Ada seorang pendosa yang malang yang terlibat di dalam kebusukan dosa dunia ini, akhirnya dia bertobat. Atas jasa dari doa-doa dan permohonan dari St. Lidwina (lih. Santa Lidwina, pengaku iman), dia melakukan pengakuan dosa dengan tulus dan kemudian dia menerima absolusi.
Tetapi dia tak memiliki waktu untuk melakukan penebusan atas dosa-dosanya tadi di dunia ini, karena sebentar kemudian pendosa itu meninggal karena suatu penyakit.
St. Lidwina mempersembahkan banyak doa-doa serta berbagai penderitaan bagi jiwa orang itu.
Beberapa saat kemudian, setelah St. Lidwina di bawa oleh malaikat pelindungnya ke dalam Api Penyucian, di situ dia ingin mengetahui keadaan dari orang itu, apakah dia masih berada di sana, dan bagaimana keadaannya.
Kata malaikat pelindung St. Lidwina: “Dia masih berada di sana, dan dia sangat menderita. Bersediakah engkau menanggung rasa sakit untuk mengurangi sakit orang itu?” “Tentu saja”, jawab St. Lidwina. “Aku bersedia untuk menanggung apapun juga untuk menolongnya.”
Beberapa saat kemudian, setelah St. Lidwina di bawa oleh malaikat pelindungnya ke dalam Api Penyucian, di situ dia ingin mengetahui keadaan dari orang itu, apakah dia masih berada di sana, dan bagaimana keadaannya.
Kata malaikat pelindung St. Lidwina: “Dia masih berada di sana, dan dia sangat menderita. Bersediakah engkau menanggung rasa sakit untuk mengurangi sakit orang itu?” “Tentu saja”, jawab St. Lidwina. “Aku bersedia untuk menanggung apapun juga untuk menolongnya.”
Segera saja malaikat pelindungnya menuntun dia menuju sebuah tempat yang ada siksaannya yang amat mengerikan. “Inikah neraka bagi saudaraku itu?”, tanya St. Lidwina sambil merasa ketakutan. “Bukan”, jawab malaikat pelindung itu. “Tetapi ini adalah bagian dari Api Penyucian yang bersebelahan dengan neraka.”
St. Lidwina melihat kesekitarnya yang nampak seperti sebuah penjara yang luas, dikelilingi oleh dinding-dinding yang tinggi serta gelap dengan batu-batu yang besar ada di situ. Semua ini menimbulkan rasa takut pada diri St. Lidwina.
Mendekati pintu yang suram itu St. Lidwina mendengar suara-suara meratap dan kacau serta membingungkan. Terdengar suara-suara teriakan kemarahan, dentingan rantai-rantai besi dan alat-alat penyiksaan, pukulan-pukulan yang keras yang dilakukan oleh para algojo kepada para tawanan mereka.
Suara ini seolah suara keributan di seluruh dunia ini, di tengah suasana peperangan atau suasana badai, tetapi masih tak sebanding dengan suara-suara dari dalam Api Penyucian itu.
“Tetapi, apakah yang amat mengerikan itu?”, tanya St. Lidwina kepada malaikat pelindungnya. “Apakah kamu ingin aku menunjukkan tempat itu kepadamu?” “Tidak, aku memohon, tidak.”, kata St. Lidwina sambil diselimuti oleh rasa takut. “Suara yang kudengar itu amat menakutkan sekali sehingga aku tak kuat untuk menanggungnya. Bagaimana aku bisa tahan jika melihatnya?”
St. Lidwina melihat kesekitarnya yang nampak seperti sebuah penjara yang luas, dikelilingi oleh dinding-dinding yang tinggi serta gelap dengan batu-batu yang besar ada di situ. Semua ini menimbulkan rasa takut pada diri St. Lidwina.
Mendekati pintu yang suram itu St. Lidwina mendengar suara-suara meratap dan kacau serta membingungkan. Terdengar suara-suara teriakan kemarahan, dentingan rantai-rantai besi dan alat-alat penyiksaan, pukulan-pukulan yang keras yang dilakukan oleh para algojo kepada para tawanan mereka.
Suara ini seolah suara keributan di seluruh dunia ini, di tengah suasana peperangan atau suasana badai, tetapi masih tak sebanding dengan suara-suara dari dalam Api Penyucian itu.
“Tetapi, apakah yang amat mengerikan itu?”, tanya St. Lidwina kepada malaikat pelindungnya. “Apakah kamu ingin aku menunjukkan tempat itu kepadamu?” “Tidak, aku memohon, tidak.”, kata St. Lidwina sambil diselimuti oleh rasa takut. “Suara yang kudengar itu amat menakutkan sekali sehingga aku tak kuat untuk menanggungnya. Bagaimana aku bisa tahan jika melihatnya?”
Meneruskan perjalanannya yang misterius ini, St. Lidwina melihat ada satu malaikat yang sedang duduk bersedih di dekat sebuah sumur. “Siapakah malaikat itu ?”, tanya St. Lidwina kepada malaikat pelindungnya.
“Itu adalah malaikat pelindung dari pendosa yang kau tolong itu. Jiwa orang itu ada di dalam sumur itu, di mana dia menjalani Api Penyucian yang khusus di situ.”
Dengan perkataan ini, St. Lidwina memandang kepada malaikat pelindung itu. Dia ingin melihat kepada jiwa itu dan akan berusaha untuk melepaskannya dari jurang yang menakutkan itu.
Malaikat pelindung orang itu, yang mengerti akan hal itu, lalu membuka tutup dari sumur itu, dan ke luarlah nyala api dari dalamnya bersamaan dengan tangisan yang amat menyayat hati dari dalam sumur itu.
“Itu adalah malaikat pelindung dari pendosa yang kau tolong itu. Jiwa orang itu ada di dalam sumur itu, di mana dia menjalani Api Penyucian yang khusus di situ.”
Dengan perkataan ini, St. Lidwina memandang kepada malaikat pelindung itu. Dia ingin melihat kepada jiwa itu dan akan berusaha untuk melepaskannya dari jurang yang menakutkan itu.
Malaikat pelindung orang itu, yang mengerti akan hal itu, lalu membuka tutup dari sumur itu, dan ke luarlah nyala api dari dalamnya bersamaan dengan tangisan yang amat menyayat hati dari dalam sumur itu.
“Apakah kamu mengenal suara itu”, tanya malaikat pelindung St. Lidwina. “Ya, celaka!”, kata St. Lidwina, hamba Allah itu. “Apakah kamu ingin melihat jiwa itu?”, tanya malaikat pelindung.
Atas persetujuan dari St. Lidwina malaikat pelindung itu lalu memanggil jiwa pendosa itu dengan menyebut namanya.
Segera saja St. Lidwina melihat dari mulut jurang itu sebuah roh yang terbakar oleh api, yang nampak seperti logam yang membara.
Jiwa itu berkata kepada St. Lidwina dengan suara yang hampir tak terdengar: “Oh, Lidwina, hamba Allah, siapakah yang mau menolongku untuk bisa merenungkan wajah Yang Maha Tinggi?”
Atas persetujuan dari St. Lidwina malaikat pelindung itu lalu memanggil jiwa pendosa itu dengan menyebut namanya.
Segera saja St. Lidwina melihat dari mulut jurang itu sebuah roh yang terbakar oleh api, yang nampak seperti logam yang membara.
Jiwa itu berkata kepada St. Lidwina dengan suara yang hampir tak terdengar: “Oh, Lidwina, hamba Allah, siapakah yang mau menolongku untuk bisa merenungkan wajah Yang Maha Tinggi?”
Penglihatan atas jiwa ini, yang menjadi kurban dari siksaan api yang amat mengerikan, membuat St. Lidwina mengalami shock sehingga ikat pinggang yang dia kenakan melilit tubuhnya terputus menjadi dua. Dia tak lagi kuat menanggung pemandangan itu, dan segera dia terbangun dari keadaan ekstasenya.
Orang-orang yang hadir saat itu, yang memperhatikan St. Lidwina dalam keadaan ketakutan yang amat besar, menanyakan hal itu kepadanya. “Celaka sekali!”, kata St. Lidwina. “Betapa amat mengerikan penjara-penjara dari Api Penyucian itu!
Demi menolong jiwa-jiwa itu maka aku mau turun ke sana. Jika tanpa tujuan seperti ini, maka aku tak akan mau mengalami rasa takut seperti itu meskipun seluruh isi dunia ini diberikan kepadaku.”
Demi menolong jiwa-jiwa itu maka aku mau turun ke sana. Jika tanpa tujuan seperti ini, maka aku tak akan mau mengalami rasa takut seperti itu meskipun seluruh isi dunia ini diberikan kepadaku.”
Beberapa hari kemudian malaikat yang sama yang dia lihat dalam keadaan bersedih, nampak kepadanya dengan penampilan yang amat bahagia sekali.
Malaikat itu berkata kepada St. Lidwina, bahwa jiwa asuhannya itu telah meninggalkan lembah penyiksaan dan masuk ke dalam Api Penyucian yang biasa.
Pengampunan sebagian ini belumlah cukup terbayar lunas oleh kemurahan hati Lidwina. Maka St. Lidwina terus berdoa bagi orang yang malang itu dan dia menyerahkan semua jasa-jasa dari penderitaannya bagi orang itu, hingga dia bisa melihat pintu-pintu Sorga terbuka bagi orang itu.
Malaikat itu berkata kepada St. Lidwina, bahwa jiwa asuhannya itu telah meninggalkan lembah penyiksaan dan masuk ke dalam Api Penyucian yang biasa.
Pengampunan sebagian ini belumlah cukup terbayar lunas oleh kemurahan hati Lidwina. Maka St. Lidwina terus berdoa bagi orang yang malang itu dan dia menyerahkan semua jasa-jasa dari penderitaannya bagi orang itu, hingga dia bisa melihat pintu-pintu Sorga terbuka bagi orang itu.
Malaikat pelindung, sahabat yang teramat setia selama 24 jam sehari, semenjak dikandung hingga kematian, Ia tak henti-hentinya melindungi kita jiwa dan raga.
Sementara kita, hampir seluruh waktu, tidak pernah memikirkannya.
(Sumber: Warta KPI TL No.117/I/2014).