Pages

Selasa, 06 September 2016

Sang pemulung ulung

Pada suatu hari, dalam pelajaran agama di kelas V SD, ibu guru memberikan pekerjaan rumah kepada para muridnya. Dia memberikan pertanyaan ini: “Seperti apakah Tuhan Allah itu? Anak-anak, supaya tidak kesulitan menjawab, kalian dapat membandingkan Allah dengan pekerjaan orang tuamu.”

Keesokan harinya, satu persatu murid mengutarakan jawabannya.

“Tuhan Allah itu seperti psikiater!” ujar seorang anak yang ayahnya seorang psikiater. “Ia sanggup menyembuhkan sakit penyakit jiwa, bahkan yang sudah parah sekalipun!” 

“Tuhan Allah itu seperti guru!” ujar anak yang lain. “Dia selalu mengajarkan kita untuk melakukan yang baik dan benar.” 

Tuhan Allah itu seperti hakim! ujar anak yang papanya adalah hakim dengan bangga ia berkata: “Ia seperti hakim yang paling adil dan memutuskan segala pekara di bumi.” 

Tuhan Allah itu seperti arsitek. Dia membangun rumah yang indah untuk kita di sorga! ujar seorang anak yang bapaknya adalah seorang arsitek. 

Tuhan Allah itu pokoknya kaya sekali! Apa saja yang kita minta Dia punya! ujar seorang anak konglomerat.

Guru tersebut tersenyum mendengarkan satu demi satu muridnya memberikan jawaban. Tetapi ada satu anak yang sedari tadi diam saja dan tampak risih mendengar jawaban teman-temannya. 

“Eddy, menurut kamu siapa Tuhan Allah itu?” tanya ibu guru dengan lembut. Ia tahu anak ini tidak seberuntung anak-anak yang lain dalam hal ekonomi, dan ia cenderung lebih tertutup. 

Eddy hampir-hampir tidak mengangkat mukanya, dan suaranya begitu pelan waktu menjawab: “Ayah saya seorang pemulung... jadi saya pikir... Tuhan Allah itu Pemulung yang unggul.” 

Ibu guru terkejut bukan main, dan anak-anak lain mulai protes mendengar Tuhan Allah disamakan dengan pemulung. Eddy mulai ketakutan. “Eddy, mengapa kamu samakan Tuhan Allah dengan pemulung?” kata ibu guru lagi. 

Untuk pertama kalinya Eddy mengangkat wajahnya dan menatap ke sekeliling sebelum akhirnya menjawab: “Karena Ia memungut sampah yang tidak berguna seperti Eddy dan menjadikan Eddy manusia baru. Dia memungut apa saja yang telah dibuang dan Ia menjadikan Eddy anak-Nya.”

(Sumber: Warta KPI TL No. 58/II/2009 » Segelas susu, Rahkito Jati Omi).