19.22 -
*Panggilan Allah*
Dipanggil dan diutus untuk menjadi penjala manusia
Sejak
kita dipermandikan,
sebenarnya kita sudah dipanggil dan
diutus untuk mengikuti Yesus, supaya seperti Dia, yaitu: mengajar (mewartakan sabda Allah
dan memberi kesaksian Allah tentang cinta-Nya/kebaikan-Nya/ keluarbiasaan-Nya
kepada orang).
Tetapi
kita harus ingat bahwa hidup panggilan dan perutusan orang Katolik itu
masing-masing sesuai dengan tempat dan keadaannya.
Tanpa
ada kerendahan hati/pengakuan diri sebagai orang yang tak berdaya/orang yang
berdosa/lemah, maka tidak pernah
juga Yesus akan memiliki tempat di hati kita dan mau membantu kita.
Perutusan
ini baru bisa terlaksana dan membawa
hasil yang baik ketika kita sungguh-sungguh mempercayakan segala-galanya ke
dalam tangan Tuhan (mengandalkan hikmat kekuatan Allah).
Misalnya:
sebagai istri dipanggil dan diutus untuk mewartakan sabda Allah bagi
suami; sebagai ibu dipanggil dan diutus
untuk mewartakan sabda Allah bagi anak-anaknya. Jadi harus berusaha mewartakan
sabda Allah/membawa karya keselamatan di keluarga dulu.
Tuhan Allah itu setia
dan apabila
menemui manusia tidak setia, Allah tetap setia. Tuhan Allah mengasihi walaupun seringkali
kasih-Nya tidak ditanggapi manusia, Tuhan Allah tetap mengasihi. Bahkan Dia
selalu memberikan kesempatan terus-menerus.
Marilah kita belajar
dari Petrus (Luk 5:1-11)
Yesus
duduk dan mengajar » kita yang sudah dipermandikan juga dipanggil dan diutus
untuk mewartakan sabda Allah.
Yesus
berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkan jalanmu
untuk menangkap ikan.” Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami
bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena
Engkau menyuruhnya, aku
akan menebarkan jala juga.” Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap
sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.
»
Mungkin Petrus sedikit mengeluh dan nadanya menyepelekan Yesus, katanya: “Kamu
tahu apa Yesus. Kami ini kan nelayan yang hebat. Sudah seumur kami ini terus di
laut. Kami tahu persis bagaimana praktek tentang menangkap ikan. Kamu ini kok
seolah-olah tahu.”
Walau
pun demikian dalam diri Petrus tetap ada
secuil iman dan harapan (Ya dari pada tidak ada sama sekali, ya usaha.
Kalau disuruh begini, ya sudahlah ... kita buat, ya namanya usaha).
Cerita
tentang penangkapan ikan ini dibuat kontras karena mau mengatakan bahwa jika kita mau melaksanakan tugas
mewartakan sabda Allah, memberikan kesaksian kepada orang bukanlah dengan kekuatan sendiri tetapi
harus dengan kekuatan Allah.
Ketika
Simon
Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari
padaku, karena aku ini orang berdosa.”
» ada
kerendahan hati/pengakuan diri sebagai orang yang tak berdaya/orang yang berdosa/lemah.
Petrus
sebagai penjala ikan dipanggil dan diutus untuk menjadi penjala manusia
» semua
manusia dipanggil untuk hal yang sama, masing-masing sesuai dengan tempat dan keadaannya.
Layanilah seorang akan yang lain,
sesuai
dengan karunia
yang
telah diperoleh tiap-tiap orang.
Baiklah ia melakukannya
dengan
kekuatan yang dianugerahkan Allah,
supaya
Allah dimuliakan
dalam
segala sesuatu karena Yesus Kristus.
(1 Pet 4:10-11)
Akhir-akhir
ini banyak sekali orang yang ingin sesuatu yang baru tetapi nyatanya tidak
sungguh-sungguh mendapatkan yang baru, dengan meninggalkan Gereja Katolik
menyeberang ke gereja tertentu. Setelah di sana, ternyata malahan mereka
diantar kembali kepada Perjanjian Lama.
Di Gereja Katolik, PL dibacakan
hanya sekedar latar belakang, bukan
yang paling utama. Jadi sebagai orang Kristiani yang telah diperbaharui
oleh Yesus Kristus (PB), kita jangan sampai kembali ke jaman para nabi/hakim
(PL).
Zaman
dahulu
Allah
berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara
kepada
nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi.
Pada
zaman akhir ini Ia telah berbicara
kepada
kita dengan perantaraan AnakNya.
(Ibr
1:1-2)
Mengapa
seringkali kita tidak dapat menghayati/mengerti pesan firman
yang dibawakan oleh pengkotbah? Karena kita datang tanpa mempersiapkan hati kita.
Jadi
sebagus apa pun kotbah itu, pesan-pesan itu tidak dapat masuk dalam hati.
Sehingga kita merasa tidak mendapatkan apa-apa. Untuk dapat menghayati/mengerti
pesan firman, yang kotbah harus
mempersiapkan, orang yang mendengarkan kotbah juga mempersiapkan diri, sehingga
terjadilah sebuah komunikasi yang membawa kepada relasi yang akrab dan saling
mengerti dan menerima.
Sebagai
orang Katolik seharusnya kita sungguh-sungguh menghayati kekatolikan kita dengan mengikuti bacaan dan merenungkan
bacaan yang sesuai dengan kalender liturgi Gereja Katolik.
Jika
kita menaati peraturan gereja kita yang kudus ini, maka dalam jangka waktu 3
tahun, seorang Katolik sudah membaca dari A-Z Kitab Suci (lih Kitab
Suci).
Bacaan
di Gereja Katolik selalu ada dua, yang selalu ada kaitannya. Maka kalau mau
merenungkan/mensharingkan berdasarkan Kitab Suci, harus dibaca dua bacaan
trsebut. Di situlah kita akan melihat persamaannya dan dapat diangkat menjadi
tema.
Gereja Katolik
mengajarkan agar orang membaca
Kitab Suci dalam satu
kesatuan pesan, yakni perikop-perperikop bukan ayat-perayat. Lalu kita
buktikan dalam pengalaman hidup kita sehari-hari.
Jika kita menghafal
ayat-perayat, ada bahayanya. Karena ada juga ayat yang saling
bertentangan maknanya.
Jadi
yang harus kita cari dan wartakan adalah kehendak
Allah yang utama, bukan kehendak/ide/pikiran kita.
Gereja
Katolik dari dulu sampai sekarang tetap sama. Maka dalam ibadat resmi gereja
(Liturgi), terutama dalam merayakan Sakramen-sakramen dan Ibadat Harian dari
dahulu hingga sekarang tetap dirayakan dengan aturan dan tata cara yang paten
sesuai dengan ketentuan Konggresi Suci Gereja Katolik.
Contoh:
tata perayaan Misa, yang sebelumnya disesuaikan di Indonesia, sekarang harus
dikembalikan kepada yang paten itu.
Namun
di pihak lain, gereja Katolik terutama sesudah Konsili Vatikan II sangat
percaya akan berbagai karunia dari satu Roh yang sama, yang memberikan
kesempatan kepada umatnya untuk dapat menghayati dan mengekspresikan
keunikannya masing-masing dalam beribadat, yakni dalam berdevosi.
Dalam
berdevosi, bentuk kesalehan pribadi atau kelompok, seseorang atau sekelompok
orang itu dapat mengaktualisasikan diri. Keunikannya masing-masing dalam
bentuk-bentuk ibadat dan ekspresi yang beraneka ragam sesuai dengan kepribadian
mereka, atau sesuai dengan kebiasaan aturan adatnya yang khusus.
Seorang
yang introvert mungkin akan lebih bersemedi dan diam dalam sebuah meditasi atau
cara-cara berdoa yang tenang. Sedangkan seorang extrovert mungkin akan
mengungkapkannya dengan menyanyi, menari dan bertepuk tangan.
Demikianlah
sekarang ini kita bisa menemukan berbagai kelompok dengan cara yang sangat
berbeda-beda, bahkan kadang berlawanan dalam peribadatan perdevosian mereka,
seperti: Legio Maria, Kerahiman Ilahi, Karismatik dll.
Dalam
kaitan ini, barangkali baik kita membedakan secara jelas antara liturgi resmi
gereja dan devosi. Liturgi resmi gereja
adalah liturgi yang
diwajibkan oleh gereja karena dengannya kita merayakan keselamatan
kita, maka karenanya harus sesuai
dengan tata cara yang telah ditetapkan gereja. Tidak melaksanakannya kita dianggap berdosa, seperti
tidak Misa hari Minggu, hidup bersama tanpa menerima Sakramen Perkawinan dll.
Sedangkan
devosi
adalah bentuk kesalehan pribadi atau
kelompok, yang tidak
diwajibkan gereja tetapi sangat dianjurkan oleh gereja karena menghantar orang lebih dekat dengan
Allah dan akan lebih menguduskan seseorang.
Karena
tidak diwajibkan, maka juga tidak perlu secara mendetail tata cara peribadatan
yang paten. Tetapi tidak demikian lalu orang seturut sesukanya. Lebih tidak
lagi meniru-niru tata cara beribadat dan berdoa seperti di Gereja Kristen yang
lain.
Di
dalam berdevosi tetap saja kita mengikuti rumusan-rumusan berdoa yang telah ditetapkan
oleh Gereja.
(Sumber:
Warta KPI TL No. 54/X/2008 » Renungan KPI TL 7
September 2008, Romo Damianus Weru. SVD)