Setelah dibaptis, saya mulai ikut pelayanan musik. Dengan berjalannya waktu pelayanan saya meningkat menjadi pengkotbah.
Karena sibuk melayani di mana-mana saya berkata: Tuhan, Kau kan mengerti bahwa aku melakukan ini untuk melayani Engkau, wajar kan kalau aku tidak punya waktu lagi untuk memuji-Mu."
Tiba-tiba saya diingatkan akan kisah seorang bapak tua (X) yang berjualan buah memakai gerobak dorong di kampung sebelah rumah kakak ipar saya, yang seorang pendeta.
Kisah ini diceritakan kakak ipar saya sebelum saya dibaptis.
Di kampung sebelah rumah saya, ada seorang bapak tua yang berjualan buah potong memakai gerobak dorong. Sebagai anak Tuhan, dia diberkati sehingga dagangannya laris.
Sepulang dari berjualan, dia selalu menyimpan gerobak dorongnya dan mengambil biola untuk dimainkannya. Di waktu sore pun dia juga memainkan biolanya sehingga tetangga-tetangganya hafal dengan lagu yang dimainkannya.
Pada suatu sore ada seorang hamba Tuhan dari gereja besar lewat di depan rumah X, dia begitu terpesona dengan lagu indah yang dimainkannya. Lalu dia mampir ke rumah bapak X, setelah berbincang-bindang, dia memberikan sebuah kartu nama sambil berkata: "Datanglah ke rumah saya."
Keesokan harinya, setelah selesai berjualan, X datang ke rumah hamba Tuhan itu. Sesampainya di sana, dia disambut dengan sukacita dan hamba Tuhan itu berkata: "Bapak, saya mau memberkati Bapak. Saya tidak tega melihat Bapak sudah tua masih harus berjualan keliling, lebih baik Bapak kulakan dan dijual di suatu tempat. Cobalah!"
Dengan modal yang diberikan hamba Tuhan itu, maka X kulakan berbagai macam buah satu becak dan dijual di pinggir jalan. Karena anak Tuhan, maka dagangannya laris. Keesokan harinya dengan sukacita X kulakan lebih banyak lagi. Kali inipun laris ... sehingga suatu saat X menjadi pengusaha buah-buahan.
Pada suatu hari X jatuh sakit sehingga modalnya habis untuk berobat. Pada saat itulah X baru sadar bahwa dia telah jauh dari Tuhan karena sibuk dengan dagangannya sehingga dia tidak mempunyai waktu lagi untuk memuji Tuhan dengan memainkan biolanya.
Setelah sembuh dari sakitnya, X berjualan buah potong dengan gerobaknya. Dan dia mempunyai waktu lagi memuji Tuhan dengan biolanya.
Setelah diingatkan kisah di atas, saya berlutut, menangis dan berkata: "Terima kasih Tuhan atas kesadaran baru yang telah Kau berikan padaku. Tuhan, aku akan mengubah prioritas hidupku, aku akan melayani-Mu dan memberikan waktu yang terbaik bagi-Mu sebagai tanda menghargai cinta-Mu."
Maka sejak saat itu keyboard saya tidak pernah masuk ke dalam tasnya karena setiap waktu saya selalu memainkannya seperti dulu lagi.
Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang mengasihi dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamai bagi dosa-dosa kita (1 Yoh 4:10).
Marilah kita merefleksikan dua hal, yaitu: Yesus datang untuk apa? dan Yesus datang untuk siapa?
Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita (Yoh 1:1, 4).
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16).
Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia (1 Tim 4:10). Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi Juruselamat dunia (1 Yoh 4:14).
Jadi, Yesus datang
1. sebagai pengantara pada Bapa, pendamaian untuk segala dosa seluruh dunia (1 Yoh 2:1-2).
2. agar kita mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10) (lih. Kekristenan = relasi yang memberi kasih).
Setelah kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, kita diberkati lebih dan lebih lagi. Kasih setia-Nya lebih tinggi dari langit biru, kebaikan-Nya lebih dalam dari lautan.
Tetapi janganlah kita terpesona dengan semua berkat itu, kita harus ingat pada Pemberinya.
Jika kita tidak ingat Pemberinya, maka kita akan mengalami seperti kata Pengkotbah.
Tetapi janganlah kita terpesona dengan semua berkat itu, kita harus ingat pada Pemberinya.
Jika kita tidak ingat Pemberinya, maka kita akan mengalami seperti kata Pengkotbah.
Orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit (Pkh 6:2).
Meskipun kita sudah berdoa dan berpuasa, mengapa hal ini terjadi dalam kehidupan kita? Karena kita tidak pernah berkaca, artinya seringkali dalam kehidupan kita lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti perintah Allah.
Misalnya kita lebih mencintai diri sendiri, tidak mengasihi, tidak mau hidup berdamai, tidak dapat mengekang diri, tidak berpikir panjang sehingga dalam hidup kita tidak ada damai dan sukacita. Hal inilah yang menyebabkan kita mengalami sakit fisik maupun jiwa.
Misalnya kita lebih mencintai diri sendiri, tidak mengasihi, tidak mau hidup berdamai, tidak dapat mengekang diri, tidak berpikir panjang sehingga dalam hidup kita tidak ada damai dan sukacita. Hal inilah yang menyebabkan kita mengalami sakit fisik maupun jiwa.
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang (Ams 17:22).
Ingatlah! Yesus datang ke dunia ingin menyelamatkan semua manusia. Jadi, kita sangat berharga di mata-Nya, kita adalah biji mata-Nya (Ul 32:10).
Jadi, meskipun orang lain tidak peduli atau menganggap kita remeh janganlah berdukacita tetapi bersukacitalah karena hidup kita sangat penting bagi Allah.
Ibadah yang sejati adalah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah (Rm 12:1)
Marilah kita menyadari diri kita dengan selalu bertanya: "Who am I? Balaslah kasih setia dan kebaikan Allah dengan memuji dan memuliakan-Nya.
Jadi, meskipun orang lain tidak peduli atau menganggap kita remeh janganlah berdukacita tetapi bersukacitalah karena hidup kita sangat penting bagi Allah.
Ibadah yang sejati adalah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah (Rm 12:1)
Marilah kita menyadari diri kita dengan selalu bertanya: "Who am I? Balaslah kasih setia dan kebaikan Allah dengan memuji dan memuliakan-Nya.
(Sumber: Warta KPI TL No.106/II/2013 » Renungan KPI TL tgl 7 Februari 2013, Bapak Djatmiko).