Pages

Kamis, 23 Juni 2016

Dipanggil dan diutus untuk menjadi penjala manusia


Sejak kita dipermandikan, sebenarnya kita sudah dipanggil dan diutus untuk mengikuti Yesus, supaya seperti Dia, yaitu: mengajar (mewartakan sabda Allah dan memberi kesaksian Allah tentang cinta-Nya/kebaikan-Nya/ keluarbiasaan-Nya kepada orang).

Tetapi kita harus ingat bahwa hidup panggilan dan perutusan orang Katolik itu masing-masing sesuai dengan tempat dan keadaannya.

Tanpa ada kerendahan hati/pengakuan diri sebagai orang yang tak berdaya/orang yang berdosa/lemah, maka tidak pernah juga Yesus akan memiliki tempat di hati kita dan mau membantu kita.

Perutusan ini  baru bisa terlaksana dan membawa hasil yang baik ketika kita sungguh-sungguh mempercayakan segala-galanya ke dalam tangan Tuhan (mengandalkan hikmat kekuatan Allah).

Misalnya: sebagai istri dipanggil dan diutus untuk mewartakan sabda Allah bagi suami;  sebagai ibu dipanggil dan diutus untuk mewartakan sabda Allah bagi anak-anaknya. Jadi harus berusaha mewartakan sabda Allah/membawa karya keselamatan di keluarga dulu.

Tuhan Allah itu setia dan apabila menemui manusia tidak setia, Allah tetap setia. Tuhan Allah mengasihi walaupun seringkali kasih-Nya tidak ditanggapi manusia, Tuhan Allah tetap mengasihi. Bahkan Dia selalu memberikan kesempatan terus-menerus.

Marilah kita belajar dari Petrus (Luk 5:1-11)

Yesus duduk dan mengajar » kita yang sudah dipermandikan juga dipanggil dan diutus untuk mewartakan sabda Allah.

Yesus berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkan jalanmu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.

» Mungkin Petrus sedikit mengeluh dan nadanya menyepelekan Yesus, katanya: “Kamu tahu apa Yesus. Kami ini kan nelayan yang hebat. Sudah seumur kami ini terus di laut. Kami tahu persis bagaimana praktek tentang menangkap ikan. Kamu ini kok seolah-olah tahu.”

Walau pun demikian dalam diri Petrus tetap ada secuil iman dan harapan (Ya dari pada tidak ada sama sekali, ya usaha. Kalau disuruh begini, ya sudahlah ... kita buat, ya namanya usaha).

Cerita tentang penangkapan ikan ini dibuat kontras karena  mau mengatakan bahwa jika kita mau melaksanakan tugas mewartakan sabda Allah, memberikan kesaksian kepada orang bukanlah dengan kekuatan sendiri tetapi harus dengan kekuatan Allah.

Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini orang berdosa.”

» ada kerendahan hati/pengakuan diri sebagai orang yang tak berdaya/orang yang berdosa/lemah.

Petrus sebagai penjala ikan dipanggil dan diutus untuk menjadi penjala manusia

» semua manusia dipanggil untuk hal yang sama, masing-masing sesuai dengan tempat dan keadaannya.

Layanilah seorang akan yang lain,
sesuai dengan karunia
yang telah diperoleh tiap-tiap orang.
Baiklah ia melakukannya
dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah,
supaya Allah dimuliakan
dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus.
(1 Pet 4:10-11)

Akhir-akhir ini banyak sekali orang yang ingin sesuatu yang baru tetapi nyatanya tidak sungguh-sungguh mendapatkan yang baru, dengan meninggalkan Gereja Katolik menyeberang ke gereja tertentu. Setelah di sana, ternyata malahan mereka diantar kembali kepada Perjanjian Lama.
Di Gereja Katolik, PL dibacakan hanya sekedar latar belakang, bukan yang paling utama. Jadi sebagai orang Kristiani yang telah diperbaharui oleh Yesus Kristus (PB), kita jangan sampai kembali ke jaman para nabi/hakim (PL).

Zaman dahulu
Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara
kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi.
Pada zaman akhir ini Ia telah berbicara
kepada kita dengan perantaraan AnakNya.
(Ibr 1:1-2)

Mengapa seringkali kita tidak dapat menghayati/mengerti pesan firman yang dibawakan oleh pengkotbah? Karena kita datang tanpa mempersiapkan hati kita.

Jadi sebagus apa pun kotbah itu, pesan-pesan itu tidak dapat masuk dalam hati. Sehingga kita merasa tidak mendapatkan apa-apa. Untuk dapat menghayati/mengerti pesan firman,  yang kotbah harus mempersiapkan, orang yang mendengarkan kotbah juga mempersiapkan diri, sehingga terjadilah sebuah komunikasi yang membawa kepada relasi yang akrab dan saling mengerti dan menerima.

Sebagai orang Katolik seharusnya kita sungguh-sungguh menghayati kekatolikan kita  dengan mengikuti bacaan dan merenungkan bacaan yang sesuai dengan kalender liturgi Gereja Katolik.

Jika kita menaati peraturan gereja kita yang kudus ini, maka dalam jangka waktu 3 tahun, seorang Katolik sudah membaca dari A-Z Kitab Suci (lih Kitab Suci).

Bacaan di Gereja Katolik selalu ada dua, yang selalu ada kaitannya. Maka kalau mau merenungkan/mensharingkan berdasarkan Kitab Suci, harus dibaca dua bacaan trsebut. Di situlah kita akan melihat persamaannya dan dapat diangkat menjadi tema.

Gereja Katolik mengajarkan agar orang membaca Kitab Suci dalam satu kesatuan pesan, yakni perikop-perperikop bukan ayat-perayat. Lalu kita buktikan dalam pengalaman hidup kita sehari-hari.
Jika kita menghafal ayat-perayat, ada bahayanya. Karena ada juga ayat yang saling bertentangan maknanya.
Jadi yang harus kita cari dan wartakan  adalah kehendak Allah yang utama, bukan kehendak/ide/pikiran kita.

Gereja Katolik dari dulu sampai sekarang tetap sama. Maka dalam ibadat resmi gereja (Liturgi), terutama dalam merayakan Sakramen-sakramen dan Ibadat Harian dari dahulu hingga sekarang tetap dirayakan dengan aturan dan tata cara yang paten sesuai dengan ketentuan Konggresi Suci Gereja Katolik.

Contoh: tata perayaan Misa, yang sebelumnya disesuaikan di Indonesia, sekarang harus dikembalikan kepada yang paten itu.

Namun di pihak lain, gereja Katolik terutama sesudah Konsili Vatikan II sangat percaya akan berbagai karunia dari satu Roh yang sama, yang memberikan kesempatan kepada umatnya untuk dapat menghayati dan mengekspresikan keunikannya masing-masing dalam beribadat, yakni dalam berdevosi.

Dalam berdevosi, bentuk kesalehan pribadi atau kelompok, seseorang atau sekelompok orang itu dapat mengaktualisasikan diri. Keunikannya masing-masing dalam bentuk-bentuk ibadat dan ekspresi yang beraneka ragam sesuai dengan kepribadian mereka, atau sesuai dengan kebiasaan aturan adatnya yang khusus.

Seorang yang introvert mungkin akan lebih bersemedi dan diam dalam sebuah meditasi atau cara-cara berdoa yang tenang. Sedangkan seorang extrovert mungkin akan mengungkapkannya dengan menyanyi, menari dan bertepuk tangan.

Demikianlah sekarang ini kita bisa menemukan berbagai kelompok dengan cara yang sangat berbeda-beda, bahkan kadang berlawanan dalam peribadatan perdevosian mereka, seperti: Legio Maria, Kerahiman Ilahi, Karismatik dll.

Dalam kaitan ini, barangkali baik kita membedakan secara jelas antara liturgi resmi gereja dan devosi. Liturgi resmi gereja adalah liturgi yang diwajibkan oleh gereja karena dengannya kita merayakan keselamatan kita, maka karenanya harus sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan gereja. Tidak melaksanakannya kita dianggap berdosa, seperti tidak Misa hari Minggu, hidup bersama tanpa menerima Sakramen Perkawinan dll.

Sedangkan devosi adalah bentuk kesalehan pribadi atau kelompok, yang tidak diwajibkan gereja tetapi sangat dianjurkan oleh gereja karena menghantar orang lebih dekat dengan Allah dan akan lebih menguduskan seseorang.

Karena tidak diwajibkan, maka juga tidak perlu secara mendetail tata cara peribadatan yang paten. Tetapi tidak demikian lalu orang seturut sesukanya. Lebih tidak lagi meniru-niru tata cara beribadat dan berdoa seperti di Gereja Kristen yang lain.

Di dalam berdevosi tetap saja kita mengikuti rumusan-rumusan berdoa yang telah ditetapkan oleh Gereja. 


(Sumber: Warta KPI TL No. 54/X/2008 » Renungan KPI TL 7 September 2008,  Romo Damianus Weru. SVD)