Giovanni Francesco Bernardone lahir di Asisi, daerah pegunungan Umbria, Italia Tengah pada tahun 1182. Ayahnya, Pietro Bernardone, seorang pedagang kain yang kaya raya; sedang ibunya Yohana Dona Pica, seorang putri bangsawan Picardia, Perancis.
Ia dibaptis dengan nama ‘Giovanni Francesco Bernardone’ tetapi kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Francesco’ karena kemahirannya berbahasa Perancis yang diajarkan ibunya.
Ia sangat dimanjakan ayahnya sehingga berkembang menjadi seorang pemuda yang suka berfoya-foya dan pemboros.
Pada umur 20 tahun ia bersama teman-temannya terlibat sebagai prajurit dalam perang saudara antara Asisi dan Perugia. Dalam pertempuran itu ia ditangkap dan dipenjarakan selama 1 tahun hingga jatuh sakit.
Pengalaman pahit itu menandai awal hidupnya yang baru, sehingga cintanya berapi-api kepada firman Tuhan dan kepada sakramen.
Ia tidak tertarik lagi dengan usaha dagang ayahnya dan corak hidup mewahnya dahulu. Sebaliknya ia lebih tertarik pada corak hidup sederhana dan miskin sambil lebih banyak meluangkan waktunya untuk berdoa di gereja, mengunjungi orang-orang di penjara dan melayani orang-orang miskin dan sakit. Sungguh suatu keputusan pribadi yang datang di luar bayangan orang sedaerahnya dan orang tuanya.
Tak lama kemudian ketika sedang berdoa di gereja San Damian di luar kota Asisi, ia mendengar suatu suara keluar dari Salib Yesus: ”Fransiskus, perbaikilah rumah-Ku yang hampir rubuh ini!”
Fransiskus tertegun sebentar lalu dengan yakin mengatakan bahwa suara itu adalah suara Yesus sendiri. Segera ia lari ke rumah. Tanpa banyak pikir dia mengambil setumpuk kain mahal dari gudang ayahnya, lalu menjual kain-kain itu. Uang hasil penjualan kain itu diberikan kepada pastor paroki San Damian untuk membiayai perbaikan gereja itu. Tetapi pastor menolak pemberiannya itu.
Ayahnya marah besar lalu memukul dan menguncinya di dalam sebuah kamar. Ibunya jatuh kasihan lalu membebaskan dia dari kurungan itu.
Setelah dibebaskan ibunya, ia kembali ke gereja San Damian. Ayahnya mengikuti dia ke sana, memukulnya sambil memaksanya mengembalikan uang hasil penjualan kain itu.
Dengan tenang ia mengatakan bahwa uang itu sudah diberikan kepada orang-orang miskin. Ia juga tidak mau kembali lagi ke rumah meskipun ayahnya menyeret pulang.
Ayahnya tidak berdaya lalu minta bantuan Uskup Asisi untuk membujuk Fransiskus agar mengembalikan uang itu. Fransiskus patuh pada Uskup.
Di hadapan Uskup Asisi, ia melucuti pakaian yang dikenakannya sambil mengatakan bahwa pakaian-pakaian itu pun milik ayahnya.
Dan sejak itu hanya Tuhan-lah yang menjadi ayahnya. Sang Uskup memberikan kepadanya sehelai mantel dan sebuah ikat pinggang. Inilah pakaian para gembala domba dari Umbria, yang kemudian menjadi pakaian para biara Fransiskus.
Fransiskus tidak kecut apalagi sedih hati dengan semua yang terjadi atas dirinya. Ia bahkan dengan bangga berkata: ”Nah sekarang barulah aku dapat berdoa sungguh-sungguh.” Dan sejak itu ia menjual segala harta kekayaannya dan memberikannya kepada orang miskin.
Sehari-hari ia mengemis sambil berkotbah kepada orang-orang yang ada di sekitar gereja San Damiano. Ia menolong orang-orang miskin dan penderita lepra dengan uang yang diperolehnya setiap hari. Ia sendiri hidup miskin.
Kalau ia berbicara tentang nasehat-nasehat Injil, ia menggunakan bahasa lagu-lagu cinta yang populer dan bahasa-bahasa puitis. Ia sendiri rajin menyusun puisi-puisi dan selalu membacakannya keras-keras kalau ia berjalan-jalan.
Ia disebut orang sekitar dengan nama ”Poverello” (= lelaki miskin). Cara hidupnya, yang miskin tetapi selalu gembira dan penuh cinta kepada orang-orang miskin dan sakit, menarik minat banyak pemuda.
Pada tahun 1209, ada tiga orang bergabung bersamanya: Bernadus Guantevale, seorang pedagang kaya; Petrus Katana, seorang pegawai, dan Giles, seorang yang sederhana dan bijak.
Harta benda mereka dipakai untuk melayani kaum miskin dan orang-orang sakit. Bersama dengan tiga orang itu, Fransiskus membentuk sebuah komunitas persaudaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah ”Ordo Saudara-saudara Dina” atau ”Ordo Fransiskan”.
Klara, seorang gadis Asisi meninggalkan rumahnya dan bergabung juga bersamanya. Bagi Klara dan kawan-kawannya, Fransiskus mendirikan sebuah perkumpulan khusus. Itulah awal dari ”Kongregasi Suster-suster Fransiskan” atau ”Ordo Kedua Fransiskan”.
Fransiskus ditahbiskan menjadi diakon, dia tidak mau ditahbiskan menjadi imam karena dia mau tetap menjadi diakon sampai mati.
Lebih dari orang-orang lain, Fransiskus berusaha hidup menyerupai Kristus. Ia menekankan kemiskinan absolut bagi para pengikutnya waktu itu. Sebagai tambahan pada kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, ia menekankan juga penghayatan semangat cinta persaudaraan, dan kesederhanaan hidup. Ordo Benediktin yang sudah lama berdiri memberi mereka sebidang tanah.
Demi sahnya komunitas yang dibentuknya, dan aturan hidup yang disusunnya, ia berangkat ke Roma pada tahun 1210 untuk minta restu dari Sri Paus Innosensius III (1198-1216).
Mulanya Sri Paus menolak. Tetapi pada suatu malam dalam mimpinya, Paus melihat tembok-tembok Basilik Santo Yohanes Lateran terguncang dan Fransiskus sendiri menopangnya dengan bahunya. Pada waktu pagi, Paus langsung memberikan restu kepada Fransiskus tanpa banyak bicara.
Lagi-lagi Ordo Benediktin menunjukkan perhatiannya kepada Fransiskus dan kawan-kawannya. Kapela Maria Ratu para Malaikat di Portiuncula, milik rahib Benediktin, kira-kira dua mil jauhnya dari kota Asisi, diserahkan kepada Fransiskus oleh Abbas Ordo Benediktin. Fransiskus gembira sekali. Ia mulai mendirikan pondok-pondok kecil dari kayu di sekitar kapela itu sebagai tempat tinggal mereka yang pertama.
Kemudian Chiusi, seorang tuan tanah di daerah itu memberikan kepadanya sebidang tanah di atas bukit La Verna, di bilangan bukit-bukit Tuscan. La Verna kemudian dijadikan tempat berdoa dan meditasi.
Semangat kerasulannya mulai membara dari hari ke hari. Dalam hatinya mulai tumbuh keinginan besar untuk mempertobatkan orang-orang Muslim di belahan dunia Timur.
Ia mulai menyusun rencana perjalanan ke Timur. Pada musim gugur tahun 1212, ia bersama seorang kawannya berangkat ke Syria.
Tetapi nasib sial menghadang mereka di tengah perjalanan, kapal yang mereka tumpangi karam dan mereka terpaksa kembali lagi ke Italia. Tetapi ia tidak putus asa. Ia mencoba lagi dan kali ini ia mau pergi ke Maroko melalui Spanyol.
Tetapi sekali lagi niatnya tidak bisa terlaksana karena ia jatuh sakit. Pada bulan Juni 1219, ia sekali lagi berangkat ke belahan dunia Timur bersama 12 orang temannya. Mereka mendarat di Damaieta, delta sungai Nil, Mesir. Di sana mereka menggabungkan diri dengan pasukan Perang Salib yang berkemah di sana.
Nasib sial menimpa dirinya lagi. Ia ditawan oleh Sultan Mesir. Saat itu menjadi suatu peluang baik bagi dirinya untuk berbicara dengan Sultan Islam itu. Sebagai tawanan ia minta izin untuk berbicara dengan Sultan Mesir. Ia berharap dengan pertemuan dan pembicaran dengan Sultan, ia dapat mempertobatkannya.
Sultan menerima dia dengan baik sesuai adat sopan santun ketimuran. Namun pertemuan itu sia-sia saja. Sultan tidak bertobat dan menyuruhnya pulang kepada teman-temannya di perkemahan setelah mendengarkan kotbahnya.
Setelah beberapa lama berada di Tanah Suci, Fransiskus dipanggil pulang oleh komunitasnya. Selama beberapa tahun, ia berusaha menyempurnakan aturan hidup komunitasnya.
Selain itu ia mendirikan lagi ”Ordo Ketiga Fransiskan”. Ordo ini dikhususkan bagi umat awam yang ingin mengikuti cara hidup dan ajarannya sambil tetap mengemban tugas sebagai bapa-ibu keluarga atau tugas-tugas lain di dalam masyarakat.
Para anggotanya diwajibkan juga untuk mengikrarkan kaul kemiskinan dan kesucian hidup. Kelompok ini lazim disebut kelompok ”Tertier”. Tugas pokok mereka ialah melakukan perbuatan-perbuatan baik di dalam keluarga dan masyarakat dan mengikuti cara hidup Fransiskan tanpa menarik diri dari dunia.
Ordo Fransiskan ini berkembang dengan pesat dan menakjubkan. Dalam waktu relatif singkat komunitas Fransiskan bertambah banyak jumlahnya di Italia, Spanyol, Jerman dan Hungaria.
Pada tahun 1219 anggotanya sudah 5000 orang. Melihat perkembangan yang menggembirakan ini maka pada tahun 1222, Paus Honorius III (1216-1227) secara resmi mengakui komunitas religius Fransiskan berserta aturan hidupnya.
Pada tahun 1223, Fransiskus merayakan Natal di daerah Greccio. Upacara malam Natal diselenggarakan di luar gereja. Dia menghidupkan kembali gua Betlehem dengan gambar-gambar sebesar badan. Penghormatan kepada Kanak-kanak Yesus yang sudah menjadi suatu kebiasaan Gereja dipopulerkan oleh Fransiskus bersama para pengikutnya.
Pada umur 43 tahun ketika sedang berdoa di bukit La Verna sekonyong-konyong Fransiskus merasa sakit di badannya dan muncul luka-luka seperti Yesus di kaki dan tangannya serta lambungnya (stigmata). Luka-luka itu tidak pernah hilang sehingga menjadi sumber rasa sakit dan kelemahan tubuhnya. Semenjak peristiwa ajaib itu, Fransiskus mulai mengenakan sepatu dan menyembunyikan tangan-tangannya di balik jubahnya.
Lama kelamaan kesehatannya semakin menurun dan pandangannya mulai kabur. Dalam kondisi ini, ia menyusun karyanya yang besar ”Gita Sang Surya”.
Ia diminta untuk mendamaikan Uskup dengan Penguasa Asisi yang sedang bertikai. Untuk itu ia menganjurkan agar perdamaian itu dilakukan di halaman istana uskup bersama beberapa imam dan pegawai kota. Ia sendiri tidak ikut serta dalam pertemuan itu. Namun ia mengutus dua orang rekannya ke sana dengan instruksi untuk menyanyikan lagu ”Gita Sang Surya”, yang telah ia tambahi dengan satu bagian tentang ’keindahan saling mengampuni’
Ketika mendengar nyanyian yang dibawakan dengan begitu indah oleh dua orang biarawan Fransiskan itu, Uskup dan penguasa Asisi itu langsung berdamai tanpa banyak bicara.
Menjelang tahun-tahun terakhir hidupnya, ia mengundurkan diri. Sebab, di antara saudara-saudaranya seordo terjadilah selisih paham mengenai penghayatan hidup miskin seperti yang dicintai dan dihayatinya sendiri.
Pada tanggal 3 Oktober 1226 dalam umur 44 tahun, Fransiskus meninggal dunia di kapela Portiuncula. Dua tahun berikutnya, ia langsung dinyatakan ’kudus’ oleh Gereja.
Fransiskus sudah berada pada puncak perjalanan pertobatannya. Semuanya sudah ditinggalkannya, dan sekarang ia berdiri menengadah kepada Allah semata-mata. Tidak ada hal lain yang perlu dikerjakan lagi selain memuja dan memuji Dia. Seluruh dirinya terentang dan terarah kepada-Nya semata-mata. Dalam sikap yang ”murni” itu, indra batiniahnya juga semakin jernih dan tajam. Ia menangkap nyanyian dan puja-pujian semua makhluk, dan ia pun mengajak mereka untuk bersama-sama memuji Sang Pencipta.
Fransiskus dikagumi orang-orang sezamannya bahkan hingga kini, karena berbagai karunia yang luar biasa yang dimilikinya. Ia dijuluki ”Sahabat alam semesta” karena cintanya yang besar dan dalam terhadap ciptaan Tuhan.
Semua ciptaan menggerakkan jiwanya untuk bersyukur kepada Tuhan dan memuliakan keagungan-Nya. Seluruh alam raya beserta isinya benar-benar berdamai dengan Fransiskus. Ia dapat berbincang-bincang dengan semua ciptaan seperti layaknya dengan manusia. Semua disapanya sebagai saudara.
Dengan meninggalkan segalanya demi Allah, dengan hati murni Fransiskus menemukan segalanya sebagai saudara ... dan dia minta agar semua saudaranya mempelajari isi dan arti segala yang ditulis dalam aturan hidup ini demi keselamatan jiwa.
Inilah sebagian kecil spiritualitas dan aturan hidup yang dibuatnya.
* Penghormatan kepada Ekaristi dan kepada firman Tuhan merupakan salah satu pokok yang penting. Keduanya erat berhubungan satu sama lain. Baik dalam Ekaristi maupun dalam firman Tuhan, Tuhan hadir secara ”badani”.
* Allah dan Putra Allah, begitu merendahkan diri-Nya, sampai Ia menyembunyikan diri di dalam rupa roti yang kecil, untuk keselamatan kita. Maka pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya. Rendahkanlah dirimu, agar kamu diinggikan oleh-Nya. Karena itu janganlah menahan sesuatu pun yang ada padamu bagi dirimu sendiri, agar kamu seutuh-utuhnya diterima oleh Dia, yang memberikan diri-Nya seutuhnya bagi kamu.
* Tidak seorang pun dapat diselamatkan, selain oleh Firman kudus serta darah Tuhan kita Yesus Kristus, yang disampaikan, diwartakan dan dihidangkan oleh para rohaniawan.
* Hidup itu pada dasarnya haruslah merupakan persaudaraan injili, yang hanya bisa dijamin dan dimungkinkan oleh kemiskinan dan kerendahan.
Karena yang mau diwujudkan adalah Kerajaan Allah, maka status kita adalah “hamba Allah” – dituntut rasa tanggungjawab penuh untuk terus-menerus mencari dan melaksanakan kehendak Allah atau tuntutan kerajaan-Nya.
Perwujudan kerajaan Allah hanya mungkin bila roh daging (= egoisme, kesombongan, kebanggaan sia-sia, iri hati, kerakusan, hati beku, kepala batu) dicabut dan diganti dengan Roh Tuhan; terus menerus menjalankan pertobatan, senantiasa membelakangi dunia dan mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
* Hanya dengan menghambakan diri dalam satu sikap kemiskinan hati yang mendalam, persaudaraan kristen bisa dibentuk.
Miskin dalam roh – memberikan gambaran orang yang menilai diri sendiri tidak berarti, sehingga tidak tersinggung rasa kehormatannya oleh perkataan atau perbuatan orang lain (Mat 5:3).
* Di hadapan Allah (Penderma Agung), manusia adalah pengemis kecil yang hanya harus terus menadahkan tangan untuk menerima.
* Arti religius ketaatan adalah bersedia menanggung perlakuan apa saja, asal itu sejalan dengan kehendak Allah.
* Hendaklah kita melindungi diri terhadap kebijaksanaan dunia ini dan terhadap kecerdikan daging; sebab roh daging (kecenderungan menjadikan diri sendiri sebagai pusat segalanya) menghendaki dan banyak berusaha untuk berbicara tetapi sedikit berbuat; dan yang dikejarnya bukanlah hidup keagamaan dan kekudusan rohaniah-batiniah, tetapi yang dikehendaki dan diinginkannya ialah hidup keagamaan dan kekudusan yang lahiriah tampak di mata orang.
Roh Tuhan mengusahakan kerendahan dan kesabaran serta ketentraman hati yang sejati, murni dan sederhana.
* Semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, dilatihnya dengan deraan cemeti dan penyakit serta dengan roh keremukredaman, sebagaimana Tuhan berfirman: Aku menegur dan menghajar mereka yang Kukasihi (Kis 13:48; Why 3:19).
* Mengasihi bukan dengan perkataan atau lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran (Yak 2:18; 1 Yoh 3:18).
Orang yang benar-benar mengasihi musuhnya ialah dia yang tidak sedih karena kelaliman yang dibuat musuh terhadap dirinya; tetapi demi cintakasih Allah ia tersiksa hatinya karena dosa dalam jiwa musuhnya (Mat 5:44).
Orang yang secara tidak adil mendatangkan kesusahan, impitan, malu dan kelaliman, penderitaan dan siksaan, kemartiran dan kematian atas diri kita, mereka itulah sahabat-sahabat kita. Mereka itu harus kita kasihi sungguh-sungguh sebab justru karena hal-hal yang mereka timpakan atas diri kita, kita memperoleh hidup yang kekal (Mat 5:44; 1 Ptr 2:21).
* Orang yang makan dari pohon pengetahuan tentang yang baik, ialah ia yang menganggap kehendaknya sebagai miliknya sendiri (selalu berusaha menimbun milik untuk diri sendiri; mempertahankan kehendak sendiri sebagai harta milik yang begitu disayangi, sehingga tidak dilepaskan. Sikap ini merupakan kesombongan dan keserakahan yang menghalangi turun tangan Allah) dan menyombongkan diri atas apa yang baik, yang diucapkan dan dikerjakan Tuhan di dalam dirinya; dengan demikian karena bujukan setan dan pelanggaran perintah, buah itu menjadi buah pengetahuan tentang yang jahat. Karena itu, patutlah ia menanggung hukuman.
* Seorang hamba Allah, yang tidak gusar dan gelisah karena orang lain, benar-benar hidup tanpa milik (bebas dari semua kelekatan pada diri sendiri, dan dari sikap menganggap diri mempunyai ”hak” untuk mengadili orang lain).
Gusar dan gelisah merupakan tanda bahwa orang merasa diri lebih bersih, lebih sempurna, lebih ”kaya” daripada orang lain.
Orang yang gelisah karena kehilangan jabatan sebagai pemimpin – mengumpulkan bagi dirinya kekayaan yang membahayakan jiwa.
Orang yang gelisah dan gusar karena dosa orang lain – menimbun kesalahan untuk dirinya sendiri.
* Hendaklah kita sungguh-sungguh waspada terhadap kelicikan dan kecerdikan setan, yang menginginkan agar orang tidak mengarahkan akal budi dan hatinya kepada Allah. Sambil berkeliling dia ingin merebut hati manusia dengan berkedok suatu upah atau pertolongan, dan ingin melenyapkan dan mengimpit firman dan perintah Tuhan dari ingatan manusia. Ia mau membutakan hati manusia dengan urusan dan kesibukan duniawi lalu menetap di sana, sebagaimana Tuhan berfirman (Mat 12:43; Luk 11:24; Mat 12:44; Luk 11:26).
* Banyak orang cenderung untuk mempersalahkan setan atau sesama kalau mereka jatuh dalam dosa atau mengalami kelaliman. Padahal tidak demikian; sebab orang mempunyai musuh dalam wilayah kekuasaannya sendiri, yaitu badan (kecenderungan yang rendah/egoisme), yang menyebabkan ia jatuh dalam dosa.
* Pengkotbah, pendoa maupun pekerja, entah rohaniwan entah awam, agar berusaha merendahkan diri dalam segalanya; tidak memegahkan diri, tidak berpuas-puas diri, dan tidak meninggikan diri dalam batin atas perkataan dan perbuatan baik, bahkan atas kebaikan mana pun yang dikerjakan atau dikatakan dan dilaksanakan oleh Allah sewaktu-waktu dalam diri mereka atau melalui mereka – janganlah bersukacita karena roh-roh itu takhluk kepadamu (Luk 10:20).
* Janganlah melihat dosa orang lain yang kecil, tetapi hendaklah merenungkan dosanya sendiri dengan hati yang pahit pedih (Mat 7:3; Luk 6:41).
* Satu-satunya yang dapat dibanggakan manusia ialah kelemahan-kelemahannya sendiri serta usaha memikul salib suci Tuhan kita Yesus Kristus setiap hari.
* Mereka yang melakukan pertobatan, maka mereka menjadi anak-anak Bapa Sorgawi yang karya-Nya mereka laksanakan; dan menjadi mempelai (bila jiwa yang setia disatukan dengan Tuhan kita Yesus Kristus oleh Roh Kudus); menjadi saudara bagi-Nya (bila kita melaksanakan kehendak Bapa yang ada di sorga); menjadi ibu Tuhan kita Yesus Kristus (bila kita mengandung Dia di dalam hati dan tubuh kita karena kasih ilahi dan karena suara hati yang murni dan jernih. Kita melahirkan Dia melalui karya yang suci, yang harus bercahaya bagi orang lain sebagai contoh).
Mereka yang tidak melakukan pertobatan, dan tidak menyambut tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus, tetapi malah melakukan cacat-cela dan dosa-dosa, dan berjalan menuruti suara hati yang buruk serta keinginan dagingnya yang jahat, serta tidak menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Tuhan, dan secara badaniah menjadi budak dunia ini, budak keinginan daging dan kecenderungan duniawi serta kekhawatiran hidup ini: mereka itu telah dikuasai oleh setan, mereka menjadi anak-anaknya dan mengerjakan pekerjaannya. Mereka itu buta karena tidak melihat cahaya yang sejati, Tuhan kita Yesus Kristus. Mereka tidak mempunyai kebijaksanaan rohani ... mereka melihat apa yang jahat, mengetahui dan melakukannya dengan sengaja, dan dengan sadar mencelakakan jiwa. Bila seseorang mati dalam dosa yang jahat tanpa pertobatan dan pemulihan ... maka setan merebut jiwanya dari tubuhnya.
Lakukanlah pertobatan dan hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan (Mat 3:2; Luk 3:8).
Tiga patah kata pesan terakhir Fransiskus:
1. Kasih persaudaraan
2. Kemiskinan
3. Kekatolikan yang diungkapkan dalam ketaatan para anggota hirarki Gereja.
Fransiskus adalah orang kudus besar yang dikagumi Gereja dan seluruh umat hingga kini. Kebesarannya terletak pada dua hal berikut: kegembiraannya dalam hidup yang sederhana, menderita lapar dan sakit, dan pada cintanya yang merangkul seluruh ciptaan.
Ketika Gereja menjadi lemah dan sakit karena tergiur dengan kekayaan dan kekuasaan duniawi, Fransiskus menunjukkan kembali kekayaan iman Kristen dengan menghayati sungguh-sungguh nasehat-nasehat dan cita-cita Injil yang asli: kerendahan hati, kemiskinan dan cinta.
Peringatan Santo Fransiskus Asisi: 4 Oktober
(Sumber: Warta KPI TL No. 65/IX/2009 » Orang Kudus Sepanjang Tahun, Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM; Karya-karya Fransiskus Asisi, Leo Ladjar OFM).
Fransiskus tidak mau menjalani pengobatan matanya. Akan tetapi karena dipaksa oleh keadaan dan ketaatannya kepada Uskup Ostia dan Minister Jendral, dia memutuskan melakukan pengobatan.
Cara pengobatan mata Fransiskus: besi yang telah dihanguskan oleh api, dioleskan mulai bagian telinga sampai ke alis mata, sehingga nanah dapat keluar dari matanya.
Untuk memperkuat diri supaya dia jangan takut, Fransiskus berkata: “Saudaraku api, engkau luhur dan berguna di antara ciptaan Mahatinggi yang lain. Hendaklah engkau jangan terlalu keras terhadap saya, sebab saya sejak dahulu mencintai engkau dan saya masih mencintai engkau demi cintaku kepada Tuhan yang telah menciptakan engkau. Saya mohon juga kepada Pencipta kita, yang telah menciptakan engkau dan saya, supaya Dia mengurangi panasmu sehingga saya dapat menahan itu.” Setelah berdoa, dia menandai api dengan tanda salib. Pada saat berlangsungnya pengobatan, para saudaranya melarikan diri karena cintanya dan kasihan padanya. Dokternyapun merasa gelisah, karena dia dalam kondisi sakit dan lemah. Katanya: “Mengapa kalian berkecil hati dan kurang percaya? Saya sama sekali tidak merasa sakit dalam pengobatan ini.”
Dia berbicara dengan ciptaan itu dalam kegembiraan batiniah dan lahiriah, seakan-akan ciptan itu memiliki perasaan, pengertian dan sapaan dari Allah.
Cara pengobatan mata Fransiskus: besi yang telah dihanguskan oleh api, dioleskan mulai bagian telinga sampai ke alis mata, sehingga nanah dapat keluar dari matanya.
Untuk memperkuat diri supaya dia jangan takut, Fransiskus berkata: “Saudaraku api, engkau luhur dan berguna di antara ciptaan Mahatinggi yang lain. Hendaklah engkau jangan terlalu keras terhadap saya, sebab saya sejak dahulu mencintai engkau dan saya masih mencintai engkau demi cintaku kepada Tuhan yang telah menciptakan engkau. Saya mohon juga kepada Pencipta kita, yang telah menciptakan engkau dan saya, supaya Dia mengurangi panasmu sehingga saya dapat menahan itu.” Setelah berdoa, dia menandai api dengan tanda salib. Pada saat berlangsungnya pengobatan, para saudaranya melarikan diri karena cintanya dan kasihan padanya. Dokternyapun merasa gelisah, karena dia dalam kondisi sakit dan lemah. Katanya: “Mengapa kalian berkecil hati dan kurang percaya? Saya sama sekali tidak merasa sakit dalam pengobatan ini.”
Dia berbicara dengan ciptaan itu dalam kegembiraan batiniah dan lahiriah, seakan-akan ciptan itu memiliki perasaan, pengertian dan sapaan dari Allah.
(Sumber: Warta KPI TL No. 67/XI/2009 » Legenda Perugina, kumpulan cerita dari Asisi karya saudara Leo dan saudara-saudaranya mengenai St. Fransiskus dari Asisi))
Doa damai Santo Fransiskus Asisi
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu.
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kecemasan,
jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku pembawa kegembiraan;
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang.
Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai.
Sebab dengan memberi, aku menerima;
dengan mengampuni, aku diampuni;
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
"Doa Damai dari St. Fransiskus Assisi" demikian nama yang sudah dikenal secara luas, sekarang ini sudah berumur 100 tahun. "Kok baru seratus tahun!? Bukankah St. Fransiskus Assisi itu berasal dari permulaan abad 13? Jadi sudah 800 tahun dong!" Pertanyaan itu tepat sekali.
Secara harafiah, doa ini bukanlah dari St. Fransiskus Assisi, tetapi memuat jiwa dan semangat yang sedemikian kental bernas dari St. Fransiskus Assisi, sehingga menamakannya sebagai "Doa Damai St. Fransiskus Assisi" terasa mengalir begitu alami, lancar, dan mengena tanpa hambatan.
Seratus tahun yang lalu, pada bulan Desember 1912, Doa ini diterbitkan pertama kali oleh Esthet Auguste Bouquerel dalam surat kabar Perancis La Clochette. Tidak lama kemudian, doa itu pun diterbitkan dalam journal terkemuka seperti La Croix dan L'Osservatore Romano, kemungkinan besar atas permintaan Sri Paus Benediktus XV atau Kardinal Gasparri.
Dari sinilah doa itu menyebar ke seantero dunia dan menjadi terkenal, mengena di hati dan disayang oleh siapa saja yang berkehendak baik.
Siapa pun merindukan kedamaian, tidak hanya kedamaian dalam hati sendiri, tapi juga dalam lingkup dunia di mana dia hidup, bahkan damai di setiap sudut bumi.
Karena itu doa ini dengan cepat melekat pada hati banyak orang. Kata-katanya sedemikian sederhana, tak berbelit-belit dalam kalimat-kalimat yang panjang. Singkat, padat, bernas, sederhana, sehingga dengan mudah meresap di hati yang membacanya.
Karena itu tidak mengherankan bahwa “doa sederhana” ini diucapkan oleh begitu banyak orang – banyak yang setiap hari mendoakannya – termasuk tokoh-tokoh dunia yang terkenal, seperti Ibu Teresa: ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, dia hanya mengucapkan dua tiga kalimat terimakasih, kemudian mengajak para hadirin untuk bersama-sama mendoakan Doa Damai ini, yang naskahnya sudah dibagikan sebelumnya.
Demikian juga Margaret Thatcer pada hari pelantikannya sebagai Perdana Menteri Inggris; Patti Smith dalam lagu yang berjudul "Constantine’s Dream" dan Bill Clinton, ketika dia pada tanggal 4 Oktober 1995 menerima kedatangan Sri Paus Yohanes Paulus II yang menghadiri Sidang Umum PBB di New York.
Jiwa Fransiskus dalam Doa Ini
Fransiskus Assisi orang yang sedemikian rendah hati di hadapan sesama manusia, apalagi di hadapan Allah. Rendah hati bukan berarti minder, takut bertindak atau pengecut. Fransiskus menyadari diri bukan apa-apa di hadapan Tuhan. Hanya sekedar ciptaan-Nya. Kendati merasa diri sedemikian dicintai oleh Allah Sang Pencipta itu, dia merasa apapun juga yang dikerjakan, itu hanyalah anugerah Allah itu sendiri. Dirinya hanyalah alat. Tuhanlah yang berperan utama.Dalam doa ini semangat iman itu kentara betul. Dia memohon kepada Tuhan supaya Tuhan menjadikan dirinya sebagai sarana, pembawa perdamaian, bukan pelakunya.
Karena itu, setiap kalimat diserukan: "jadikanlah aku". Fransiskus tidak berkata – O, dia tidak akan berani berkata – "bila terjadi kebencian, saya akan membawa cinta kasih."
Seandainya pun dia berhasil meluluhkan kebencian itu dan berubah menjadi cinta kasih, dia akan bersyukut kepada Tuhan karena Tuhan telah berkenanuan membuat dirinya menjadi sarana cinta kasih Tuhan itu. Karena itu dia hanya mampu dan berani memohon: "Bila terjadi penghinaan, JADIKANLAH aku pembawa pengampunan". Hal yang sama diterjemahkan oleh orang lain sebagai: "BIAR(KAN)LAH aku membawa pengampunan".
Kendati naskah doa ini bukan hasil dari tangan Fransiskus sendiri, namun semangat Fransiskus menggelegak sedemikian kental di dalamnya. Karena itu orang pun tak segan-segan menganggapnya berasal dari Fransiskus Assisi sendiri.
Sumber: http://ofm.or.id/100-tahun-doa-damai-fransiskus-asisi/
[Baca juga: Belajar penderitaan dan sukacita yang sempurna]
Keunikan dari St. Fransiskus Asisi
Ada banyak cerita yang mengisahkan bagaimana St. Fransiskus Asisi (1182-1226) dapat berkomunikasi dengan binatang-binatang dan menyatu dengan alam serta semua ciptaan.
Berikut adalah beberapa kutipan cerita yang di tulis pertama kali oleh Thomas Celano pada abad 13.
Kotbah kepada burung, kelinci dan ikan
Dikisahkan Fransiskus dan pengikutnya sedang menempuh perjalanan ke lembah Spoleto. Tiba-tiba ia melihat serombongan besar burung sedang berterbangan. Ia meninggalkan teman-temannya lalu mengejar rombongan burung itu dan menanti dengan sabar.
Ketika burung itu hinggap di tempatnya masing-masing Fransiskus bertanya kepada mereka apakah mau tinggal sejenak untuk mendengarkan sabda Tuhan. Lalu ia pun mulai berbicara pada burung-burung itu, “Saudara/i burung, hendaknya kalian senantiasa memuji dan mengasihi penciptamu selalu. Sebab Ia telah memberimu sayap untuk terbang, bulu untuk mantel dan makananmu pun cukuplah. Tuhan-lah yang menjadikan udara yang halus bersih sebagai rumahmu, tanpa menabur atau menuai kalian mendapat bimbingan dan perlindungan dari Tuhan.
Mendengar itu, burung-burung mulai mengepakkan sayap mereka, menjulurkan leher sambil berkicau, lalu bertebangan di sekitar Fransiskus. Fransiskus pun berjalan di tengah burung-burung yang terbang rendah itu lalu memberkati mereka dengan membuat tanda salib bagi mereka. Kemudian burung-burung itu mulai berterbangan kembali di udara meninggalkan Fransiskus sambil berkicau-kicau. Lalu Fransiskus pun mulai melanjutkan perjalananya kembali.
Pada lain kesempatan ia juga pernah menghardik serombongan burung yang berisik sehingga menggangu misa di gereja. Anehnya burung-burung itu langsung tenang sampai misa usai.
St Fransiskus di tengah-tengah burung
Fransiskus tak hanya berkotbah dan menasehati burung saja. Beberapa binatang lain pun juga di kisahkan pernah memperoleh wejangan darinya. Salah satunya kelinci.
Suatu hari seorang rahibnya datang dan membawa seekor kelinci yang terjebak dalam perangkap. Ia menasehati kelinci itu dan memperingatinya supaya lebih berhati-hati pada waktu yang akan datang. Lalu di keluarkannya kelinci itu dan di lepaskannya. Tetapi kelinci itu kembali melompat ke pangkuan Fransiskus dan berharap boleh tinggal bersamanya. Kembali Fransiskus melepaskan kelinci itu dan mempersilahkannya pergi, namun lagi-lagi kelinci itu malah melompat ke pangkuan Fransiskus. Akhirnya ia meminta seorang rahibnya supaya membawa kelinci ini ke dalam hutan dan kelinci ini pun tak kembali.
Ikan-ikan pun juga patuh dan setia pada Fransiskus. Pada suatu kesempatan ia memancing di danau bersama beberapa saudaranya, setiap kali ada ikan yang tertangkap ia akan melepaskan ikan itu kembali ke air sambil memperingatinya supaya berhati-hati agar tidak tertangkap lagi. Setelah di lepas ikan-ikan itu tidak langsung pergi tapi mendengarkan kotbahnya sampai selesai baru mereka pergi.
St. Fransiskus dan serigala
Mungkin inilah kisah St Fransiskus yang paling terkenal dan popular di kalangan rakyat Italia sampai sekarang ini adalah saat Ia menjinakkan seekor serigala yang meneror rakyat Gubbio sebuah desa di Italia. Ketika Fransiskus singgah di desa itu dalam pewartaan Injil dan ordonya ia mendapati seekor serigala yang amat ganas, ia tidak hanya memburu dan memangsa binatang ternak tapi juga manusia. Berkali-kali rakyat telah berbondong-bondong berusaha membunuhnya, tapi mereka yang pergi itu lenyap dan kocar-kacir karena serbuan yang ganas dan buas dari taring-taring serta kuku serigala itu. Rakyat pun hidup dengan penuh ketakutan sehingga tidak berani keluar dari tembok kota.
Fransiskus yang iba kepada rakyat desa itu memutuskan untuk pergi mencari serigala itu. Penduduk melarangnya, namun Fransiskus amat yakin jika Tuhan pasti melindunginya. Ditemani oleh seorang rahibnya dan oleh beberapa petani Fransiskus di antar sampai ke luar tembok kota.
Tetapi segera saja petani-petani itu beserta rahibnya merasa takut untuk meneruskan langkah kaki mereka untuk menemani Fransiskus. Fransiskus mulai berjalan seorang diri, tiba-tiba serigala itu muncul dengan rahangnya yang ternganga serta kuku yang tajam berlari hendak menerkamnya. Fransiskus membuat tanda salib kearah serigala itu dan dengan kuasa Tuhan serigala itu memperlambat larinya serta mengatupkan rahangnya.
Kemudian Fransiskus berkata pada serigala itu : “Datanglah padaku, saudara serigala. Dalam nama Yesus, aku memerintahkan kamu untuk tidak menyakiti siapapun mulai saat ini.” Maka saat itu juga serigala itu menundukkan kepalanya dan berbaring di bawah kaki Fransiskus seperti seekor anak domba.
Fransiskus menjelaskan pada serigala itu jika serigala telah menyakiti serta membunuh penduduk desa sehingga mereka menjadi takut. Kata Fransiskus pada serigala itu, “saudara serigala, aku ingin mengadakan perdamaian antara kamu dengan penduduk desa Gubbio. Mereka tidak akan menyakiti kamu lagi dan kamu juga tidak boleh menyakiti mereka. Semua kejahatanmu di masa lalu akan dihapuskan.” Serigala itu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Puncak dari peristiwa itu Fransiskus meminta serigala untuk berjanji padanya. Fransiskus mengulurkan tangannya, lalu serigala itu juga mengulurkan kaki depannya dan meletakkannya di atas tangan orang kudus itu. Lalu serigala itu mengikuti Fransiskus masuk ke dalam desa tanpa melawan sedikitpun.
Ketika Fransiskus sampai kedalam desa semua warga menyambutnya dengan heran dan takjub. Fransiskus berkhotbah pada penduduk desa mengenai cinta kasih Tuhan yang ajaib dan besar, serta memanggil mereka semua untuk bertobat dari segala dosa-dosa mereka. Kemudian Fransiskus mendamaikan serigala dengan para penduduk desa. Penduduk berjanji bahwa mereka akan menyediakan makanan bagi serigala. Kemudian Fransiskus bertanya lagi pada serigala apakah ia mau hidup berdamai dengan syarat itu. Serigala mengangguk-anggukkan kepala sambil meletakkan tangannya kembali di atas tangan Fransiskus sebagai tanda ikatan perjanjian.
Mulai saat itu serigala tinggal selama dua tahun lamanya diantara penduduk desa, pergi dari satu rumah ke rumah lain untuk meminta makanan. Serigala tidak menyakiti siapapun dan tak seorangpun menyakitinya. Bahkan anjing-anjing pun tidak menyalak lagi padanya. Sampai akhirnya serigala itu mati karena umurnya telah tua, penduduk desa Gubbio amatlah sedih sekali. Cara hidup serigala yang santun dan damai menjadi peringatan bagi mereka akan pengaruh, kesabaran, kekudusan serta teladan dari Fransiskus yang menjadi symbol nyata kekuasaan serta pemeliharaan Tuhan Allah yang hidup.
St Fransiskus mencintai semua ciptaan Tuhan
Marilah usai kita menyimak kisah dari St Fransiskus Asisi kita menggali kekayaan apa yang dapat kita peroleh untuk kita teladani dari kisah hidupnya. Banyak hal tentunya jika kita mau menyimak serta melihat namun kita lebih condong malas untuk merefleksikannya karena sering lebih dulu beranggapan “Ah, dia kan orang suci,santo kudus jelas tidak sama lha dengan saya yang orang biasa dan awam ini.” Begitu lha anggapan negative dari diri kita senantiasa menyerang agar mata hati kita menjadi tertutup untuk mau terbuka serta belajar dari orang-orang kudus Allah. Perlu kita tahu bahwa semua orang kudus tidak langsung menjadi kudus, mereka mulanya juga manusia biasa dan awam namun semangat mereka untuk mencari kerajaan Allah lah yang membuat mereka bisa menjadi berbeda dengan kita akhirnya.
Paling kurang ada dua sampai tiga hal yang dapat kita teladani dari kisah hidup St Fransiskus Assisi, antara lain:
1. Semangat mencari Kerajaan Allah
St Fransiskus adalah anak orang kaya, namun ia merasa kering iman dan kurang puas dengan segala yang dimilikinya, bukan karena ia tamak seperti kita manusia. Namun Fransiskus merasa dunia ini tidak adil karena ia melihat bagaimana orang kaum borjuis (kaya) mendapat perlakuan nomor satu di dunia ini sedangkan orang miskin ditendang dan di abaikan.
Ini jelas terlihat dalam kisahnya tadi saat ia berjumpa dengan seorang pengemis saat berkumpul serta minum-minum bersama kawan-kawannya yang juga anak orang berduit. Ia merasa miris hatinya melihat orang miskin yang untuk mencari sesuap nasi saja susah namun sebagai orang kaya ia malah menghamburkan duitnya hanya untuk kesenangan duniawi seperti minum-minum bersama teman-temannya.
Sampai saat ini pun perlakuan dunia terhadap kaum papa tidak lah berubah, meskipun banyak orang kudus termasuk Fransiskus telah memberi contoh sepertinya mata hati kita tetap tumpul untuk meneladaninya walau hanya sedikit saja. Kita terlalu sombong untuk mau terjun dan datang kepada orang-orang papa serta gelandangan yang ada di sekitar kita.
Kita mungkin hanya mengeluh tentang kesusahan kita sendiri. Tentang rasa makanan di rumah yang kurang enak kita mengeluh dan ngomel, padahal di luar rumah kita jutaan orang terpaksa menelan makanan basi karena himpitan ekonomi. Atau kita yang mengeluh karena merasa tidak puas dengan kehidupan kita saat ini, sadarilah bahwa bayi-bayi dari penderita AIDS hanya dapat melihat dunia maksimal 6 tahun saja.
Fransiskus mengajarkan pada kita untuk tidak terjebak pada harta materi saja, namun lebih dari itu kita di ajak olehnya untuk mencari harta abadi yang di janjikan oleh Yesus yang tidak akan rusak oleh ngengat, atau di curi oleh maling. Bukan berarti kita tidak boleh kaya, namun marilah kekayaan yang kita punya juga kita dermakan serta bagikan supaya dapat menjadi berkat dan sukacita bagi sesama. Itulah yang terasa amat sukar untuk kita lakukan, jutaan alasan senantiasa mengajak kita agar kita benar-benar menyimpan baik-baik semua harta duniawi yang kita kumpulkan susah payah siang malam.
Fransiskus seorang yang kaya, namun ia tidak takut untuk mau melepaskan kekayaannya itu, ia tidak takut di hina karena di pandang bodoh oleh sesamanya. Yesus sendiri berpesan dalam Injil Matius, 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah maka semuanya itu akan di tambahkan padamu.” Namun jangan menyangka uang melulu yang akan di tambahkan oleh Tuhan pada kita, melainkan pemahaman, serta kecintaan akan sabdanya yang hidup, yang akhirnya dapat membuat kita makin mengerti dan menyadari bahwa memang benar di dunia ini bukan hanya harta duniawi saja yang harus kita kejar melainkan juga harta ilahi.
2. Semangat melayani sesama
Menyadari bahwa segala hartanya membuat ia merasa berat hati untuk melayani sesama, karena tidak mungkin dengan statusnya sebagai orang kaya ia dapat masuk ke tengah-tengah penderitaan kaum papa. Maka tanpa adanya keraguan ia melepas semuanya itu dan hidup miskin agar dapat terjun langsung dan merasakan bagaimana kaum miskin serta Yesus sendiri hidup pada jamannya.
Ini jelas tampak saat ayahnya berusaha menyadarkannya akan statusnya sebagai kaum borjuis (kaya) dengan mengancam tidak akan mengakui anak serta tidak akan memberi warisan apa-apa. Jika di lihat dari kacamata kita orang jaman sekarang tindakan itu jelas sebuah kebodohan karena ia sudah memiliki segalanya namun di tolak begitu saja. Jika kita menganggap ini suatu kebodohan maka Yesus pun telah melakukan suatu kebodohan dengan menerima hukuman di salib. Namun perlu kita sadari di balik anggapan kita bahwa itu semua merupakan suatu kebodohan terkandung suatu makna pelayanan yang begitu luar biasa, mereka mau melayani sesama dengan cara masing-masing. Fransiskus dengan bergaul serta berjuang dengan kaum papa serta membuat ordo pelayan kaum miskin dan Yesus melayani kita untuk menghapus segala dosa kita di hadapan Bapa-Nya dengan wafatnya di salib.
Jika sudah seperti ini pasti kita lagi-lagi menggerutu dalam hati, “mereka kan orang kudus jadi tolong ya tidak usah di bandingkan dengan saya yang awam ini.” Sekali lagi saya katakan bahwa semua orang kudus tidak langsung terlahir seperti itu, mereka juga bergulat dengan berbagai kesusahan pada jamannya masing-masing seperti halnya kita saat ini. Namun perbuatan serta tindakannya selama hidup lah yang membuat mereka di pandang sebagai orang kudus pada akhirnya. So, untuk menjadi orang kudus tidak lah mustahil bagi kita pada jaman ini asal perbuatan kita berguna serta menyelamatkan orang banyak mungkin setelah meninggal kelak kita juga akan di pandang sebagai orang kudus oleh sesama kita.
3. Semangat merasul di tengah sesama
Jika mendengar kata merasul bayangan pertama orang jaman sekarang pasti mengarah pada hidup membiara. Memang bisa di bilang istilah merasul pada jaman ini lebih tepat jika di sebut dengan menjadi kaum rohaniwan (imam, bruder, suster, rahib). Dengan adanya tenaga-tenaga dari kaum seperti inilah gereja kita dapat terarah dengan benar kepada sabda Allah sendiri.
Namun seiring perkembangan jaman panggilan hidup membiara juga mulai pudar, kehidupan biara yang ketat dan tertutup dari dunia luar membuat kaum muda enggan untuk masuk di dalamnya. Apalagi bagi anak-anak orang kaya, “masuk biara? Mau di bawa kemana harta warisanku kelak jika anakku masuk biara?” Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang membuat hampir tidak adanya anak orang kaya yang hidup membiara. Yang banyak hanya anak-anak dari pedalaman pulau timur yang memilih panggilan hidup membiara.
Namun, bukankah Fransiskus yang seorang kaya pun mau hidup miskin kemudian ia sendiri mendirikan ordo keagamaan saudara hina dina Fransiskan yang pada jaman ini lebih beken dengan singkatan (OFM).
Karena kecintaannya pada Tuhan dan sesama melebihi segalanya bahkan harta serta kedua orang tuanya sendiri, ia rela untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan di tengah masyarakat dengan hidup membiara bersama rekan-rekannya dalam ordo yang ia dirikan sendiri.
Jika dilihat dari kacamata orang tua, sikap seperti Fransiskus ini bisa disebut anak yang tidak berbakti dan tidak tahu balas budi, bahkan bisa di bilang Fransiskus adalah anak yang durhaka karena berani melawan sampai menolak kedua orang tuanya. Hal ini di sebabkan oleh kecintaannya yang besar kepada Yesus sang Guru. Bukankah Yesus dalam Injil Matius,12:48 berkata “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Berangkat dari sikap Yesus itulah Fransiskus sampai berani menolak kedua orang tuanya pula untuk hidup merasul diantara kaum papa.
Sekarang bagi kita sekalian, apakah kita sudah memiliki semangat untuk hidup merasul seperti Fransiskus? Tidak selalu merasul harus hidup membiara, karena tidak semua dari kita mendapat rahmat panggilan dari Tuhan untuk bekerja di ladang anggur-Nya.
Namun, apakah kita sudah pernah berusaha untuk meringankan penderitaan sesama sekecil apapun tindakan kita itu. Misalnya saja, saat mendengar berita bencana alam di berbagai daerah, mungkin hanya mulut kita yang spontan berkata “kasihan ya mereka.” Syukur kalau masih ingat berucap demikian, ada yang langsung mengganti channel TV nya sambil menggerutu “bosan, kok berita bencana alam terus. Yang penting jangan di daerah saya saja supaya toko saya tidak kenapa-kenapa dan terus menghasilkan banyak uang.”
Sikap egois seperti inilah yang hendaknya kita kikis dari hati kita. Jika mendapati peristiwa bencana seperti itu maka hendaknya kita bergerak dengan memberi bantuan apalagi jika bencana terjadi dekat dengan daerah domisili kita. Jika jauh atau kita terlalu tua untuk terjun ke lapangan cukuplah uang atau sumbangan kita lah yang datang menyapa mereka.
Perlu kita sadari bahwa tidak ada orang yang menjadi miskin karena memberi, orang menjadi miskin karena berfoya-foya dan bersenang-senang. Marilah kita berbagi kasih dengan sesama seperti yang telah diteladankan oleh St Fransiskus Assisi dan Yesus sendiri.
Doa damai Santo Fransiskus Asisi
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu.
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kecemasan,
jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku pembawa kegembiraan;
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang.
Tuhan, semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai.
Sebab dengan memberi, aku menerima;
dengan mengampuni, aku diampuni;
dengan mati suci aku bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
"Doa Damai dari St. Fransiskus Assisi" demikian nama yang sudah dikenal secara luas, sekarang ini sudah berumur 100 tahun. "Kok baru seratus tahun!? Bukankah St. Fransiskus Assisi itu berasal dari permulaan abad 13? Jadi sudah 800 tahun dong!" Pertanyaan itu tepat sekali.
Secara harafiah, doa ini bukanlah dari St. Fransiskus Assisi, tetapi memuat jiwa dan semangat yang sedemikian kental bernas dari St. Fransiskus Assisi, sehingga menamakannya sebagai "Doa Damai St. Fransiskus Assisi" terasa mengalir begitu alami, lancar, dan mengena tanpa hambatan.
Seratus tahun yang lalu, pada bulan Desember 1912, Doa ini diterbitkan pertama kali oleh Esthet Auguste Bouquerel dalam surat kabar Perancis La Clochette. Tidak lama kemudian, doa itu pun diterbitkan dalam journal terkemuka seperti La Croix dan L'Osservatore Romano, kemungkinan besar atas permintaan Sri Paus Benediktus XV atau Kardinal Gasparri.
Dari sinilah doa itu menyebar ke seantero dunia dan menjadi terkenal, mengena di hati dan disayang oleh siapa saja yang berkehendak baik.
Siapa pun merindukan kedamaian, tidak hanya kedamaian dalam hati sendiri, tapi juga dalam lingkup dunia di mana dia hidup, bahkan damai di setiap sudut bumi.
Karena itu doa ini dengan cepat melekat pada hati banyak orang. Kata-katanya sedemikian sederhana, tak berbelit-belit dalam kalimat-kalimat yang panjang. Singkat, padat, bernas, sederhana, sehingga dengan mudah meresap di hati yang membacanya.
Karena itu tidak mengherankan bahwa “doa sederhana” ini diucapkan oleh begitu banyak orang – banyak yang setiap hari mendoakannya – termasuk tokoh-tokoh dunia yang terkenal, seperti Ibu Teresa: ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, dia hanya mengucapkan dua tiga kalimat terimakasih, kemudian mengajak para hadirin untuk bersama-sama mendoakan Doa Damai ini, yang naskahnya sudah dibagikan sebelumnya.
Demikian juga Margaret Thatcer pada hari pelantikannya sebagai Perdana Menteri Inggris; Patti Smith dalam lagu yang berjudul "Constantine’s Dream" dan Bill Clinton, ketika dia pada tanggal 4 Oktober 1995 menerima kedatangan Sri Paus Yohanes Paulus II yang menghadiri Sidang Umum PBB di New York.
Jiwa Fransiskus dalam Doa Ini
Fransiskus Assisi orang yang sedemikian rendah hati di hadapan sesama manusia, apalagi di hadapan Allah. Rendah hati bukan berarti minder, takut bertindak atau pengecut. Fransiskus menyadari diri bukan apa-apa di hadapan Tuhan. Hanya sekedar ciptaan-Nya. Kendati merasa diri sedemikian dicintai oleh Allah Sang Pencipta itu, dia merasa apapun juga yang dikerjakan, itu hanyalah anugerah Allah itu sendiri. Dirinya hanyalah alat. Tuhanlah yang berperan utama.Dalam doa ini semangat iman itu kentara betul. Dia memohon kepada Tuhan supaya Tuhan menjadikan dirinya sebagai sarana, pembawa perdamaian, bukan pelakunya.
Karena itu, setiap kalimat diserukan: "jadikanlah aku". Fransiskus tidak berkata – O, dia tidak akan berani berkata – "bila terjadi kebencian, saya akan membawa cinta kasih."
Seandainya pun dia berhasil meluluhkan kebencian itu dan berubah menjadi cinta kasih, dia akan bersyukut kepada Tuhan karena Tuhan telah berkenanuan membuat dirinya menjadi sarana cinta kasih Tuhan itu. Karena itu dia hanya mampu dan berani memohon: "Bila terjadi penghinaan, JADIKANLAH aku pembawa pengampunan". Hal yang sama diterjemahkan oleh orang lain sebagai: "BIAR(KAN)LAH aku membawa pengampunan".
Kendati naskah doa ini bukan hasil dari tangan Fransiskus sendiri, namun semangat Fransiskus menggelegak sedemikian kental di dalamnya. Karena itu orang pun tak segan-segan menganggapnya berasal dari Fransiskus Assisi sendiri.
Sumber: http://ofm.or.id/100-tahun-doa-damai-fransiskus-asisi/
[Baca juga: Belajar penderitaan dan sukacita yang sempurna]
Keunikan dari St. Fransiskus Asisi
Ada banyak cerita yang mengisahkan bagaimana St. Fransiskus Asisi (1182-1226) dapat berkomunikasi dengan binatang-binatang dan menyatu dengan alam serta semua ciptaan.
Berikut adalah beberapa kutipan cerita yang di tulis pertama kali oleh Thomas Celano pada abad 13.
Kotbah kepada burung, kelinci dan ikan
Dikisahkan Fransiskus dan pengikutnya sedang menempuh perjalanan ke lembah Spoleto. Tiba-tiba ia melihat serombongan besar burung sedang berterbangan. Ia meninggalkan teman-temannya lalu mengejar rombongan burung itu dan menanti dengan sabar.
Ketika burung itu hinggap di tempatnya masing-masing Fransiskus bertanya kepada mereka apakah mau tinggal sejenak untuk mendengarkan sabda Tuhan. Lalu ia pun mulai berbicara pada burung-burung itu, “Saudara/i burung, hendaknya kalian senantiasa memuji dan mengasihi penciptamu selalu. Sebab Ia telah memberimu sayap untuk terbang, bulu untuk mantel dan makananmu pun cukuplah. Tuhan-lah yang menjadikan udara yang halus bersih sebagai rumahmu, tanpa menabur atau menuai kalian mendapat bimbingan dan perlindungan dari Tuhan.
Mendengar itu, burung-burung mulai mengepakkan sayap mereka, menjulurkan leher sambil berkicau, lalu bertebangan di sekitar Fransiskus. Fransiskus pun berjalan di tengah burung-burung yang terbang rendah itu lalu memberkati mereka dengan membuat tanda salib bagi mereka. Kemudian burung-burung itu mulai berterbangan kembali di udara meninggalkan Fransiskus sambil berkicau-kicau. Lalu Fransiskus pun mulai melanjutkan perjalananya kembali.
Pada lain kesempatan ia juga pernah menghardik serombongan burung yang berisik sehingga menggangu misa di gereja. Anehnya burung-burung itu langsung tenang sampai misa usai.
St Fransiskus di tengah-tengah burung
Fransiskus tak hanya berkotbah dan menasehati burung saja. Beberapa binatang lain pun juga di kisahkan pernah memperoleh wejangan darinya. Salah satunya kelinci.
Suatu hari seorang rahibnya datang dan membawa seekor kelinci yang terjebak dalam perangkap. Ia menasehati kelinci itu dan memperingatinya supaya lebih berhati-hati pada waktu yang akan datang. Lalu di keluarkannya kelinci itu dan di lepaskannya. Tetapi kelinci itu kembali melompat ke pangkuan Fransiskus dan berharap boleh tinggal bersamanya. Kembali Fransiskus melepaskan kelinci itu dan mempersilahkannya pergi, namun lagi-lagi kelinci itu malah melompat ke pangkuan Fransiskus. Akhirnya ia meminta seorang rahibnya supaya membawa kelinci ini ke dalam hutan dan kelinci ini pun tak kembali.
Ikan-ikan pun juga patuh dan setia pada Fransiskus. Pada suatu kesempatan ia memancing di danau bersama beberapa saudaranya, setiap kali ada ikan yang tertangkap ia akan melepaskan ikan itu kembali ke air sambil memperingatinya supaya berhati-hati agar tidak tertangkap lagi. Setelah di lepas ikan-ikan itu tidak langsung pergi tapi mendengarkan kotbahnya sampai selesai baru mereka pergi.
St. Fransiskus dan serigala
Mungkin inilah kisah St Fransiskus yang paling terkenal dan popular di kalangan rakyat Italia sampai sekarang ini adalah saat Ia menjinakkan seekor serigala yang meneror rakyat Gubbio sebuah desa di Italia. Ketika Fransiskus singgah di desa itu dalam pewartaan Injil dan ordonya ia mendapati seekor serigala yang amat ganas, ia tidak hanya memburu dan memangsa binatang ternak tapi juga manusia. Berkali-kali rakyat telah berbondong-bondong berusaha membunuhnya, tapi mereka yang pergi itu lenyap dan kocar-kacir karena serbuan yang ganas dan buas dari taring-taring serta kuku serigala itu. Rakyat pun hidup dengan penuh ketakutan sehingga tidak berani keluar dari tembok kota.
Fransiskus yang iba kepada rakyat desa itu memutuskan untuk pergi mencari serigala itu. Penduduk melarangnya, namun Fransiskus amat yakin jika Tuhan pasti melindunginya. Ditemani oleh seorang rahibnya dan oleh beberapa petani Fransiskus di antar sampai ke luar tembok kota.
Tetapi segera saja petani-petani itu beserta rahibnya merasa takut untuk meneruskan langkah kaki mereka untuk menemani Fransiskus. Fransiskus mulai berjalan seorang diri, tiba-tiba serigala itu muncul dengan rahangnya yang ternganga serta kuku yang tajam berlari hendak menerkamnya. Fransiskus membuat tanda salib kearah serigala itu dan dengan kuasa Tuhan serigala itu memperlambat larinya serta mengatupkan rahangnya.
Kemudian Fransiskus berkata pada serigala itu : “Datanglah padaku, saudara serigala. Dalam nama Yesus, aku memerintahkan kamu untuk tidak menyakiti siapapun mulai saat ini.” Maka saat itu juga serigala itu menundukkan kepalanya dan berbaring di bawah kaki Fransiskus seperti seekor anak domba.
Fransiskus menjelaskan pada serigala itu jika serigala telah menyakiti serta membunuh penduduk desa sehingga mereka menjadi takut. Kata Fransiskus pada serigala itu, “saudara serigala, aku ingin mengadakan perdamaian antara kamu dengan penduduk desa Gubbio. Mereka tidak akan menyakiti kamu lagi dan kamu juga tidak boleh menyakiti mereka. Semua kejahatanmu di masa lalu akan dihapuskan.” Serigala itu mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Puncak dari peristiwa itu Fransiskus meminta serigala untuk berjanji padanya. Fransiskus mengulurkan tangannya, lalu serigala itu juga mengulurkan kaki depannya dan meletakkannya di atas tangan orang kudus itu. Lalu serigala itu mengikuti Fransiskus masuk ke dalam desa tanpa melawan sedikitpun.
Ketika Fransiskus sampai kedalam desa semua warga menyambutnya dengan heran dan takjub. Fransiskus berkhotbah pada penduduk desa mengenai cinta kasih Tuhan yang ajaib dan besar, serta memanggil mereka semua untuk bertobat dari segala dosa-dosa mereka. Kemudian Fransiskus mendamaikan serigala dengan para penduduk desa. Penduduk berjanji bahwa mereka akan menyediakan makanan bagi serigala. Kemudian Fransiskus bertanya lagi pada serigala apakah ia mau hidup berdamai dengan syarat itu. Serigala mengangguk-anggukkan kepala sambil meletakkan tangannya kembali di atas tangan Fransiskus sebagai tanda ikatan perjanjian.
Mulai saat itu serigala tinggal selama dua tahun lamanya diantara penduduk desa, pergi dari satu rumah ke rumah lain untuk meminta makanan. Serigala tidak menyakiti siapapun dan tak seorangpun menyakitinya. Bahkan anjing-anjing pun tidak menyalak lagi padanya. Sampai akhirnya serigala itu mati karena umurnya telah tua, penduduk desa Gubbio amatlah sedih sekali. Cara hidup serigala yang santun dan damai menjadi peringatan bagi mereka akan pengaruh, kesabaran, kekudusan serta teladan dari Fransiskus yang menjadi symbol nyata kekuasaan serta pemeliharaan Tuhan Allah yang hidup.
St Fransiskus mencintai semua ciptaan Tuhan
Marilah usai kita menyimak kisah dari St Fransiskus Asisi kita menggali kekayaan apa yang dapat kita peroleh untuk kita teladani dari kisah hidupnya. Banyak hal tentunya jika kita mau menyimak serta melihat namun kita lebih condong malas untuk merefleksikannya karena sering lebih dulu beranggapan “Ah, dia kan orang suci,santo kudus jelas tidak sama lha dengan saya yang orang biasa dan awam ini.” Begitu lha anggapan negative dari diri kita senantiasa menyerang agar mata hati kita menjadi tertutup untuk mau terbuka serta belajar dari orang-orang kudus Allah. Perlu kita tahu bahwa semua orang kudus tidak langsung menjadi kudus, mereka mulanya juga manusia biasa dan awam namun semangat mereka untuk mencari kerajaan Allah lah yang membuat mereka bisa menjadi berbeda dengan kita akhirnya.
Paling kurang ada dua sampai tiga hal yang dapat kita teladani dari kisah hidup St Fransiskus Assisi, antara lain:
1. Semangat mencari Kerajaan Allah
St Fransiskus adalah anak orang kaya, namun ia merasa kering iman dan kurang puas dengan segala yang dimilikinya, bukan karena ia tamak seperti kita manusia. Namun Fransiskus merasa dunia ini tidak adil karena ia melihat bagaimana orang kaum borjuis (kaya) mendapat perlakuan nomor satu di dunia ini sedangkan orang miskin ditendang dan di abaikan.
Ini jelas terlihat dalam kisahnya tadi saat ia berjumpa dengan seorang pengemis saat berkumpul serta minum-minum bersama kawan-kawannya yang juga anak orang berduit. Ia merasa miris hatinya melihat orang miskin yang untuk mencari sesuap nasi saja susah namun sebagai orang kaya ia malah menghamburkan duitnya hanya untuk kesenangan duniawi seperti minum-minum bersama teman-temannya.
Sampai saat ini pun perlakuan dunia terhadap kaum papa tidak lah berubah, meskipun banyak orang kudus termasuk Fransiskus telah memberi contoh sepertinya mata hati kita tetap tumpul untuk meneladaninya walau hanya sedikit saja. Kita terlalu sombong untuk mau terjun dan datang kepada orang-orang papa serta gelandangan yang ada di sekitar kita.
Kita mungkin hanya mengeluh tentang kesusahan kita sendiri. Tentang rasa makanan di rumah yang kurang enak kita mengeluh dan ngomel, padahal di luar rumah kita jutaan orang terpaksa menelan makanan basi karena himpitan ekonomi. Atau kita yang mengeluh karena merasa tidak puas dengan kehidupan kita saat ini, sadarilah bahwa bayi-bayi dari penderita AIDS hanya dapat melihat dunia maksimal 6 tahun saja.
Fransiskus mengajarkan pada kita untuk tidak terjebak pada harta materi saja, namun lebih dari itu kita di ajak olehnya untuk mencari harta abadi yang di janjikan oleh Yesus yang tidak akan rusak oleh ngengat, atau di curi oleh maling. Bukan berarti kita tidak boleh kaya, namun marilah kekayaan yang kita punya juga kita dermakan serta bagikan supaya dapat menjadi berkat dan sukacita bagi sesama. Itulah yang terasa amat sukar untuk kita lakukan, jutaan alasan senantiasa mengajak kita agar kita benar-benar menyimpan baik-baik semua harta duniawi yang kita kumpulkan susah payah siang malam.
Fransiskus seorang yang kaya, namun ia tidak takut untuk mau melepaskan kekayaannya itu, ia tidak takut di hina karena di pandang bodoh oleh sesamanya. Yesus sendiri berpesan dalam Injil Matius, 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah maka semuanya itu akan di tambahkan padamu.” Namun jangan menyangka uang melulu yang akan di tambahkan oleh Tuhan pada kita, melainkan pemahaman, serta kecintaan akan sabdanya yang hidup, yang akhirnya dapat membuat kita makin mengerti dan menyadari bahwa memang benar di dunia ini bukan hanya harta duniawi saja yang harus kita kejar melainkan juga harta ilahi.
2. Semangat melayani sesama
Menyadari bahwa segala hartanya membuat ia merasa berat hati untuk melayani sesama, karena tidak mungkin dengan statusnya sebagai orang kaya ia dapat masuk ke tengah-tengah penderitaan kaum papa. Maka tanpa adanya keraguan ia melepas semuanya itu dan hidup miskin agar dapat terjun langsung dan merasakan bagaimana kaum miskin serta Yesus sendiri hidup pada jamannya.
Ini jelas tampak saat ayahnya berusaha menyadarkannya akan statusnya sebagai kaum borjuis (kaya) dengan mengancam tidak akan mengakui anak serta tidak akan memberi warisan apa-apa. Jika di lihat dari kacamata kita orang jaman sekarang tindakan itu jelas sebuah kebodohan karena ia sudah memiliki segalanya namun di tolak begitu saja. Jika kita menganggap ini suatu kebodohan maka Yesus pun telah melakukan suatu kebodohan dengan menerima hukuman di salib. Namun perlu kita sadari di balik anggapan kita bahwa itu semua merupakan suatu kebodohan terkandung suatu makna pelayanan yang begitu luar biasa, mereka mau melayani sesama dengan cara masing-masing. Fransiskus dengan bergaul serta berjuang dengan kaum papa serta membuat ordo pelayan kaum miskin dan Yesus melayani kita untuk menghapus segala dosa kita di hadapan Bapa-Nya dengan wafatnya di salib.
Jika sudah seperti ini pasti kita lagi-lagi menggerutu dalam hati, “mereka kan orang kudus jadi tolong ya tidak usah di bandingkan dengan saya yang awam ini.” Sekali lagi saya katakan bahwa semua orang kudus tidak langsung terlahir seperti itu, mereka juga bergulat dengan berbagai kesusahan pada jamannya masing-masing seperti halnya kita saat ini. Namun perbuatan serta tindakannya selama hidup lah yang membuat mereka di pandang sebagai orang kudus pada akhirnya. So, untuk menjadi orang kudus tidak lah mustahil bagi kita pada jaman ini asal perbuatan kita berguna serta menyelamatkan orang banyak mungkin setelah meninggal kelak kita juga akan di pandang sebagai orang kudus oleh sesama kita.
3. Semangat merasul di tengah sesama
Jika mendengar kata merasul bayangan pertama orang jaman sekarang pasti mengarah pada hidup membiara. Memang bisa di bilang istilah merasul pada jaman ini lebih tepat jika di sebut dengan menjadi kaum rohaniwan (imam, bruder, suster, rahib). Dengan adanya tenaga-tenaga dari kaum seperti inilah gereja kita dapat terarah dengan benar kepada sabda Allah sendiri.
Namun seiring perkembangan jaman panggilan hidup membiara juga mulai pudar, kehidupan biara yang ketat dan tertutup dari dunia luar membuat kaum muda enggan untuk masuk di dalamnya. Apalagi bagi anak-anak orang kaya, “masuk biara? Mau di bawa kemana harta warisanku kelak jika anakku masuk biara?” Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang membuat hampir tidak adanya anak orang kaya yang hidup membiara. Yang banyak hanya anak-anak dari pedalaman pulau timur yang memilih panggilan hidup membiara.
Namun, bukankah Fransiskus yang seorang kaya pun mau hidup miskin kemudian ia sendiri mendirikan ordo keagamaan saudara hina dina Fransiskan yang pada jaman ini lebih beken dengan singkatan (OFM).
Karena kecintaannya pada Tuhan dan sesama melebihi segalanya bahkan harta serta kedua orang tuanya sendiri, ia rela untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan di tengah masyarakat dengan hidup membiara bersama rekan-rekannya dalam ordo yang ia dirikan sendiri.
Jika dilihat dari kacamata orang tua, sikap seperti Fransiskus ini bisa disebut anak yang tidak berbakti dan tidak tahu balas budi, bahkan bisa di bilang Fransiskus adalah anak yang durhaka karena berani melawan sampai menolak kedua orang tuanya. Hal ini di sebabkan oleh kecintaannya yang besar kepada Yesus sang Guru. Bukankah Yesus dalam Injil Matius,12:48 berkata “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Berangkat dari sikap Yesus itulah Fransiskus sampai berani menolak kedua orang tuanya pula untuk hidup merasul diantara kaum papa.
Sekarang bagi kita sekalian, apakah kita sudah memiliki semangat untuk hidup merasul seperti Fransiskus? Tidak selalu merasul harus hidup membiara, karena tidak semua dari kita mendapat rahmat panggilan dari Tuhan untuk bekerja di ladang anggur-Nya.
Namun, apakah kita sudah pernah berusaha untuk meringankan penderitaan sesama sekecil apapun tindakan kita itu. Misalnya saja, saat mendengar berita bencana alam di berbagai daerah, mungkin hanya mulut kita yang spontan berkata “kasihan ya mereka.” Syukur kalau masih ingat berucap demikian, ada yang langsung mengganti channel TV nya sambil menggerutu “bosan, kok berita bencana alam terus. Yang penting jangan di daerah saya saja supaya toko saya tidak kenapa-kenapa dan terus menghasilkan banyak uang.”
Sikap egois seperti inilah yang hendaknya kita kikis dari hati kita. Jika mendapati peristiwa bencana seperti itu maka hendaknya kita bergerak dengan memberi bantuan apalagi jika bencana terjadi dekat dengan daerah domisili kita. Jika jauh atau kita terlalu tua untuk terjun ke lapangan cukuplah uang atau sumbangan kita lah yang datang menyapa mereka.
Perlu kita sadari bahwa tidak ada orang yang menjadi miskin karena memberi, orang menjadi miskin karena berfoya-foya dan bersenang-senang. Marilah kita berbagi kasih dengan sesama seperti yang telah diteladankan oleh St Fransiskus Assisi dan Yesus sendiri.