Pages

Senin, 31 Oktober 2016

Aku belajar setia



Monika dilahirkan pada tahun 331 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dari keluarga Kristen yang taat. Leluhurnya bukan penduduk asli Afrika, tetapi perantauan dari Fenisia. 

Dia menikah dengan Patrisius, seorang pegawai tinggi pemerintahan kota. Mereka dikaruniai 3 orang Anak: Agustinus, Navigius dan Perpetua (yang kelak memimpin biara).



Patrisius seorang kafir. Ia bertabiat buruk, suka naik pitam dan sering menertawakan usaha keras Monika untuk mendidik Agustinus menjadi pemuda Kristiani. 



Meskipun demikian, Monika tidak pernah membantah ataupun bertengkar dengan suaminya. Tak henti-hentinya ia berdoa agar suami dan puteranya segera bertobat dan menerima Kristus.

Pada tahun 371 Patrisius meninggal. Mendekati ajalnya ia bertobat dan minta dibaptis. Bahkan ibu Patrisius pun juga dibaptis.

Sementara itu, Agustinus belum juga mau menjadi seorang Kristen. Meski tidak ada tanda-tanda bahwa doanya dikabulkan Tuhan, Monika dengan setia tetap berdoa untuk Agustinus dengan setiap kali air mata mengalir dari kedua matanya.

Tuhan mendengarkan keluh kesah Monika dan menguatkannya dengan suatu mimpi. Dalam mimpinya, Monika melihat dirinya sendiri berada di atas sebuah mistar dari kayu, kemudian datanglah seorang pemuda yang berseri-seri dan bercahaya wajahnya.

Pemuda itu bertanya: “Mengapa ibu bersedih? Apa yang menyebabkan ibu menangis setiap hari?” Monika menjawab bahwa ia sedih karena tidak tahan melihat kebinasaan Agustinus, puteranya. 

Maka pemuda itu mengajak Monika untuk melihat dengan seksama. Segeralah terlihat oleh Monika bahwa Agustinus ada bersamanya di atas mistar, “Di mana engkau berada, ia pun berada.”

Telah lama waktu berlalu sejak mimpinya itu, namun Agustinus masih juga hidup dalam dosa. Oleh karena itu Monika terus-menerus datang kepada Bapa Uskup memohon-mohon dan mendesak-desak dengan air mata bercucuran supaya Uskup mau menengok dan menasehati Agustinus. 

Lama-kelamaan Uskup menjadi bosan dan kehilangan kesabarannya sehingga ia berkata: “Pergilah, jangan menggangguku. Demi hidupmu tak mungkinlah binasa anak itu karena sekian banyak air matamu!

Mendengar itu, Monika amat gembira sebab ia percaya pada apa yang dikatakan Bapa Uskup bahwa Agustinus tidak mungkin binasa.

Berdoa dengan tidak jemu-jemu. Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya (Luk 18:1-8)

Pada tahun 383 Agustinus bersama Alypius, sahabatnya hendak berangkat ke Roma dan Milan untuk mengajar. Monika tidak setuju, karena pada waktu itu Roma buruk keadaannya. 

Di pantai menjelang keberangkatannya, Monika menawarkan hanya dua pilihan kepada Agustinus: pulang dengannya atau Monika ikut dengan Agustinus ke Italia. 

Dengan tipu dayanya Agustinus meninggalkan ibunya seorang diri di kapel Beato Cyprianus yang terletak di tepi pantai, sementara ia dan Alypius berlayar ke Italia.

Monika amat sedih, seorang diri ia menyusul Agustinus ke Italia. Penderitaan berat ditanggungnya terutama karena kapal yang ditumpanginya hampir karam karena badai. Tuhan menguatkan Monika dengan janji-Nya bahwa ia akan bertemu dengan puteranya sesampainya di Italia.

Sesampainya di Italia, Monika bersahabat baik dengan Uskup Ambrosius, Uskup kota Milan. Pelan-pelan dia mengajak Agustinus untuk menghadiri kotbah-kotbah Uskup Ambrosius. 

Akhirnya Agustinus mulai tertarik dengan kotbah dan ajaran-ajaran Uskup Ambrosius hingga akhirnya dibaptis.

Dua bulan kemudian, yaitu bulan Juni tahun 387, Agustinus, Alypius dan Monika berencana pulang kembali ke Tagaste, Afrika. 

Dalam perjalanan pulang mereka singgah di Ostia, di dekat muara sungai Tiber. Monika dan Agustinus berdua saja berdiri bersandar pada jendela rumah persinggahan mereka. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik mengenai seperti apa kiranya kehidupan para kudus di sorga. 

Diliputi rasa bahagia yang amat sangat Monika berkata kepada Agustinus: “Anakku, bagiku tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi Katolik sebelum aku mati. Keinginanku sudah dikabulkan secara melimpah dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: Kulihat kau sudah meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”

Lima hari kemudian Monika jatuh sakit. Kepada kedua putranya, Agustinus dan Navigius, Monika berpesan: “Yang kuminta kepada kalian hanyalah supaya kalian memperingati aku di altar Tuhan di mana saja kalian berada. Sebab aku telah melayani altar itu tanpa melewati satu hari pun.”

Pada hari yang kesembilan Monika wafat dalam usia 56 tahun.

Santa Monika dihormati sebagai pelindung ibu rumah tangga. Pestanya dirayakan setiap tanggal 27 Agustus. 

Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku (Luk 9:23)

Santa Monika adalah salah satu contoh teladan iman Katolik, dia belajar setia untuk menyangkal diri dan memanggul salibnya setiap hari … dia berdoa tak jemu-jemunya selama dua puluh tahun. Akhirnya dia memetik buahnya, yaitu keselamatan bagi orang-orang yang dikasihinya.

(Sumber: Warta KPI TL No. 85/V/2011 » Renungan KPI TL tgl 10 Maret 2011, Dra Yovita Baskoro, MM).