Rabu Abu tidak memperingati apa-apa selain menandai awal masa Prapaskah atau masa puasa kita, yaitu masa pertobatan.
Bertobat berarti memalingkan diri kepada Tuhan dan membuat Tuhan semakin merajai kita.
Liturgi Rabu Abu sarat dengan unsur pertobatan, terlebih upacara penandaan dahi dengan salib dari abu. Karena itu upacara tobat pada awal diwujudkan dengan upacara penandaan dahi dengan salib. Jadi, Romo bukannya lupa, tetapi memang seharusnya demikian.
Abu adalah simbol biblis untuk perkabungan dan pertobatan. Dalam Kitab Suci, pertobatan diungkapkan dengan berpuasa, mengenakan kain karung atau mengoyakkan pakaian, duduk di tanah dan abu, dan mengurapi dahi dengan tanah atau abu (1 Sam 4:12; 2 Sam 13:19; 15:32).
Abu juga menyimbolkan kematian maka abu mengingatkan kita akan kerapuhan kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbuat dari debu.
Penandaan di dahi dengan salib adalah simbol kepemilikan Kristus seperti yang dilakukan pada saat kita dibaptis (Rm 6:3-18). Penandaan pada dahi dikatakan dalam Wahyu 14:1: “Dan aku melihat: sesungguhnya Anak Domba berdiri di bukit Sion dan bersama-sama dengan Dia seratus empat puluh empat ribu orang dan di dahi mereka tertulis nama-Nya dan nama Bapa-Nya” (Why 7:3). Hal ini dikontraskan dengan para pengikut antikristus yang mempunyai tanda angka 666 pada dahi dan tangan mereka.
Karena itu imam mengingatkan kita: “Ingatlah, manusia, bahwa engkau terbuat dari debu dan akan kembali menjadi debu”. Peringatan ini menggemakan kata-kata Allah kepada Adam (Kej 3:19; Ayb 34:15; Mzm 104:29; Pkh 3:20).
Pada upacara pemakaman juga dikatakan “Tanah akan kembali menjadi tanah, debu akan kembali menjadi debu”. Kata-kata ini mengingatkan kita pada kata-kata Allah kepada Adam (Kej 3:19) dan pengakuan Abraham bahwa dirinya bukanlah apa-apa selain tanah dan debu (Kej 18:27).
(Sumber: Warta KPI TL No.142/II/2017 » Dari Prapaskah sampai Paskah, Dr. Petrus Maria Handoko, CM).