Saya berasal dari keluarga yang sangat miskin. Rumah saya berada di atas bukit, jauh dari keramaian. Kalau sekolah saya harus menempuh perjalanan 10 km. Kadangkala harus berjalan kaki 2-3 jam, jika orang tua saya tidak mempunyai uang.
Pada suatu hari mama mengajak saya pergi ke kota. Sebagai anak kecil, saya sangat bahagia, apalagi mama membelikan satu mainan kecil.
Sesampainya di rumah, saya mencoba membuka bungkusan mainan tersebut di ruang tamu. Tiba-tiba saya mendengar papa berteriak-teriak sambil memukul kaca lemari dan membanting barang-barang yang ada di dalam lemari.
Mama langsung menarik saya ke luar rumah. Dan kami duduk di bawah pohon pisang. Saya bertanya pada mama: “Ma, apa yang terjadi?” Mama tidak menjawab pertanyaan saya, dia hanya diam dan menangis. Pertanyaan itu saya ulangi lagi tetapi mama masih tetap bersikap yang sama.
Ketika pintu rumah dibuka, saya kira papa akan memanggil kami masuk rumah dan mengajak kami makan bersama. Ternyata, papa hanya memandang sekilas pada kami dan dia meninggalkan kami begitu saja dengan membawa tas besar dan ransel.
Saya bertanya lagi kepada mama: “Ma, kemana papa pergi?” Lagi-lagi saya melihat mama hanya diam dan menangis. Setelah papa pergi jauh, kami masuk ke dalam rumah dan mama membersihkan semua bekas barang-barang yang dihancurkan papa.
Setelah itu mama menyalakan lilin dan berdoa di depan patung Bunda Maria. Di dalam hati kecil saya bertanya: “Buat apa mama berdoa di depan patung Bunda Maria, bukankah mama belum Katolik?”
Keesokan harinya, saya melihat papa pulang ke rumah dengan baju, tas dan ransel yang sama. Di sinilah saya menyaksikan pemandangan yang sangat luar biasa.
Saya melihat wajah papa yang penuh dengan penyesalan sambil berkata: “Ma, maafkan saya.” Mama merangkul papa dengan menangis dan berkata: “Pa, maafkan kelemahan dan kekurangan yang kemarin mama lakukan.”
Dengan perjalanan waktu, saya baru mengerti bahwa mama telah meneladani sikap Bunda Maria dalam menghadapi suatu persoalan (menyimpan semua perkara didalam hatinya).
Meskipun saat itu mama bukan seorang kristiani, dia dengan kelembutan dan kerendahan hatinya mau memohon dukungan doa melalui perantaraan Bunda Maria.
Pada tanggal 28 Desember 2010, papa dan mama merayakan pesta pernikahannya yang ke 39. Perkawinan ini dapat langgeng karena
- Mereka mengingat akan janji perkawinan di depan pastor, para saksi dan umat yang lainnya: kesetiaan dalam untung dan malang, suka dan duka, gembira maupun sedih.
- Mereka menyadari bahwa dalam kehidupan berumah tangga itu sangat dibutuhkan kasih sayang, keterbukaan dan doa.
Marilah kita memaknai setiap persoalan kehidupan ini dengan benar. Bukankah kita mempunyai pemimpin yang sangat luar biasa.
Dia sangat mengasihi kita, Dia selalu mendoakan kita agar Bapa-Nya memelihara, melindungi dari pada yang jahat, menguduskan kita dalam kebenaran dan supaya kita semua menjadi satu seperti Dia dan Bapa-Nya.
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Roh Kebenaran akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran. Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang (Ibr 11:1; Yoh 16:13)
(Sumber: Warta KPI TL No. 86/VI/2011 » Renungan Novena Roh Kudus hari ke 3, Rm. Andi Wibowo, SDB.).