Pages

Jumat, 24 Februari 2017

Keluarga yang berakar pada sabda Allah: Keluarga Zakharia dan Elisabet



Injil adalah wahyu yang disampaikan dalam Yesus Kristus, bahwa Allah berbelas kasih kepada orang berdosa

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (1 Yoh 1:9). 

Seperti seorang dokter memeriksa luka sebelum ia membalutnya, demikian Allah memancarkan sinar terang ke atas dosa oleh Sabda dan oleh Roh-Nya (KGK 1846-1848).


Hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang supaya kita dibenarkan karena iman (Gal 3:24).

Marilah kita belajar dari Zakharia (Luk 1:57-66)

[57-58] Kemudian genaplah bulannya bagi Elisabet untuk bersalin dan ia pun melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika tetangga-tetangganya serta sanak saudaranya mendengar, bahwa Tuhan telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia

» Ada seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Istrinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet. Keduanya adalah benar di hadapan Tuhan dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya (Luk 1:5-25). 

Tidak memiliki anak merupakan suatu aib bagi wanita Israel di zaman dulu, dan beberapa orang menganggap mandul sebagai suatu kutukan atau hukuman Tuhan.

Maka, tidak jarang ketika tidak mempunyai keturunan seorang wanita sangat sedih dan menderita karena merasa tidak berguna.

Sebaliknya, melahirkan anak, mereka yakini sebagai tanda Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepada dia yang dikasihi-Nya. Dalam latar belakang budaya seperti ini, bisa dibayangkan betapa besar sukacita seorang wanita Yahudi ketika melahirkan seorang anak, apalagi kalau yang dilahirkan itu anak laki-laki. Rasa syukur dan sukacita itu juga ikut dirasakan oleh tetangga-tetangganya serta sanak saudaranya (Luk 1:14; Rm 12:15).

[59-63] Maka datanglah mereka pada hari yang kedelapan untuk menyunatkan anak itu dan mereka hendak menamai dia Zakharia menurut nama bapanya, tetapi ibunya berkata: “Jangan, ia harus dinamai Yohanes.”

Kata mereka kepadanya: “Tidak ada di antara sanak saudaramu yang bernama demikian.” Lalu mereka memberi isyarat kepada bapanya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada anak itu. Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini: “Namanya adalah Yohanes.” Dan mereka pun heran semuanya

» Di kalangan banyak bangsa di dunia ini, sunat dikaitkan dengan masalah sosial, yakni tanda seorang anak memasuki jenjang dewasa.

Tetapi seorang anak laki-laki Yahudi disunat bukan ketika ia menginjak remaja, melainkan ketika ia masih kecil, tepatnya ketika berusia delapan hari sesuai dengan Perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya: setiap anak laki-laki yang berumur delapan hari harus disunat, dikerat kulit khatannya (Kej 17:9-12;

Abraham menyunat Ishak, anaknya dari Sara ketika berumur delapan hari - Kej 21:4; Abraham menyunat Ismail, anaknya dari Hagar, ketika berumur tiga belas tahun - Kej 17:25).

Jadi, sunat sebagai tanda lahiriah seseorang menjadi anggota umat perjanjian, menjadi ciptaan baru.

Hari kedelapan merupakan hari baru setelah tujuh hari penciptaan. Inilah hari yang tepat untuk menunjukkan bahwa anak yang disunat lahir sebagai manusia baru

Bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya (Gal 6:15).

Dalam Dia kita telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa (Kol 2:11) sehingga kita bisa mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa kita (Ul 30:6).

Hal ini terjadi karena Tuhan mencurahkan air jernih dan mentahirkan kita dari segala kenajisan dan dari semua berhala. Kita diberinya hati yang baru dan roh yang baru di dalam batin dan Dia akan menjauhkan dari tubuh kita hati yang keras dan Dia memberikan kepada kita hati yang taat. Roh-Nya akan diberikan diam di dalam batin kita dan Dia akan membuat kita hidup menurut segala ketetapan-Nya dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Nya dan melakukannya (Yeh 36:25-27).

Sunat yang sejati ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah (Rm 2:29). Jadi, sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk (Ul 10:16).

Seperti alat kelamin laki-laki, hati dalam arti tertentu merupakan tempat bertumbuhnya benih, baik benih-benih kasih maupun benih-benih kejahatan.

Pembungkus hati yang menodai hati kita harus dibuang agar kita terbuka dan bersih, bebas dari perbuatan-perbuatan daging, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5:19-21).

Dengan dibaptis kita dibersihkan dari dosa-dosa kita oleh Kristus dan mulai menjalani hidup baru yang dipimpin oleh Roh.

Ada yang mengatakan bahwa vitamin K dan prothrombin yang sangat dibutuhkan untuk membekukan darah mencapai puncaknya pada usia delapan hari. Karena itu, sunat paling ideal dilakukan pada hari ke delapan karena akan sangat aman dan lukanya cepat sembuh. Sunat juga dikaitkan dengan kesehatan.

Upacara penyunatan biasanya disertai dengan pemberian nama. Dalam budaya Israel, nama bersifat deskripstif, menggambarkan identitas orang yang memakainya.

Jika mereka kesulitan menemukan nama, mereka memberi nama orang tuanya atau nenek moyangnya. Anak laki-laki pertama biasanya diberi nama sesuai dengan nama ayahnya. Anak itu diberi nama sesuai dengan perintah Tuhan (Luk 1:13).

Nama orang-orang yang kelahirannya telah dinubuatkan biasanya mempunyai makna tertentu yang berkaitan dengan panggilan khusus yang direncanakan Tuhan baginya.

Yohanes (artinyaAllah adalah rahim”) dipanggil untuk menyerukan pertobatan agar orang menerima kerahiman Allah dan Sang Penebus (Mat 3:2).

[64-66] Dan seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terlepaslah lidahnya, lalu ia berkata-kata dan memuji Allah. Maka ketakutanlah semua orang yang tinggal di sekitarnya, dan segala peristiwa itu menjadi buah tutur di seluruh pegunungan Yudea.

Dan semua orang yang mendengarnya, merenungkannya dan berkata: “Menjadi apakah anak ini nanti?” Sebab tangan Tuhan menyertai dia

» Zakharia masuk ke Bait Suci dan membakar ukupan di situ. Tampaklah seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan. Melihat hal itu ia terkejut dan menjadi takut.

Tetapi malaikat itu berkata: “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, istrimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes …”

Kata Zakharia kepada malaikat: “Bagaimana aku tahu, bahwa ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya.”

Jawab malaikat itu kepadanya: “Aku Gabriel yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk berbicara dengan engkau dan untuk menyampaikan kabar baik ini. Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.” (Luk 1:8-20).

Zakharia harus membayar mahal ketidakpercayaannya, namun ketidakpercayaannya itu sendiri tidak dapat menghalangi Allah dalam melaksanakan rencana-Nya. 

Ketaatan Zakharia kepada firman Tuhan, maka Tuhan menghapus kutuk yang dia terima. Zakharia memuji dan bersyukur kepada Allah karena ia mengalami kasih Allah.

Semua orang yang tinggal di sekitar Zakharia ketakutan, bukan ketakutan dalam arti harafiah melainkan hormat dan kagum. Lahirnya seorang anak dari seorang yang dianggap mandul menandakan bahwa anak itu benar-benar anugerah Tuhan dan Tuhan mempunyai rencana yang indah untuknya.

(Sumber: Warta KPI TL No.114/X/2013 » Keluarga Bersekutu Dalam Sabda Allah – BKSN 2013 pertemuan ke II, Paskalis Edwin Nyoman Paska).