Santo Thomas More adalah seorang bapa keluarga, negarawan, sastrawan dan martir kebebasan hati nurani terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.
Pemuda yang cerdas
Sejak masa kecilnya, Thomas dikenal sebagai anak yang pandai. Setelah lulus sekolah dasar pada usia 12 tahun, ia diperkenankan tinggal di rumah Kardinal Mortan di Canterbury. Di sana ia membantu Bapa Kardinal sambil menerima pendidikan lebih lanjut.
Kardinal Mortan adalah orang yang bijaksana. Kesengsaraan yang dialami karena pembuangan dan dipenjara telah mematangkan kehidupan rohani beliau. Ia berusaha mendidik Thomas supaya tidak mudah percaya kepada hal-hal yang dianggap penting oleh dunia, tetapi hanya percaya kepada Tuhan dan supaya Thomas dapat mempergunakan segala bakatnya hanya untuk kemuliaan Tuhan.
Dua tahun kemudian, Thomas disekolahkan di Oxford University. Di sini ia mempelajari hukum, ilmu ke-Tuhanan dan berbagai ajaran para Bapa Gereja.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Thomas selalu teringat akan didikan ayahnya, John More, yang selalu menekankan kedisiplinan, hidup yang hemat dan rajin bekerja. Berkaitan dengan hal ini Thomas menulis sebagai berikut, “Itulah yang menyebabkan saya tidak sampai terjun ke dalam kehidupan duniawi beserta segala kejahatannya. Saya tidak dapat membuang waktu hanya untuk rekreasi yang berbahaya dan tidak bernilai. Supaya tidak terbiasa dengan hal-hal yang luar biasa dan mewah, saya tidak mau mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna dan buruk sehingga saya juga tidak berminat atau mengingini hal-hal di luar tugas pelayananku.”
Seorang pengacara yang jujur
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Oxford, Thomas mengundurkan diri ke biara selama empat tahun untuk mencari kehendak Allah bagi dirinya. Pada usia 23 tahun ia kembali ke masyarakat dan bekerja sebagai seorang pengacara. Karena kejujuran dan kegemilangannya dalam bekerja, tiga tahun kemudian ia terpilih menjadi anggota parlemen. Dan dari tahun 1511 sampai tahun 1515 ia diminta mengajar hukum di Lincoln’s Inn. Bahkan ia juga pernah bertugas sebagai wakil kepala polisi Kota London dan penasehat tetap bidang hukum yang amat jujur dan tak dapat ‘dibeli’, bahkan ia berhasil memberantas korupsi dan kemalasan di Pengadilan Negara.
Karena kecakapannya itu, Raja Hendrik VII — Raja Inggris — menarik Thomas ke istana untuk menduduki jabatan dalam Dewan Mahkota. Thomas menerima pengangkatan ini dengan syarat bahwa ia tidak akan dipaksa berbuat sesuatu yang melawan hati nuraninya. Hendrik VIII menerima syarat itu malahan mengajak Thomas secara tegas untuk mengabdi Tuhan terlebih dahulu, sesudah itu baru mengabdi raja.
Bersama dengan Hendrik VIII, ia membela iman dengan segenap hati demi kemuliaan Allah. Setahun sebelumnya ia bahkan menulis buku ‘Pembelaan Ketujuh Sakramen’ untuk melawan ajaran Luther yang muncul di Wittenberg. Atas pertimbangan jasanya ini pulalah Paus menganugerahi gelar ‘Pembela Iman’ (Defensor Fidei) kepada kepala negara Inggris.
Kehidupannya dalam keluarga
Tahun 1504, dalam usia 27 tahun, Thomas menikah dengan seorang gadis yang berusia 10 tahun lebih muda daripada dia, yang bernama Yane Colt. Mereka dikaruniai seorang putra dan tiga orang putri. Thomas sangat mencintai istrinya, tetapi Yane hanya sebentar saja mendampingi Thomas. Tahun 1509 Yane meninggal dunia. Setelah itu Thomas menikah lagi dengan Alice Middleton yang lebih tua daripada dia. Erasmus dan Rotterdam menulis tentang pernikahannya yang kedua, “Dia menikah dengan seorang janda sebenarnya lebih karena keprihatinannya terhadap putra-putrinya daripada demi dirinya sendiri. Alice lebih tua dan tidak begitu elok, namun ia adalah seorang ibu rumah tangga yang rajin dan baik.”
Thomas sangat mencintai istrinya yang pertama, demikian pula istrinya yang kedua. Di batu nisan kubur istrinya yang pertama, Thomas menulis kalimat, “Tempat ini adalah tempat istirahat Yane, istri Thomas More yang kecil dan manis. Saya, Thomas More, dan Alice yang menjaga kubur ini.” Untuk menggambarkan rasa cinta kepada kedua istrinya, Thomas More juga menulis sebagai berikut, “Istri saya yang pertama, yang bersatu dengan saya pada masa muda telah menganugerahkan seorang putra dan tiga orang putri yang memanggil saya sebagai bapa. Istri saya yang kedua, berbeda dengan ibu-ibu tiri yang lain, menghadapi anak-anak saya seakan-akan mereka adalah anak-anaknya sendiri. Sangat sulit mengatakan apakah istri saya yang pertama lebih mencintai saya daripada yang kedua. Betapa bahagianya hati, kalau nasib mengizinkan kami hidup bersama bertiga. Saya berdoa agar kubur dan Surga kelak mempersatukan kami lagi. Dan semoga kematian mengaruniakan kami apa yang tidak dapat diberikan kehidupan.
Thomas sangat mencintai istri dan anak-anaknya dan hal ini terlihat dalam usahanya menjadi seorang bapa yang baik. Karir dan kesuksesannya ternyata tidak menjadikannya lalai terhadap tugas membina keluarga. Walau ia sibuk bekerja sepanjang hari, pada malam harinya ia mau hadir di tengah-tengah keluarga. Ia menulis, “Kalau saya tiba di rumah, saya harus berbincang-bincang dengan istri dan anak-anak serta bertukar pikiran dengan para pelayan. Semua kesibukan ini saya anggap sebagai kewajiban yang tidak boleh dilalaikan dan sungguh-sungguh harus dilaksanakan oleh seorang bapak kalau ia tidak mau menjadi seorang asing dalam keluarganya sendiri.”
Ia senantiasa meluangkan waktu untuk mereka semua yang dicintainya. Ketika rumahnya yang lama menjadi terlalu kecil, Thomas More membangun sebuah rumah yang cukup luas di Chelsea, sebuah kota kecil di pinggir Sungai Thames. Tentang pembangunan rumah ini, Erasmus memberikan komentarnya sebagai berikut, “Di pinggir Sungai Thames, tidak jauh dan Kota London, Thomas More telah membangun sebuah rumah yang layak, sesuai dengan kedudukannya, namun tidak mewah, sehingga tidak menimbulkan rasa iri hati. Di sini ia hidup bersama dengan keluarganya, yaitu istri, putra-putrinya, menantu-menantunya serta cucu-cucunya. Sulit sekali menemukan seorang ayah seperti dia, yang sungguh sungguh bangga akan keluarganya.” Memang sekalipun ia cukup kaya karena keberhasilan dalam karimya serta memiliki status sosial yang tinggi, ia tetap mau hidup sederhana dan rendah hati sehingga tidak canggung juga untuk bergaul dengan orang-orang miskin.
Dalam penghayatan iman, Thomas juga patut dijadikan teladan, baik itu penghayatan pribadi maupun penghayatan yang dijalankan bersama dengan keluarganya. Setiap hari ia pergi ke gereja untuk mengikuti Perayaan Ekaristi. Tiap hari pula ia mengucapkan doa ketujuh Mazmur Tobat, ditambah beberapa mazmur lainnya serta litani semua orang kudus. Kalau misalnya, siang hari ia sibuk dengan pekerjaannya yang penting, maka pada malam harinya ia akan mengasingkan diri untuk merenung dan berdoa dalam kapela kecil yang sengaja dibangun di dalam kompleks rumahnya.
Baginya iman merupakan harta termahal dalam hidup. Ada seorang imam yang memiliki kenangan khusus terhadap kehidupan iman dalam keluarga Thomas. Imam ini menulis, “Kalau More ada di rumah, maka setiap malam sebelum tidur ia mengumpulkan keluarganya untuk mengucapkan doa malam bersama. Mereka berlutut, kemudian bersama-sama mengucapkan ketiga mazmur yang berisi ungkapan tobat, harapan dan pujian.” Sesudah itu mereka menyanyikan “Salam Ya Ratü” beserta doanya dan diakhiri dengan mendoakan orang-orang yang telah meninggal dengan Doa “De Profundis.” Kebiasaan ini dengan setia dijalankan setiap hari, juga pada waktu Thomas sudah menjadi seorang kanselir. Kebiasaan lain yang terpuji adalah pembacaan sebuah perikop Kitab Suci sebelum makan siang. Kemudian secara singkat ia menerangkan isinya kepada keluarga yang hadir dalam makan bersama itu.
Thomas amat menghargai pernikahan dan kehidupan berkeluarga yang bersumber pada iman dan doa. Ia sungguh berusaha untuk menjadikan iman sebagai pusat kehidupan anak-anaknya.
Bukti iman, harap dan kasihnya kepada Tuhan
Ajakan Raja Hendrik VIII untuk mengabdi Allah terlebih dahulu, setelah itu baru mengabdi raja sungguh-sungguh dibuktikan oleh Thomas sekalipun ia harus mengorbankan jiwanya sebagai seorang martir.
Raja Hendrik VIII menikah dengan Katarina dari Aragon, Spanyol pada tahun 1509. Awalnya, raja sangat mencintainya, tetapi setelah ia tahu bahwa Katarina tidak bisa memberikan keturunan kepadanya, Hendrik berniat untuk menceraikannya. Niat ini semakin kuat setelah Hendrik jatuh cinta lagi dengan Anna Boleyn, seorang wanita yang juga berasal dari Spanyol.
Thomas dihadapkan kepada persoalan yang sulit mi. Dia meminta waktu untuk berpikir dahulu, sesudah itu ia menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan rencana raja, sambil ditunjukkannya berbagai tulisan dan para Bapa Gereja tentang pernikahan. Ia mengingatkan raja akan janji yang diucapkannya dulu dan memohon agar raja membatalkan rencananya.
Awalnya Raja Hendrik menyetujui permintaan Thomas, namun ternyata Hendrik tidak membatalkan niatnya untuk bercerai karena ia tidak menemukan cara lain. Maka “Pembela Gereja” ini akhirnya menjadi penentang Gereja Katolik. Pada tanggal 11 Pebruari 1531, Hendrik memaksa semua rohaniwan untuk takluk kepada raja, menyerahkan segala kebebasan dan hak-hak gerejani kepada raja serta menerima raja sebagai satu-satunya pelindung dan kepala Gereja di Inggris. Segera setelah pernyataan ini, Thomas More melepaskan semua jabatannya.
Setelah pernikahannya dengan Anna Boleyn dan pengangkatan Anna menjadi ratu, Hendrik menuntut agar setiap warga membuat sumpah, yang antara lain berisi, “Penghormatan terhadap Anna Boleyn dan keturunannya sebagai permaisuri yang sah serta menyangkal kewibawaan Paus di Inggris.” Thomas More dan Uskup John Fischer menolak sumpah itu sehingga mereka dipenjarakan dalam menara Kota London dan seluruh miliknya disita.
Ungkapan iman dalam penjara dan pengorbanan terakhir
Selama di penjara, beberapa kali Thomas menulis surat kepada putrinya yang sulung, Margaret Roper dengan menggunakan sebatang arang. Surat-surat dari penjara ini membuktikan kebesaran iman Thomas.
Salah satu suratnya berbunyi sebagai berikut, “Putriku yang tercinta, syukur kepada Tuhan karena saya memiliki kesehatan badan yang baik dan damai benar dalam hatiku. Saya tidak merindukan barang duniawi lebih daripada yang saya miliki sekarang, Saya mohon kepada Tuhan agar Ia menggembirakan kamu sekalian dengan harapan akan Surga. Yang sangat ingin saya bicarakan adalah tentang dunia yang akan datang, saya berharap semoga Tuhan mengilhami dirimu tentang hal ini. Dan saya yakin, Ia akan melakukan hal itu melalui Roh Kudus-Nya. Semoga Roh Kudus memberkati dan melindungi kamu sekalian. Surat ini ditulis dengan sepotong arang oleh ayahmu yang selalu mencintaimu, yang tidak melupakan satu pun dari antaramu dalam doanya yang miskin, anak-anakku, para pelayan, para menantuku yang baik dan bijaksana, istriku yang cerdik dan semua kawan kita yang lain.”
Kemudian dalam suratnya yang terakhir, yang ditulis sehari sebelum menjalani hukuman mati, ia menulis, “Semoga Tuhan memberkati engkau, putri yang baik, suamimu yang baik dan cucuku yang kecil serta semua handai-taulan, anak-anakku, cucu-cucuku yang lain dan semua sahabat-sahabat kita. Margaret yang baik, saya telah menyusahkanmu, namun saya menyesal kalau hari ini ditunda lagi. Besok adalah Hari Vigili Pesta Santo Thomas yang akan ditutup dengan Oktaf Pesta Santo Petrus, oleh karena itu saya senang bahwa besok saya dapat pergi kepada Tuhan. Ini pasti hari yang tepat dan cocok … Selamat tinggal anakku tersayang, doakanlah saya seperti saya sudah berdoa bagimu dan semua handai taulan supaya kita dapat saling bertemu kembali penuh kebahagiaan di Surga. Saya sampaikan syukur kepadamu untuk segala-galanya yang telah engkau lakukan untuk saya …”
Pada tanggal 6 Juli 1535, Thomas More dipenggal kepalanya di atas sebuah bukit. Atas titah raja, kepalanya ditancapkan pada pagar besi Jembatan London selama satu bulan sehingga setiap orang yang lewat dapat melihatnya dengan jelas. Tempat itu memang tempat yang biasa dipakai oleh Hendrik untuk memamerkan korban penganiayaan berdarah yang dilakukannya.
Biasanya kepala-kepala itu kemudian dibuang ke Sungai Thames, tetapi Margaret Roper membayar seorang pengawas untuk memperoleh kepala ayahnya sebagai relikwi yang sangat berharga.
Jenazah Thomas dimakamkan oleh anak-anaknya dalam kapela kecil Santo Petrus yang ada dalam menara Kota London. Sedangkan kepalanya dimakamkan di kapela keluarga Roper yaitu Kapela Santo Dunstan, Canterbury.
Thomas More menjadi martir karena mempertahankan imannya. Ia adalah seorang ayah dan sebuah keluarga yang di dalamnya baik bapa duniawi maupun Bapa Surgawi bukanlah orang yang asing. Ia digelarkan kudus pada tanggal 6 Juli 1935 dan pestanya dirayakan pada tanggal 22 Juni.
(Sumber: www.carmelia.net © 2008 Supported by Mediahostnet web hosting).