Sebagai orang awam, kita mengalami kebingunan untuk menjawab pertanyaan di atas. Untuk dapat memahami tokoh “Yudas Iskariot” kita harus memahami cara menafsirkan Kitab Suci dan memahami antara Penyelenggaraan Ilahi dan kehendak bebas manusia.
Bertanya untuk menggali
pengertian yang lebih mendalam adalah bagian dari penghayatan iman yang bertanggung jawab (fides quaerens intellectum).
Ajaran Gereja Katolik menjawab
pertanyaan yang paling
mendasar dalam hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa
dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat
Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang
didirikan-Nya.
Untuk mempertanggungjawabkan iman kita, kita harus memahami ajaran Gereja
tentang menafsirkan Kitab Suci. Sebab Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan
menurut kehendak sendiri sebab ada kemungkinan dapat diartikan keliru
(2 Ptr 1:20-21; 2 Ptr 3:15-16).
Konsili Vatikan II memberikan tiga
kriteria menafsirkan
Kitab Suci sesuai dengan Roh yang telah mengilhaminya (DV 12, 3) (KGK 111-114).
1.
Memperhatikan dengan seksama "isi
dan kesatuan seluruh Kitab Suci"
2.
Membaca Kitab Suci "dalam
terang tradisi hidup seluruh Gereja"
3.
Memperhatikan “analogi iman"
Dengan memperhatikan ketiga hal ini, kita perlu juga memahami "Tipologi", untuk
melihat kaitan antara Kitab Suci Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.
Ayat- ayat yang menunjukkan
tipologis Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru menerangkan
bagaimana Kristus dan Gereja-Nya telah dinyatakan secara figuratif di dalam PL.
Selubung masih tetap menyelubungi, jika membaca Perjanjian Lama tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat
menyingkapkannya (KGK 128-130; 2 Kor 3:14).
Mensyukuri
pengkhianatan Yudas?
Yudas
Iskariot
adalah seorang pencuri, sering mengambil uang yang disimpan dalam
kas yang dipegangnya (Yoh 12:6) »
Yesus tidak memecat Yudas sebab “rencana Bapa-Nya harus terlaksana".
Apakah
kita harus berterima kasih kepada Yudas karena sebenarnya ia telah
"sukses" dengan peran jahatnya yang harus terlaksana?
Dari beberapa nas PL dan PB, saya sering menyimpulkan bahwa Yesus itu
sudah "diprogram" untuk menderita sengsara, wafat dan bangkit. Oleh karena itu apakah tidak seharusnya kita
berterima kasih kepada Yudas Iskariot yang telah terlibat dalam penderitaan dan
wafat Yesus?
Dua pertanyaan di atas sebenarnya berkaitan dengan problem klasik tentang
bagaimana hubungan antara Penyelenggaraan
Ilahi dan kehendak bebas
manusia.
Allah adalah awal dan
tujuan akhir serta pendukung alam semesta dengan tata sebab-akibatnya
(Bdk. 1 Kor 4:7; Flp 2:13). Segala sesuatu tergantung pada Allah sebagai sebab
pertama dan universal. Juga kebaikan moral yang ada dalam setiap keputusan dan
tindakan tergantung dari rahmat Allah.
Allah tetap menghargai sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi di antara
ciptaan. Artinya Penyelenggaraan Ilahi
tidak menghapuskan tapi malah mendukung kebebasan manusia.
Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang
berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang
bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segaIa perbuatannya.
Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada
keputusannya sendiri (Sir 15:14),
supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya
yang membahagiakan” (GS 17).
“Manusia
itu berakal budi dan karena ia
citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya”
(St. Ireneus, Against Heresies/Adv. haeres.
4,4,3) (KGK 1730).
Maka dengan pengertian ini, kita mengetahui Allah tidak dengan secara aktif menentukan segala
sesuatu bagi manusia tanpa melibatkan kehendak bebas manusia, sebab
jika demikian manusia hidup seperti robot saja, dan tidak mungkin dapat
dikatakan berakal budi dan mempunyai citra Allah.
Juga, Allah tidak mungkin secara aktif menjadikan manusia berdosa; sebab
itu bertentangan dengan hakekat Allah yang penuh kasih, sehingga tak mungkin Ia
‘menjerumuskan’ manusia ke dalam dosa.
Allah menciptakan manusia dengan menganugerahinya kebebasan. Kebebasan ini adalah salah satu
unsur yang membuat manusia secitra dan gambaran dengan Allah.
Karena itu manusia dipanggil
untuk menggunakan kebebasannya untuk menanggapi rencana
keselamatan Allah. Dengan demikian, manusia
menjadi mitra dan kekasih Allah yang semakin menyerupai Dia.
Kausalitas vertikal Allah tidak membatalkan kausalitas horizontal
ciptaan. Hanya Allah yang bisa
memberikan kekuatan fisik pada
segala sesuatu tanpa mengharuskan penerima menjadi boneka atau kehilangan
kebebasannya.
Inilah misteri kuasa Allah yang tak terbatas dalam pergaulan-Nya dengan
kehendak bebas manusia sebagai ciptaan. Kemampuan ilahi inilah yang tidak bisa
ditiru atau dimiliki oleh ciptaan manapun. Jadi harus ditegaskan bahwa Allah Sang Kebaikan itu pasti tidak
menghendaki yang jahat.
Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah bisa menggunakan kejadian-kejadian,
bahkan yang jahat dan tidak baik itu, menurut rencana-Nya dan untuk
kebaikan-Nya (Rm 8:28 » Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan).
Kitab Suci menyatakan dengan cukup jelas bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah.
Dia mengatur peristiwa-peristiwa
untuk melindungi mereka yang dipilih-Nya.
Yusuf meyakinkan saudara-saudaranya: "Memang kamu telah mereka-reka yang jahat terhadap
aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan dengan
maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup
suatu bangsa yang besar." (Kej 50:19-21).
Kasus pengkhianatan Yudas Iskariot sering membuat orang bingung. Kalau pengkhianatannya sudah dinubuatkan sejak dulu, apakah dia masih memiliki kebebasan kehendak?
Injil Yohanes dengan jelas menunjukkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Yudas ketika Yesus berkata: "Dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya." (Yoh 19:11).
Kasus pengkhianatan Yudas Iskariot sering membuat orang bingung. Kalau pengkhianatannya sudah dinubuatkan sejak dulu, apakah dia masih memiliki kebebasan kehendak?
Injil Yohanes dengan jelas menunjukkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Yudas ketika Yesus berkata: "Dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya." (Yoh 19:11).
Yudas mempunyai kehendak bebas, dia menggunakan kebebasannya, memilih
berbuat dosa. Jadi, Yudas bukanlah
pahlawan, tetapi tetap pengkhianat. Pilihan kejahatan
yang dilakukannya harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Pertanyaan hipotesis, lalu apa yang akan terjadi seandainya Yudas
memutuskan untuk tidak mengkhianati Yesus? Jika demikian, Allah dengan kemahakuasaan-Nya akan
menggunakan sarana dan kejadian lain. Yang
pasti, rencana-Nya akan terlaksana. Dengan cara
bagaimana? Kita tidak tahu.
Ada dua kisah kematian Yudas Iskariot
(Mat 27:3-9; Kis 1:16-19). Rincian dari kisah itu sangat berbeda
satu dengan lainnya, seakan-akan sulit sekali untuk didamaikan.
Berdasarkan fakta ini, kita diingatkan bahwa Kitab Suci bukanlah sebuah laporan
historis tentang peristiwa-peristiwa, tetapi sebuah ungkapan iman yang
tetap didasarkan pada data historis sebagai substansinya.
Kisah
kematian Yudas Iskariot dari Kis 1:18 merujuk dari Keb 4:18-19
Orang
fasik
melihat lalu menghina, mereka akan ditertawakan Tuhan. Sesudahnya mereka menjadi
mayat terhina, dan di tengah-tengah orang mati menjadi buah cemooh
selama-lamanya. Terpelanting tak bersuara mereka dicampakkan
Tuhan, dan digoyangkan-Nya dari dasar-dasarnya. Mereka akan dimusnahkan sama
sekali dan akan berada dalam sengsara. Maka kenangan kepada mereka akan lenyap
(Keb 4:18-19).
Yudas jatuh tertelungkup,
dan perutnya terbelah sehingga semua isinya tertumpah keluar (Kis 1:18).
» Perlu diingat bahwa pada
zaman dahulu, sangatlah penting memberikan pemakaman yang layak untuk orang
yang meninggal. Tidak ada nista yang lebih besar dan mengerikan dari pada
seorang yang meninggal dan jenazahnya tidak dimakamkan.
Kisah kematian Yudas dalam Kisah Para Rasul adalah cerita yang disebarkan
orang-orang Kristiani pertama, yang kemudian dilebih-lebihkan, dan didasarkan
pada Kitab Kebijaksanaan (kematian tak wajar
» kematian para pendosa atau musuh Allah yang melawan rencana Ilahi).
Kisah
kematian Yudas Iskariot dari Mat 27:3-5 merujuk dari 2 Sam 17:23
Ahitofel sahabat raja,
penasihat raja (1 Taw 27:33).
Kepadanya Daud mempercayakan banyak rahasia kerajaannya, tetapi Ahitofel mengkhianati
Daud dan berpihak pada musuh-musuh Daud. Ketika nasehatnya tidak dipedulikan
... kemudian menggantung diri (2
Sam 17:23).
Yudas adalah salah satu murid Yesus
(Mat 10:4), yakni kelompok murid yang paling dekat dengan Yesus, bahkan dipercaya memegang kas. Akan tetapi ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan
dalam kas yang dipegangnya (Yoh 12:6; 13:29).
Yudas rela "menjual" Gurunya dengan harga yang begitu rendah, motivasi utama pengkhianatannya adalah keserakahan akan uang.
Yudas rela "menjual" Gurunya dengan harga yang begitu rendah, motivasi utama pengkhianatannya adalah keserakahan akan uang.
Pada waktu
Yudas,
yang menyerahkan Dia melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia ... lalu pergi
dari situ dan menggantung diri (Mat 27:3, 5).
»
Cara
kematian Yudas, sahabat baik Yesus, dilukiskan mirip dengan cara kematian
Ahitofel, sahabat baik Daud.
Matius menulis Injilnya untuk orang-orang Yahudi, satu-satunya penginjil
yang menceritakan akhir hidup Yudas, tetapi tidak bermaksud menyajikan data historis
tentang nasib Yudas.
Misi utama Matius hendak mewartakan Yesus
sebagai Daud baru (Tipologi), Mesias yang dinantikan orang Israel. Hal
ini ditekankan oleh Matius dari sejak kelahiran sampai pada saat kematian
Yesus, termasuk kematian Yudas.
Akhir hidup Petrus dan Yudas Iskariot
Yesus ditangkap ... Petrus mengikuti
dari jauh ... Lalu berpalinglah Tuhan memandang
Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya: “Sebelum ayam berkokok
pada hari ini, engkau telah tiga kali menyangkal Aku.” Lalu ia pergi dan menangis dengan sedihnya (Luk 22:
54-62).
» Dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan
yang tidak akan disesalkan (2 Kor 7:10).
Penyesalan ini adalah keinsyafan yang diberikan oleh Roh Allah (Yoh 16:8-11
»
Ia akan menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman).
Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku ya Rabi?"
» Dari cara Yudas memanggil Yesus yang berbeda dengan cara murid-murid lain, penginjil Matius ingin menunjukkan bahwa Yudas sendiri sudah mulai memisahkan diri dari lingkungan murid Yesus.
Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku ya Rabi?"
» Dari cara Yudas memanggil Yesus yang berbeda dengan cara murid-murid lain, penginjil Matius ingin menunjukkan bahwa Yudas sendiri sudah mulai memisahkan diri dari lingkungan murid Yesus.
Yesus membalas salam dan ciuman Yudas
dengan berkata: “Hai teman, untuk itukah engkau datang?” (Mat 26:50
» Panggilan teman untuk mengingatkan Yudas bahwa ada ikatan yang pernah ada antara dia dan Yesus; Yesus ingin menegur Yudas sebagai orang yang bersalah).
Yesus mengetahui benar siapa yang akan mengkhianatinya. akan tetapi Dia diam saja; Dia tidak melakukan suatu tindakan pencegahan apapun. Dia seorang yang berserah kepada kehendak Bapa-Nya, sebab memang nasib-Nya sudah tersurat dalam Kitab Suci.
Di sinilah letak misterinya
Sulit sekali memahami bagaimana di satu sisi pengkhianatan Yudas sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci, artinya sudah diketahui Allah jauh sebelumnya, tetapi di lain sisi Yudas tetap manusia yang bertanggungjawab sehingga Yesus bisa berkata: "Celakalah orang yang oleh-Nya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik orang itu kiranya ia tidak dilahirkan."
Namun, perlu dicatat di sini bahwa ungkapan yang kedengarannya sangat keras itu sebenarnya merupakan semacam kutukan yang biasa bagi orang-orang Yahudi.
» Panggilan teman untuk mengingatkan Yudas bahwa ada ikatan yang pernah ada antara dia dan Yesus; Yesus ingin menegur Yudas sebagai orang yang bersalah).
Yesus mengetahui benar siapa yang akan mengkhianatinya. akan tetapi Dia diam saja; Dia tidak melakukan suatu tindakan pencegahan apapun. Dia seorang yang berserah kepada kehendak Bapa-Nya, sebab memang nasib-Nya sudah tersurat dalam Kitab Suci.
Di sinilah letak misterinya
Sulit sekali memahami bagaimana di satu sisi pengkhianatan Yudas sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci, artinya sudah diketahui Allah jauh sebelumnya, tetapi di lain sisi Yudas tetap manusia yang bertanggungjawab sehingga Yesus bisa berkata: "Celakalah orang yang oleh-Nya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik orang itu kiranya ia tidak dilahirkan."
Namun, perlu dicatat di sini bahwa ungkapan yang kedengarannya sangat keras itu sebenarnya merupakan semacam kutukan yang biasa bagi orang-orang Yahudi.
Pada waktu
Yudas,
yang menyerahkan Dia melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia (Mat 27:3).
» Dukacita yang berasal dari dunia ini menghasilkan kematian (2
Kor 7:10). Penyesalan Yudas tidak berakhir dengan suatu pertobatan
yang sejati, yakni dengan keputusan untuk kembali ke jalan yang benar. Tetapi malah
melakukan bunuh diri yang merupakan dosa melawan perintah Tuhan, “Jangan
membunuh” (Kel 20:13).
Penyesalan Yudas hanya memimpin kepada
penyesalan, depresi, mengasihani diri sendiri, dan tanpa pengharapan. Dia tidak
percaya kepada kerahiman
Allah karena sudah memisahkan diri dari lingkungan murid Yesus.
Baiklah orang fasik meninggalkan
jalannya dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada
Tuhan, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi
pengampunan dengan limpahnya (Yes 50:7); Pada-Mu ada pengampunan (Mzm 130:1-4).
Dua kisah ini sekilas memang bertentangan, tetapi dapat juga
diperdamaikan dengan upaya rekontruksi sebagai berikut: Yudas memang bunuh diri
dengan jalan menggantung diri. Akan tetapi, sewaktu ia menggantung diri pada
satu dahan pohon, dahan itu patah sehingga Yudas jatuh ke tanah tepat di atas
sesuatu yang tajam sehingga dia mati dengan isi perut tertumpah keluar.
(Sumber: Seri Konsultasi Iman 2, Dari Prapaskah sampai Paskah, Dr Petrus Maria
Handoko, CM; Kisah Sengsara Yesus menurut Injil Matius, Dr. Hendricus Pidyarto,
O.Carm).