Selama berabad-abad, pribadi-pribadi tertentu dianugerahi wahyu pribadi oleh Tuhan, yaitu pesan yang hanya disampaikan kepada mereka.
Magisterium dengan cermat dan seksama memeriksa semua wahyu pribadi tersebut. Karena ada kemungkinan terjadi kesalahan manusiawi, ilusi dan distorsi (=penyimpangan) dalam melapor dan mengingat. Atau ada juga kemungkinan tindakan setan, dia mempergunakan apa-apa yang tampaknya baik untuk menarik orang dari Tuhan.
* Jika Gereja telah memberikan pengakuan resmi terhadap suatu wahyu pribadi, umat beriman tidak wajib mempercayai wahyu pribadi tersebut.
Wahyu pribadi ini tidak menambah ataupun melengkapi warisan iman, pesan-pesan tersebut hanya mengilhami orang untuk hidup lebih taat dan setia, serta mendorong orang untuk semakin mendekatkan diri pada Kristus.
Misalnya: Penampakan Bunda Maria di Fatima dan di Lourdes; Penampakan Tuhan Yesus kepada Sr. Faustina dll.
* Jika Gereja belum secara resmi mengakui suatu wahyu pribadi, berhati-hatilah. Misalnya: Penampakan Bunda Maria di Medjugorie.
Jika Gereja telah memaklumkan bahwa suatu wahyu pribadi tidak benar dan bertentangan dengan iman, baiklah kita menjauhkan diri darinya. Misalnya: Penampakan Bunda Maria di Naju Korea.
Wahyu-wahyu pribadi tidak pernah boleh disejajarkan dengan Kitab Suci dan Tradisi Suci.
Prinsip Gamalier: jika berasal dari Tuhan - akan bertahan, jika berasal dari manusia - akan berhenti.
Pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “Pesta Kerahiman Minggu pertama sesudah hari raya Paskah.” Pesta itu berdasarkan Permintaan Yesus melalui penampakan-Nya sebanyak empat belas kali kepada Suster Faustina. Yesus mau menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pesta itu dengan kebangkitan-Nya. Karya penebusan-Nya berkaitan erat dengan karya kerahiman-Nya.
Semua rahmat dari Kerahiman-Ku disalurkan lewat sarana pengharapan (BH V, 148)
Marilah kita belajar dari Simon Petrus (Yoh 21:15-19):
Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka? (agape). Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (philio). Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Kata Yesus pula kepadanya untuk kedua kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku? (agape). Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (philio). Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
Kata Yesus pula kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku? (philio). Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya... Ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu. Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (philio). Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”
» Karena Yesus penuh dengan belas kasih, maka Dia menurunkan standard kasih-Nya, dari agape menjadi philio.
Meskipun pada saat itu Simon belum dapat mengasihi Allah tanpa syarat, jabatannya tetap dipercayakan kepadanya (Mat 16:18 – Paus I). Akhirnya... Petrus belajar mengasihi Allah tanpa syarat, bahkan dia rela menjadi martir dengan disalib terbalik (kepala di bawah, kaki di atas).
Dalam bahasa Indonesia, “kasih” tidak ada tingkatannya secara jelas.
Tetapi dalam bahasa aslinya ada 3 tingkat, yaitu:
Kasih yang berhubungan dengan kedagingan (eros).
Kasih persahabatan, memperhatikan satu sama lain (philio).
Kasih tanpa syarat, kasih Allah kepada manusia (agape).
(Sumber: Warta KPI TL No. 78/X/2010 » Renungan KPI TL tgl 15 April 2010, Rm. Noel Villafuerte, SDB).