Setelah dibaptis, status kita adalah anak-anak Allah.
Tetapi seringkali tutur kata dan perbuatan kita bukan sebagai anak-anak Allah. Mengapa ini bisa terjadi? Karena kita kurang mempunyai relasi kasih dengan Allah.
Yang ada hanyalah relasi kebutuhan, kita bertindak sebagai “bos” dengan memaksa Allah meng-amin-kan dengan segala rancangan kita.
Ketika proposal kita belum dikabulkan maka kita mengalami kekecewaan sehingga kita lupa bahwa kita adalah milik-Nya, alias “hamba”-Nya.
Bagaimana kita bisa bangkit dan mengalami suatu pemulihan? Sadarilah kehadiran Allah dalam setiap langkah hidup kita (
lih. warta No. 87/VII/2011 – Hidup di Hadirat Allah) dan jadikanlah Yesus sebagai jurumudinya (lih warta No. 37/V/2007 – Menyerahkan Kemudi Kehidupan di Tangan Tuhan).
Jika kita menyadari status kita sebagai hamba-Nya maka dalam setiap doa kita mengajukan proposal, tetapi kita juga hening untuk mendengarkan suara-Nya.
Roh Kudus-lah yang akan memberitahukan hal-hal yang akan datang kepada kita (Yoh 6:13) sehingga rancangan damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh harapan (Yer 29:11) tergenapi dalam kehidupan kita.
Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari Tuhan! (Yer 17:5)
Marilah kita belajar dari dua murid Yesus di jalan ke Emaus (Luk 24:13-35)
Pada hari itu juga dua orang murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang terjadi
» Yesus melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan janji Bapa (Kis 1:4-5). Mereka tidak taat, karena perjumpaan mereka dengan Yesus hanya berdasarkan relasi kebutuhan, bukan berdasarkan relasi kasih.
Jadi mereka berjalan dari Yerusalem (= syalom, damai) pergi ke Emaus (= mata air yang panas).
Ketika mereka bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia
» keinginan mereka memperoleh suatu pengharapan yang pasti (hidupnya dipulihkan) tetapi mereka menghadapi realita yang berbeda sehingga mereka kecewa dan putus asa dan mereka dibutakan oleh ilah-ilah jaman (kekuatiran, ketakutan, ketidak percayaan dll).
Akibatnya mereka melakukan kesalahan fatal, yaitu tidak mampu mengenal Yesus yang hadir selama bercakap-cakap dan bertukar pikiran.
Yesus berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka berhentilah mereka dengan muka muram … kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel, tetapi …
» orang yang kecewa mukanya muram, mudah tersinggung dan mudah marah, akibatnya bisa membunuh orang lain (Bdk. Kej 4:23).
Ia berkata kepada mereka : “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!
» Tidak mendengarkan perkataan Tuhan.
Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan
» Yesus melakukan hal ini karena Dia rindu diundang.
Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: “Tinggallah bersama-sama kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka.
» Tuhan mau kita dengan rela menerima-Nya, bukan dengan terpaksa.
Setelah kita dipulihkan dari masalah kita, seharusnya kita juga memulihkan sesama kita seperti Lazarus (Yoh 11:1-44). Dengan cara mengikuti Yesus dan membagikan pengalaman hidup kita kepada setiap orang yang kita jumpai sehingga mereka juga mengalami kasih Allah seperti kita.
(Sumber: Warta KPI TL No. 88/VIII/2011 » Renungan KPI TL tgl 5 Mei 2011, Dra Yovita Baskoro, MM).