Pencuri
datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya
mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan
(Yoh 10:10).
Dalam
Alkitab kita dapat menemukan 2 kata yang dapat diterjemahkan “hidup”, pertama
“bios”, kedua “zoe”.
“Bios”
adalah hidup yang dimiliki oleh semua mahluk hidup, baik manusia, binatang, dan
tumbuhan. Dari kata ini kita mengenal “biologi”
Dalam
kehidupan manusia, “bios”
bisa digambarkan bagaimana manusia bekerja mencari uang untuk melangsungkan
kehidupan yang layak, menikah, memiliki keturunan, begitu sepanjang hidupnya
sampai akhirnya mati (selalu
berhubungan dengan hal yang bersifat fisik).
“Zoe”
berbeda dengan “bios” Zoe
adalah hidup dengan segala kekayaan
dan kualitas hidup sebagai manusia yang sesungguhnya, hidup yang membawa arti, bukan
hanya arti yang bisa dirasakan orang lain, tetapi membawa arti untuk kekekalan.
Kata
“hidup” dalam ayat di atas terjemahan dari kata “zoe”. Zoe selalu berbicara tentang kehidupan dalam
hubungannya dengan Tuhan yang dimanifeastasikan dalam segala hal, atau hidup yang selalu berhubungan dengan hal
rohani dan tidak bersentuhhan
dengan hal yang bersifat fisik atau yang sementara.
Jadi,
Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia untuk beroleh hidup yang kekal, bagi
yang percaya kepada-Nya (Yoh 3:16-17).
Hidup yang kekal yaitu mengenal
Tuhan, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang diutus-Nya (Yoh 17:3).
Jika
kita mengenal-Nya secara pribadi, maka Kristus akan melimpahkan segala berkat
rohani (Ef 1:3). Dia sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kita,
supaya kita senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah
berlebihan di dalam pelbagai kebajikan. Kita akan diperkaya dalam segala
kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah (2 Kor 9:8, 11).
Berhati-hatilah
jika memperoleh kelimpahan yang bukan berasal dari Tuhan. Karena Iblis juga bisa
memberikan kelimpahan secara fisik.
Iblis
berkata kepada Yesus: “ Semua ini akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud
menyembah aku.” (Mat 4:9).
Ingatlah!
Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari
atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau
bayangan karena pertukaran (Yak 1:17).
Iblis
benar-benar mencuri dan membunuh dan
membinasakan ketika dia memberi sesuatu, dia minta pertukaran, yaitu tumbal.
Marilah
kita belajar dari “Orang miskin yang
kaya (Bai Fang Li)”
Namanya
Bai Fang Li. Pekerjaannya
adalah seorang tukang becak.
Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh
untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya.
Mengantarkan
kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya
tergolong kecil untuk ukuran
becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja.
Mulai
jam enam pagi setelah
melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melanglang
di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan
mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah
mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar
lebih.
Mungkin
karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih
itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan
keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai
Fang Li tinggal disebuah gubuk reot
yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak
tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan
miliknya, karena ia menyewanya secara
harian.
Perlengkapan
di gubuk itu sangat sederhana. Hanya
ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat
dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh
becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang
kecil dimana ia biasa merebahkan
tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya,
diruang itu juga ada sebuah kotak
dari kardus yang berisi
beberapa baju tua miliknya dan sebuah
selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal.
Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana
biasa ia makan, ada sebuah tempat
minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu teplok
minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk
tua itu bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian
digubuknya. Dan orang hanya tahu
bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara
sedarah.
Tapi nampaknya ia
tak pernah merasa sendirian, banyak
orang yang suka padanya, karena
sifatnya yang murah hati dan suka menolong.
Tangannya
sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa
mengharapkan pujian atau balasan.
Dari
penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia
mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan
membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya
sepasang dan sepatu bututnya
yang sudah tak layak dipakai karena
telah robek.
Namun
dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya
kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300
anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak
yatim piatu melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar
seorang pelanggannya. Ia menyaksikan
seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah
menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja.
Tubuh kecil itu nampak sempoyongan
menggendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat
melakukan tugasnya. Dan dengan
kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah
beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman,
mungkin ia mengucapkan syukur pada
Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa
kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan
menerima upah uang recehan.
Kemudian
ia lihat anak itu beranjak
ketempat sampah, mengais-ngais sampah,
dan waktu menemukan sepotong roti
kecil yang kotor, ia
bersihkan kotoran itu, dan
memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu
makanan dari sorga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran,
mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang
diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli
makanan sederhana.
"Uang
yang saya dapat untuk makan adik-adik saya ..." jawab anak itu.
"Orang tuamu di mana ...?" tanya Bai Fang Li. "Saya tidak tahu
..., ayah ibu saya pemulung ... Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi
memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari
makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil ..." sahut anak itu.
Bai
Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama
Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Ming,
dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu
nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai
Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu peduli
dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena
memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk
mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja
mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga
anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan
bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu
anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan
mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.
Sejak
saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai
jam enam pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan
uang.
Dan
seluruh uang penghasilannya setelah
dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kismis untuk makan
siangnya dan sepotong kecil daging
dan sebutir telur untuk makan
malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke
Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang
kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali
melakukan semua itu, ditengah
kesederhanaan dan keterbatasan dirinya.
Merupakan
kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih
cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit
sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm ... tapi masih
cukup bagus ... gumannya senang.
Bai
Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan
cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya
atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.
"Tidak
apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat
makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini
...," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban
demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.
Hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai
Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada
yayasan yatim piatu di Tianjin itu.
Saat
berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500
(sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapi dalam suatu kotak dan
menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
Bai
Fang Li berkata "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak
dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan" katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.
Bai
Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun
begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000
(kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada
Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih
300 anak-anak miskin.
Foto
terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang
bertuliskan " Sebuah cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar
biasa".
Bila
seorang yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka
ia adalah salah satu penghuni sorga
yang diutus ke dunia, yang
mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan selalu berbagi kepada sesama.
Hidup berkelimpahan berarti hidup
yang dipenuhi oleh kasih Allah, yakni hidup yang tidak melekat pada hal-hal duniawi, melainkan
hidup yang diarahkan pada kesatuan dengan Allah, mengalami keakraban interaksi
dengan Allah.
Kesatuan
dengan Allah tampak dalam praktek hidup keseharian: keramahtamaan, persahabatan
dengan semua, kerelaan mendengarkan, kerelaan berbagi, kerelaan bersekutu,
bergotong royong, mengunjungi dan menghibur siapa pun yang sakit atau
membutuhkan, terlibat dalam tatanan bermasyarakat dengan sukacita, dan
sebagainya.
Hidup
berkelimpahan bukan soal banyaknya materi yang kita raih dan miliki, tetapi hidup
yang dibagikan, hidup yang memerdekakan dan memartabatkan.
(Sumber: Warta KPI TL No.131/III/2016 » Renungan KPI TL Tgl
18 Februari 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).