Filsuf Pythagoras melihat garam sebagai lambang keadilan yang harus selalu ada di atas meja, agar setiap orang yang hadir dalam satu pertemuan selalu ingat akan keadilan.
Sebab di balik keadilan dan kebenaran ada rasa damai. Hanya dengan bertindak adil kita bisa menciptakan suatu persahabatan yang bertahan lama dan penuh kedamaian.
Supaya garam dapat melebur dan kehilangan bentuknya yang asli. Maka kita harus siap meninggalkan kemapanan diri kita, keluar dari piala diri kita untuk mengisi piala sesama.
Supaya piala sesama sama banyak dengan piala kita maka kita harus mengurangi bagian kita dan memberi peluang lebih banyak kepada yang berkekurangan. Dengan demikian kita sudah melakukan keadilan di antara kita.
Garam bagi orang Romawi merupakan lambang kemurnian. Garam dilihat sebagai persembahan yang paling murni bagi para dewa.
Maka kalau Yesus menyebut kita sebagai garam dunia berarti kita diminta untuk menjadi teladan kemurnian dalam arti hidup benar, adil dan jujur dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Ungkapan Yesus: ”Kamu adalah garam dunia.” sebenarnya Yesus mau memberikan pujian dan penghargaan kepada kita bahwa diri kita bernilai, berharga, maka kita harus melakukan hal-hal yang bernilai baik, manis dan benar.
Tampil sebagai garam berarti melakukan kebaikan yang tak kelihatan namun membahagiakan sesama.
Yesus bersabda: ”jadilah terang dunia.” Berarti Yesus meminta kita untuk ikut menerangi lingkungan hidup kita dengan pengaruh-pengaruh positif yang menghangatkan.
Misalnya berlaku adil, jujur dan benar; rendah hati, rela berkorban, memberi contoh yang baik.
Bagi Yesus, terang berarti:
1. Tidak memihak siapa-siapa. Seperti cahaya terang tidak pernah memihak siapa-siapa yang duduk di bawahnya. Ia tidak pernah mengatakan bahwa kelompok ini layak dan ini tidak layak.
2. Berkorban seperti lilin. Ia terbakar sampai habis untuk kita. Setiap lilin terbakar habis dalam dirinya demi orang lain. Dan yang kita butuhkan dari lilin adalah cahaya dan kehangatannya, bukan asapnya.
Karena itu kita dapat menerangi sesama kita yang ada air mata di matanya, yang sering disisihkan, yang sering merasa hidupnya gelap, hambar dan bahkan pahit sama sekali.
Sebelum kita bisa menggarami dan menerangi mereka itu, baiklah lebih dahulu kita menggarami dan menerangi diri kita.
(Sumber: Warta KPI TL No. 76/VIII/2010 » Warta Bahagia, P. Martin Fatin, SVD).