Pantang diwajibkan oleh Gereja hanya pada semua hari Jumat selama masa Prapaskah. Hari Jumat dipilih karena Yesus wafat untuk kita pada hari Jumat sehingga hari Jumat dijadikan hari untuk penyangkalan diri atas kenikmatan yang kita alami.
Bahkan semua hari Jumat sepanjang tahun dipandang sebagai hari pertobatan (KHK Kan 2150). Hari Jumat Suci ketika Yesus disalibkan, adalah hari wajib puasa dan pantang.
Tetapi, selain hari Jumat, sangat dianjurkan oleh Gereja untuk menambah sendiri praksis pantang itu selama masa Prapaskah.
Hendaknya selalu diingat bahwa semangat dasar Prapaskah yang diperjuangkan ialah pertobatan. Dengan semangat pertobatan, boleh saja kita berpantang selama masa Prapaskah, yaitu selama 40 hari. Praksis yang demikian, akan melatih kita untuk berdisiplin menyerahkan diri kepada Tuhan.
Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang sudah berumur 14 tahun ke atas. Tidak ada batas umur maksimal, artinya selama orang Katolik itu masih mampu berpantang, maka usia lanjut bukanlah hambatan.
Inti semangat masa Prapaskah adalah pertobatan. Namun perlu diingat bahwa pertobatan itu tidak boleh dibatasi hanya pada aspek individual dan rohani saja.
Jika pertobatan dibatasi hanya pada dimensi rohani, maka berarti penghayatan iman kita juga menjadi kerdil. Hal ini bertentangan dengan iman kita bahwa Kerajaan Allah yang diwartakan dan dikerjakan oleh Yesus Kristus mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.
Pertobatan mempunyai aspek sosial, sehingga pertobatan yang rohani itu harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang membangun sisi positif dari hidup bersama dan memperbaiki akibat-akibat negatif dari dosa manusia.
Pertobatan juga mempunyai aspek ekologis, sehingga perlu diwujudkan dalam kaitan dengan lingkungan alam di sekitar kita.
Aspek sosial dan ekologis pertobatan akan nampak lebih jelas jika kita melihat dampak dari dosa manusia pertama. Dalam imbauan Apostolik pasca-sinode Reconciliatio et Paenitentia, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa perbuatan dosa manusia melukai bukan hanya relasi manusia dengan Allah, tetapi juga mengenai relasi manusia dan sesama manusia (Gereja), dengan diri sendiri dan dengan alam semesta.
Konsekuensinya, jika pertobatan dimengerti sebagai pemulihan kembali kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh dosa, maka pertobatan ini harus diwujudkan dalam relasi dengan Allah, sesama manusia, diri sendiri dan alam semesta.
Inilah rekonsiliasi rangkap empat yang harus dilakukan manusia. Keempat rekonsiliasi itu saling terkait satu sama lain.
Rekonsiliasi antara Allah dan manusia (Rm 5:10-11; 2 Kor 5:18-20; Kol 1:19-23; Ef 2:14-18) berarti memulihkan kembali keretakan relasi manusia dengan Allah. Inilah pertobatan rohani yang sering kali kita lakukan selama masa Prapaskah. Tetapi ini bukan satu-satunya wujud pertobatan.
Rekonsiliasi dengan sesama manusia adalah perwujudan sosial dari pertobatan yang sama. Rekonsiliasi dengan sesama tidak dibatasi dalam lingkup Gereja, tetapi juga mencakup seluruh umat manusia. Pemulihan ini mengembalikan pengakuan akan nilai transenden dari manusia (GS 76), yang bisa diwujudkan antara lain dalam bidang politis, sosial dan ekonomi.
Pertobatan inilah yang diwujudkan dalam hubungan dengan umat beragama lain, misalnya dalam bentuk dialog dengan umat beragama lain, bakti sosial bersama, membela hak asasi manusia, menggalakkan kesatuan dalam masyarakat, dll (GS 40-43).
Rekonsiliasi dengan alam semesta seperti digambarkan oleh Paulus (Rm 8:19-22) merupakan bagian integral dari pertobatan yang sama. Karena itu, pembersihan sampah, menanam pohon merupakan perwujudan konkrit dari pertobatan rohani.
Dimensi sosial dan ekologis dari iman juga nampak jelas jika kita mengingat bahwa dalam Kerajaan Allah kelak, kesempurnaan keselamatan meliputi juga pemulihan kembali relasi manusia rangkap di atas.
Kesempurnaan Kerajaan Allah berarti datangnya langit dan bumi yang baru. Inilah pemulihan seluruh alam semesta. Pemulihan inilah yang juga menjadi bagian dari tugas misioner Gereja. Pemulihan inilah yang menjadi bagian integral dari pertobatan selama masa Prapaskah.
(Sumber: Warta KPI TL No.142/II/2017 »
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita dihadapkan pada situasi untuk berani mengambil suatu keputusan. Untuk mengambil keputusan yang tepat bukanlah hal yang mudah, maka sangatlah dibutuhkan keteguhan pribadi yang kuat dan komitmen, tetapi seringkali kita tidak tahu mana yang penting dan mendesak yang harus didahulukan.
Hal ini terjadi karena kita tidak mengerti arti sesungguhnya dari bertobat (terjadi perubahan/metanoia). Pertobatan sejati menghasilkan buah, salah satu buahnya adalah berbuat baik (Ef 2:10). Misalnya: menghargai pembantu/sopir, mengunjungi orang sakit/orang yang menderita dll.
Ada banyak orang yang bertekun dalam kegiatan rohani (ikut PD, membaca Kitab Suci dll) tetapi tidak mau bertobat.
Misalnya: menyumbang gereja tetapi menindas karyawannya; tekun berdoa tetapi prilakunya seenaknya sendiri dan sering mengumpat orang disekelilingnya dll).
Hal ini terjadi karena mereka tidak mempunyai kesadaran bahwa saya adalah orang berdosa dan mau bertobat, pikirnya “aku sudah lebih baik dari pada orang lain.” Ingatlah! Semakin banyak diberi, semakin banyak dituntut dari kita (Luk 12:48).
Akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan (Luk 15:7).
Dalam Sakramen Tobat, kapasitas kuasanya romo sebagai Tuhan Yesus (Mat 18:18). Inilah rumusannya: “Dengan perantaraan Gereja kudus, Tuhan kita Yesus Kristus mengampuni segala dosamu, maka saya melepaskan engkau dari segala dosa.”
Ketika keluar dari ruang pengakuan dosa, kita terbebas dari dosa-dosa kita, tetapi ada banyak orang yang masih mengingat-ingat dosanya dan dosa orang lain terhadapnya.
Setelah mengaku dosa dan diampuni, janganlah kita hanya merasa lega seperti selesai berobat tetapi harus bertobat dengan memikirkan perbuatan baik apa yang mau kita lakukan.
Marilah kita mengikuti skenario Tuhan agar kita dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana-Nya (Yer 29:11).
(Sumber: Warta KPI TL No. 95/III/2012 » Renungan KPI TL tgl 15 Maret 2012, Rm Lulus Widodo, Pr.).
Sebagian besar isi Kitab Suci adalah seruan orang untuk bertobat (berbalik kepada Tuhan dengan segenap hati, mengoyakkan hati, bukan pakaian - Yl 2:12-13).
Masa pertobatan adalah:
- Masa rahmat/menata hidup yang berserakan.
- Masa padang gurun (sunyi, sepi, tandus, berdoa terasa hampa).
- Masa mengolah konflik batin (belajar tidak melihat kelemahan orang lain).
- Masa untuk benar-benar mengikuti Yesus secara radikal.
Pertobatan dimulai dari hati (yang mampu mengasihi); bukan dari kepala (kasih kalkulator = selalu berhitung segala sesuatunya).
Perjalanan yang paling panjang di tempuh manusia yang tak pernah sampai, yaitu: perjalanan masuk ke dalam hati – ‘pertama melihat kebaikan-kebaikan, lalu masuk semakin dalam akan menjumpai kejelek-jelekan. Biasanya kalau menjumpai kejelekan maka akan ke luar, sehingga tidak akan pernah sempurna’ seperti yang dikatakan Kitab Suci.
Kalau orang bisa melihat dirinya tidak baik, itu satu langkah awal pertobatan sempurna.
Orang yang baru menerima sakramen baptis dengan penuh kesadaran bahwa namanya tercatat di sorga/kitab kehidupan – menjadi milik Tuhan, biasanya dipenuhi Roh Kudus yang menyucikan (1 Ptr 3:21) dan Tuhan mengutusnya untuk melayani (akan memasuki padang gurun untuk mempersiapkan seluruh hidupnya untuk melayani).
Pembaptisan tidak membuat kita steril terhadap godaan iblis, karena dosa terus menerus membayangi kehidupan. Dosa berasal dari godaan dan tawaran.
Ada tawaran yang diberikan Iblis pada Yesus (Luk 4:1-13):
1. Batu menjadi roti – tawaran materi untuk menerimanya secara instant.
2. Segala kuasa serta kemuliaannya akan kuberikan kepadamu ... jika Engkau menyembahku – sejauh mana dunia mempengaruhi kita.
3. Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah ..., Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya untuk melindungi Engkau – tujuan Yesus melakukan kehendak Bapa-Nya tanpa minta dipuji oleh manusia.
Tawaran Iblis kadang tanpa kita sadari juga secara Alkitabiah. Misalnya: Tuhan berjanji ... - tanpa kita sadari praktek iman ini justru membawa kita pada kesombongan rohani.
(Sumber: Warta KPI TL No. 37/V/2007; Renungan KPI TL Tgl 29 Maret 2007, Dra Yovita Baskoro, MM).
Seringkali kita menetapkan standard bagi orang lain sehingga tanpa sadar kita menghakimi dan memandang rendah orang tersebut.
Ingatlah! Allah Maha pemurah, Dia selalu menuntun setiap orang yang berdosa secara bertahap kepada pertobatan agar rencana-Nya tergenapi.
Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa (1 Tim 1:15).
Jalan menuju pertobatan
1. Belajar dari masa lalu
Sebagai manusia kita tidak bisa melupakan masa lalu, terutama masa lalu yang buruk, masa lalu tidak dapat dibatalkan.
Jadi, ingatlah masa lalu dan berjuanglah untuk mengasihi musuh dengan cara mengampuninya agar dia tidak binasa, dan Iblis tidak beroleh keuntungan atas kita (2 Kor 2:7-11).
Ketika belum siap mengampuni, janganlah mengampuni dulu, berdoalah agar bisa secepatnya mengampuni. Jangan pernah katakan: "Saya tidak pernah mengampuni dia." Ini adalah dosa.
2. Mencoba untuk mengubah diri sendiri
Ada seorang romo yang merayakan 50 tahun imamatnya, dalam homilinya dia berkata: "Di dalam sepuluh tahun pertama imamat saya, saya ingin mengubah seluruh dunia, tetapi setelah sepuluh tahun hal ini tidak terjadi. Setelah dua puluh tahun imamat saya, saya ingin mengubah Filipina, tetapi setelah dua puluh tahun hal ini tidak terjadi. Setelah tiga puluh tahun imamat saya, saya ingin mengubah Manila, tetapi setelah tiga puluh tahun hal ini tidak terjadi. Setelah empat puluh tahun imamat saya, saya ingin mengubah Frater-frater dan Romo-romo, tetapi setelah empat puluh tahun hal ini tidak terjadi. Pada usia lima puluh tahun imamat saya, saya baru menyadari bahwa saya hanya dapat mengubah diri saya sendiri.
Seringkali tanpa sadar kita berusaha mengubah orang lain, karena tidak memenuhi standard kita.
Ingatlah! Seseorang yang selalu menetapkan standard bagi orang lain adalah orang yang tidak berbahagia. Jadi, ketika orang memuji kita katakanlah terima kasih, tetapi ketika orang mengkritik kita terimalah juga.
3. Sediakan waktu untuk berubah.
Penyembuhan suatu luka memerlukan proses. Demikian pula dengan penyembuhan batin kita. Maka mintalah rahmat kesabaran agar luka-luka kita segera disembuhkan dan kita dapat berubah menjadi lebih baik lagi.
4. Biarkan Tuhan melakukan sisanya
Apapun kewajiban kita, lakukanlah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Janganlah kuatir, karena damai sejahtera Allah melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (Flp 4:6-7).
Jadi, selesaikanlah kewajiban itu setahap demi setahap dan serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu (1 Ptr 5:7).
5. Tersenyumlah
Ketika kita mengalami suatu masalah, berdoalah dengan sukacita. Bukankah Tuhan yang memulai pekerjaan yang baik … akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Flp 1:3-6).
Marilah kita belajar dari Simon orang Farisi dan seorang perempuan NN (Luk 7:36-50):
Seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya. Yesus datang ke rumah orang Farisi itu, lalu duduk makan
» Farisi adalah suatu golongan dari para rabi dan ahli Taurat yang sangat berpengaruh. Mereka berpegang pada Taurat Musa dan pada “adat istiadat nenek moyang” (Mat 15:2). Seluruh hukum dan peraturan mereka taati secara mutlak.
Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal sebagai seorang berdosa. Ketika perempuan itru mendengar, bahwa Yesus sedang makan di rumah orang Farisi itu, datanglah ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia berdiri di belakang Yesus dekat kaki-Nya, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu.
Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu ia berkata dalam hatinya: “Jika Ia ini nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan ini adalah seorang berdosa.”
» Ketika melihat Yesus, reaksi Simon, orang Farisi dan seorang perempuan ini berbeda.
Simon : meskipun dekat dengan Yesus, dia tidak mengenal-Nya secara pribadi. Bahkan dengan cepat dia menghakimi orang lain. Jadi, janganlah kita menghakimi, supaya kita tidak dihakimi (Mat 7:1-5).
Perempuan NN: perempuan ini tidak disebutkan namanya, hanya disebutkan sebagai orang berdosa. Semua manusia ada di bawah kuasa dosa (Rm 3:9). Karena merasa dosanya telah diampuni, dia berbuat kasih. Kasih timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas (1 Tim 1:5).
Lalu Yesus berkata kepadanya: “Simon, ada yang hendak Kukatakan kepadamu.” Sahut Simon: “Katakanlah, Guru.” “Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak sanggup membayar, maka ia menghapuskan hutang kedua orang itu. Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?
Jawab Simon: “Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya.”
Kata Yesus kepadanya: “Betul pendapatmu itu.” Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, Ia berkata kepada Simon” “Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan Aku air untuk membasuh kaki-Ku, tetapi dia membasahi kaki-Ku dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium Aku, tetapi sejak Aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-Ku. Engkau tidak meminyaki kepala-Ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-Ku dengan minyak wangi. Sebab itu Aku berkata kepadamu: Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.”
» Simon berdebat secara intelektual dengan Yesus.
Lalu Ia berkata kepada perempuan itu: “Dosamu telah diampuni.”
» Maksud kemurahan Allah ialah menuntunnya kepada pertobatan (Rm 2:4).
Dan mereka, yang duduk makan bersama Dia, berpikir dalam hati mereka: “Siapakah Ia ini? Sehingga Ia dapat mengampuni dosa?”
» Meskipun sudah dekat dengan Yesus, mereka tidak mengenal-Nya secara pribadi.
Tetapi Yesus berkata kepada perempuan itu: “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!”
» karena kasih karunia kita diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah (Ef 2:8).
Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jika ia menyesal, ampunilah dia. Hendaklah engkau menguasai dalam segala hal, jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga tidak ada hal-hal buruk yang dapat lawan sebarkan tentang kita (Luk 17:3-4; Tit 2:6-8)
(Sumber: Warta KPI TL No.109/V/2013 » Renungan KPI TL tgl 28 Februari 2013, Romo Nilo, OP).
Sebagai manusia lemah kita dipanggil untuk selalu bertobat karena kita sering jatuh dalam dosa
Dosa adalah tindakan, perkataan atau keinginan melawan hukum abadi; berpaling dari Allah dan memalingkan diri ke ciptaan (St. Agustinus)
Dosa disebut “kejatuhan” (Kej 3:1-24), melanggar perintah Allah secara sengaja (Kej 3:3-6); manusia ingin menjadi seperti Allah, manusia ingin memper-tuhan-kan diri sendiri dengan mengganti posisi Allah sebagai pemberi peraturan atau sebagai yang menetapkan apa yang baik dan apa yang jahat. Manusia ingin bebas, hidup tanpa Tuhan.
Dosa dapat dibedakan 2 macam
Dosa pribadi adalah tindakan yang mengalir dari kebebasan seorang pribadi. Karena merupakan tindakan pribadi yg mengalir dari kebebasan maka dosa itu adalah tanggungjawab dan kesalahan pribadi. Maka dosa bersifat sangat personal dan tanggungjawabnya tidak bisa dialihkan ke orang lain.
Dosa Sosial merujuk pada dimensi sosial dosa, artinya setiap dosa dalam arti tertentu mengena juga kepada orang lain (misalnya korupsi), sesama (misalnya menodai kekudusan Gereja) dan seluruh dunia.
Dosa sosial juga berarti melawan cintakasih kepada sesama; tindakan pelanggaran yang melawan relasi yang adil antarnegara, antarkelas, antarkelompok yang diwujudkan dalam sistem, struktur, lembaga.
Hal-hal ini menunjukkan situasi dosa yang dihasilkan oleh sekelompok pendosa.
Dalam menganalisa dosa, kita bisa membedakan bagian-bagiannya (struktur dosa), yaitu:
Sikap batin atau keberdosaan (sinfulness) adalah keadaan obyektif terpisah dari Allah atau keadaan obyektif manusia yang berada di bawah kuasa dosa.
Rasa dosa (the sense of sin) adalah kesadaran subyektif baik intelektual maupun afektif akan keberdosaan diri manusia.
Akar dosa adalah sumber dalam diri manusia yg mendorong manusia untuk jatuh ke dalam dosa.
Kecenderungan ke arah dosa (concupiscence) adalah dorongan dalam diri manusia untuk lebih memilih apa yg berdosa daripada apa yang baik. Pada waktu dibaptis, dosa asal dihapus, tetapi kecenderungan ke arah dosa tetap ada. (Kej 8:21).
Perbuatan dosa (sins) adalah tindakan yg dilakukan melawan Allah atau kehendakNya.
Hukuman dosa adalah ganjaran yang diterima akibat sebuah perbuatan dosa.
Akibat/konsekuensi dosa adalah akibat negatif yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa.
Untuk memahami apa itu tobat atau pertobatan, marilah kita belajar dari Injil Lukas 15:11-32 (lih. [Luk 15:11-32] Anak yang hilang).
(Sumber: Warta KPI TL No. 95/III/2012 » Renungan Rekoleksi di Darmaningsih tgl 25 Februari 2012, Diakon Alfonzo, Pr).