dipelihara dalam pergantian yang berkesinambungan sampai akhir jaman. Maka para Rasul meneruskan apa yang telah mereka terima itu. Mereka juga memperingatkan umat beriman, agar memegang teguh tradisi-tradisi yang telah mereka terima baik secara lisan maupun tertulis (bdk. 2 Tes 2:15), dan supaya berjuang demi iman yang pernah dikaruniakan kepada mereka (bdk. Yud 3).
Apa yang diteruskan para Rasul, mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi Umat Allah untuk menguduskan hidup dan mengembangkan iman. Dengan demikian, di dalam ajaran, hidup dan ibadatnya. Gereja melestarikan segala sesuatu yang mencakup keberadaannya serta apa yang ia imani. Demikian juga Gereja menyampaikannya kepada semua angkatan. (WI 8 a)
30. Apa itu Tradisi Apostolik Gereja?
Tradisi yang berasal dari para Rasul berkembang terus dalam Gereja dengan bantuan Roh Kudus. Pengertian, baik mengenai kenyataan-kenyataan maupun mengenai kata-kata yang diturunkan, berkembang.
Perkembangan itu terjadi berkat perenungan dan studi orang-orang beriman yang menelaah semuanya itu di dalam hati mereka (bdk. Luk 2:19 & 51), atau karena pemahaman yang lebih mendalam yang timbul dari pengalaman rohani mereka itu.
Lagi pula Tradisi berkembang berkat pewartaan mereka, yang berdasarkan pergantian dalam jabatan uskup pasti telah menerima karisma kebenaran. Maklum, selama peredaran jaman, Gereja terus-menerus menuju kepenuhan kebenaran ilahi, sampai sabda-sabda ilahi menjadi kenyataan dalam Gereja itu. (WI 8 b)
31. Apa hubungan Tradisi dan Kitab Suci?
Melalui Tradisi seluruh daftar Kitab-kitab Suci diketahui Gereja, dan dalam Tradisi yang sama itu Kitab-kitab Suci dimengerti lebih mendalam serta terus-menerus diaktualisasikan. (WI 8 b)
Tradisi Suci dan Kitab Suci erat berhubungan satu sama lain dan saling mengambil bagian. Sebab, keduanya yang berasal dari sumber ilahi yang sama, seakan-akan bergabung menjadi satu dan mengarah ke tujuan yang sama juga.
Kitab Suci adalah penuturan Allah sejauh dituangkan ke dalam tulisan di bawah ilham Roh Ilahi. Sedangkan Tradisi Suci meneruskan sabda Allah secara utuh. Sabda ini dipercayakan oleh Kristus dan Roh Kudus kepada para Rasul dan kepada para pengganti mereka, agar dengan diterangi Roh Kebenaran dipelihara dengan setia, dijelaskan dan disebarluaskan di dalam pewartaan mereka.
Jadi, Gereja menimba kepastian mengenai segala sesuatu yang diwahyukan itu tidak hanya dari Kitab Suci saja. Oleh karena itu, kedua-duanya - baik Tradisi maupun Kitab Suci - harus diterima dan dijunjung tinggi dengan rasa patuh dan hormat yang sama. (WI 9, a dan b)33. Bagaimana Tuhan mengilhami pengarang-pengarang Kitab Suci?
Untuk menyusun Kitab-kitab Suci Tuhan telah memilih manusia-manusia tertentu. Dengan memanfaatkan bakat dan tenaga mereka masing-masing, Tuhan mempergunakan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka sebagai pengarang sungguh-sungguh mencatat semuanya dan tidak lebih daripada itu yang dikehendaki Tuhan. Sebenarnya Tuhanlah yang bertindak di dalam dan dengan pengantaraan mereka. (WI 11 a)
34. Mengapa Kitab-kitab Suci disebut 'kanonik'?
Berdasarkan iman para Rasul, Bunda Gereja menganggap semua Kitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru beserta semua bagiannya, sebagai suci dan kanonik. Kitab-kitab itu ditulis dengan diilhami Roh Kudus (bdk Yoh 20:31; 2 Tim 3:16; Ptr 1:19-21; 3:15-16). Maka Tuhanlah pengarang mereka, dan dengan ciri yang demikian itu diwariskan kepada Gereja. (WI 11 a)
35. Apakah Kitab Suci benar-benar mengandung sabda Allah tanpa kesalahan?
Segala sesuatu, yang dikemukakan oleh para penulis yang diilhami atau para hagiograf, harus dianggap sebagai dinyatakan oleh Roh Kudus (lih. pertanyaan 34). Maka karena itu harus diakui, bahwa dengan pasti, setia dan tanpa salah. Kitab Suci mengajarkan kebenaran yang ingin dituangkan Tuhan ke dalam Kitab Suci demi keselamatan kita. (WI 11 b)
36. Siapa yang dapat menafsirkan sabda Allah secara otentik?
Tugas menafsirkan sabda Allah secara otentik, baik yang tertulis maupun yang ditradisikan, dipercayakan hanya kepada _Kuasa Mengajar_ Gereja yang hidup. Wewenang ini dijalankan atas nama Yesus Kristus.
Kendati demikian, Kuasa Mengajar (Magisterium) itu tidak lebih tinggi daripada sabda Allah, melainkan mengabdi kepadanya. Kuasa itu juga tidak boleh mengajarkan lain dari apa yang diwariskan kepadanya. Sebab, sabda Allah didengarkannya dengan patuh dipeliharanya dengan khidmat dan dijelaskan dengan setia, berdasarkan penugasan ilahi dan bantuan Roh Kudus. (WI 10 a)
Dalam Kitab Suci Tuhan berbicara melalui manusia dan secara manusiawi. Maka para penafsir Kitab Suci perlu menangkap apa yang hendak disampaikan Tuhan kepada kita. Untuk itu mereka harus menyelidiki dengan teliti, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan oleh para penulis suci, dan apa yang sudah diungkapkan Tuhan dengan perantaraan kata-kata mereka itu.
Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan antara lain jenis-jenis sastra. Sebab, kebenaran disajikan dan diungkapkan secara berbeda dalam jenis-jenis penuturan historis, profetis, puitis, atau lain lagi.
Selanjutnya, penafsir harus meneliti arti, yang ingin dan benar-benar diungkapkan penulis suci dalam situasi tertentu sesuai keadaan jaman dan kebudayaannya, dengan menggunakan jenis sastra yang lazim dipakai pada waktu itu.
Untuk memahami dengan tepat apa yang hendak diungkapkan pengarang suci dan tulisannya, maka harus diperhatikan dengan baik cara berpikir, cara berbicara, dan bercerita yang biasa berlaku pada masa penulis suci itu; demikian pula cara dan bentuk pergaulan yang lazim antara manusia pada jaman itu.
Kitab Suci ditulis dalam Roh. Maka dalam Roh yang sama itu juga Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan. Oleh karena itu untuk menggali arti naskah-naskah suci secara tepat, penting memperhatikan isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci. Selain itu, tradisi yang hidup dalam seluruh Gereja dan _analogi iman_ perlu diperhatikan pula.
Adalah tugas para _ekseget_ untuk berpegang pada kaidah-kaidah tersebut, supaya memperoleh pengertian dan dapat menerangkan secara lebih mendalam arti Kitab Suci. Maksudnya, supaya seolah-olah sesudah dipersiapkan melalui studi, paham Gereja menjadi lebih matang, Semua hal sekitar penafsiran Kitab Suci itu akhirnya harus tunduk kepada penilaian Gereja, yang menjalankan perintah dan tugas ilahi untuk memelihara dan menafsirkan sabda Allah. (WI 12, a-e)
38. Bagian Kitab Suci mana yang paling istimewa?
Semua orang mengetahui, bahwa di antara semua Kitab yang termasuk Kitab Suci bahkan Perjanjian Baru, Kitab-kitab Injil selayaknya mendapat kedudukan istimewa. Sebab empat Kitab Injil merupakan kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda-Yang-Menjadi-Manusia, yakni Sang Penyelamat kita. (WI 18)
Sama seperti Tubuh Tuhan sendiri, demikian pula Kitab-kitab Ilahi selalu Gereja hormati. Sebab, terutama di dalam Liturgi Kudus, Gereja tak putus-putusnya menerima dan menyajikan roti kehidupan kepada umat beriman, baik dalam sabda Allah maupun dari meja Tubuh Kristus. (WI 21)
40. Apakah perlu Kitab Suci sering dibaca?
Semoga dengan membaca dan mempelajari Kitab Suci "Sabda Allah menjalar dan dipermuliakan" (2 Tes 3:1), dan harta wahyu yang dipercayakan kepada Gereja itu semakin memenuhi hati manusia. Memang, kehidupan Gereja berkembang dengan sering merayakan misteri Ekaristi. Demikian juga dorongan baru dapat diharapkan bagi kehidupan rohani dari bertambahnya penghormatan terhadap sabda Tuhan, yang "tetap untuk selama-lamanya" (Yes 40:8; bdk. 1 Ptr 1:23-25). (WI 26)
41. Apakah Wahyu Kristiani merupakan wahyu terakhir yang tidak dapat disempurnakan lagi?
Tata penyelamatan Kristen, yakni Perjanjian Baru yang definitif, tidak pernah akan lenyap. Maka sia-sialah mengharapkan suatu wahyu resmi yang baru sebelum kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus dalam kemuliaan-Nya (bdk. 1 Tim 6:14; Tit 2:13). (WI 4 b)
42. Mengapa Gereja mewartakan Wahyu Ilahi kepada segala bangsa?
Gereja mewartakan kabar keselamatan kepada mereka yang belum percaya (akan Kristus), supaya semua manusia hanya mengenal Allah yang benar dan Yesus Kristus, yang diutus-Nya, dan supaya mereka bertobat dan berbalik dari jalan mereka (bdk. Yoh 17:3; Luk 24:27).
Gereja harus mewartakan iman dan tobat pula kepada mereka yang sudah beriman, lalu menyiapkan mereka untuk Sakramen-sakramen, Gereja wajib menegur mereka supaya menjalankan apa yang diperintahkan Kristus, mendorong mereka akan semua karya cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Sebab, dalam karya-karya ini semestinya menjadi jelas, bahwa walaupun bukan dari dunia ini orang Kristen toh merupakan terang dunia dan memuliakan Bapa di depan manusia. (L 9)43. Apakah terdapat hubungan antara Kabar Keselamatan dan kebudayaan manusia dari waktu dan daerah yang berbeda-beda?
Antara Kabar Keselamatan dan kebudayaan manusia terdapat serba ragam hubungan. Sebab, Allah telah berbicara kepada umat-Nya menurut kebudayaan yang khas pada jaman yang berbeda-beda, sampai Ia mengungkapkan Diri sepenuhnya dalam Putera-Nya Yang menjadi manusia.
Demikian pula dalam peredaran sejarah, Gereja hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, menggunakan hasil-hasil berbagai lingkungan kebudayaan untuk mewartakan dan menerangkan amanat Kristus pada semua bangsa, untuk meneliti serta memahaminya lebih mendalam, dan untuk mengungkapkannya dengan lebih baik dalam ibadat maupun dalam kehidupan umat beriman yang beraneka ragam itu.
Gereja diutus ke semua bangsa dari zaman dan wilayah manapun Oleh karena itu Gereja tidak terikat secara eksklusif dan untuk selamanya pada bangsa, negara, adat-istiadat atau kebiasaan lama atau baru yang manapun juga. Gereja setia pada tradisinya sendiri, tetapi sekaligus sadar akan pengutusannya yang universal. Maka Gereja dapat menjalin hubungan dengan pelbagai bentuk kebudayaan yang memperkaya dua-duanya, baik Gereja maupun kebudayaan-kebudayaan. (GD 58, a dan b)