Pages

Kamis, 25 Februari 2016

Hidup yang Berkualitas

Ada seorang profesor yang diundang berbicara di sebuah basis militer. Di sana sang profesor itu berjumpa dengan prajurit yang tak mungkin dia lupakan namanya, namanya Raf.

Raf dipilih oleh komandannya untuk menjemput sang profesor di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri mereka menuju tempat pengambilan bagasi. 

Ketika berjalan keluar, sang profesor itu heran melihat tingkah laku Raf, dia seringkali tidak berada di sampingnya, selalu menghilang dan kembali di sampingnya dengan tersenyum lebar menghiasi wajahnya.

Karena heran, profesor itu memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh Raf. Ternyata Raf membantu seorang wanita tua yang kopernya terjatuh dan terbuka, mengangkat dan menggendong dua anak kecil agar mereka bisa melihat sinterklas, dan juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar

Lalu profesor itu bertanya pada Raf: “Dari mana engkau belajar memiliki hidup seperti itu?”

Jawabnya: “Saya belajar selama perang di Vietnam. Saya menyaksikan satu persatu teman saya tewas kena ranjau di depan mata saya. Karena tugas saya membersihkan ranjau-ranjau, maka saya belajar untuk hidup diantara pijakan setiap langkah. Saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan yang terakhir. Jadi, setiap langkah yang saya lakukan merupakan sebuah dunia baru dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini.” 

Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10b).

Jika hidup kita melekat pada Gembala Agung kita, maka hidup kita akan berkelimpahan, terutama dalam hal rohani, mudah bersyukur, murah hati seperti Bapa, rela mendengar dan berbagi, ada sukacita senantiasa. Jadi, kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.

Hidup berkualitas yang dikehendaki Allah adalah (1) apa yang baik (2) yang berkenan kepada Allah (3) yang sempurna (Rm 12:2).

Ciri-ciri orang yang hidupnya berkualitas 

1. Hidupnya berfokus pada Kerajaan Allah, tidak berfokus pada kepentingan dirinya sendiri, apalagi kepentingan dunia (Mat 6:33).

2. Hidupnya bukan lagi untuk mencari kesenangan dirinya, melainkan menyenangkan hati Tuhan (1 Kor 10:33). Jadi, lakukanlah semuanya untuk kemuliaan Allah (1 Kor 10:31).

3. Hidupnya bermakna bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bermakna bagi sesamanya dan lebih berarti bagi Tuhan. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu (1 Tim 4:12).

4. Hidup dalam kasih dan damai sejahtera Allah. Jila kita tinggal dalam kasih-Nya, maka kita harus menuruti perintah-Nya (Yoh 15:9-10).

Agar hidup kita berkualitas, kita harus:

1. Menggunakan waktu dengan baik, memperhatikan waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat (Ef 5:15-16).

2. Memiliki pikiran positif supaya perbendaraan hati dipenuhi oleh hal-hal yang benar dan positif. Jika berbicara, baiklah berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah (1 Ptr 4:11a), perkataan Tuhan kita Yesus Kristus (1 Tim 6:3 » ajaran sehat = perkataan sehat) sehingga pikiran kita dipenuhi oleh semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Flp 4:8).

Jika kita selalu berpikiran negatif, maka suatu saat kita akan kalah dalam pergumulan hidup. Jadi, jika pikiran negatif muncul, ingatlah ayat Rm 8:28 (Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah) dan ayat Yer 29:11 (Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, yaitu rancangan damai sejahtera, dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan).

3. Memiliki tujuan hidup yang jelas, jangan menoleh ke belakang (Flp 1:21 » Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan; Flp 3:13-14 » Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan)

4. Berani bayar harga, tiada kemenangan tanpa perjuangan, tiada kemuliaan tanpa salib. 

Jika selama hidup kita masih kompromi dengan dosa atau hidup kita serupa dengan dunia ini, maka hidup kita tidak akan mengalami terobosan-terobosan rohani, kita tidak akan dipakai Tuhan secara maksimal.

Untuk itu kita harus menyangkal diri, memikul salib setiap hari dan mengikuti-Nya (Luk 14:27). Jadi, janganlah takut jika diproses dalam sekolah kehidupan, bukankah besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya (Ams 27:17).

Hari-hari ini dunia sedang menunggu seseorang yang dapat dijadikan teladan. Kenapa? Karena dunia sudah penuh dengan kejahatan dan orang-orang yang punya kecenderungan hatinya berbuat jahat (Kej 8:21).

Saat ini dunia sangat membutuhkan

- orang yang rendah hati yang menyadari keterbatasannya.
- orang yang yakin bahwa dirinya akan lumpuh jika tidak ditopang oleh sesamanya.
- orang yang sudi menjadi penopang sesamanya.
- orang yang rindu memberi daripada menerima.
- orang yang tetap tersenyum walau pun kesuksesan terasa jauh dari hidupnya.
- orang yang dapat menghargai perbedaan yang ada.
- orang yang tetap mengasihi sesamanya yang tidak lagi mampu berbuat apa-apa.

Hidup akan berkualitas, jika 

1. Kita menyadari bahwa hidup yang kita hidupi sekarang adalah bukan sekedar hidup tapi hidup yang penuh dengan arti. Maka jadilah garam dunia dan terang dunia sehingga dapat menjadi berkat bagi sesama (Mat 5:13-16). 

Kekristenan, tidak dapat diukur dari seberapa majunya kita masuk ke gereja atau berapa lama kita menjadi orang Kristen tetapi seberapa dalamnya hubungan kita dengan Tuhan. 

Ketika berada di gereja, mendengar bacaan dan homili yang sama tetapi masing-masing pendengar mempunyai pengertian yang berbeda.

2. Memiliki tingkat kedewasaan rohani yang penuh.

Orang yang sudah dewasa dalam kerohanian akan sanggup memaknai hidupnya untuk melakukan hal-hal yang baik dan berguna, tidak hanya berguna bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Seorang anak kecil (rohani) tidak memahami ajaran tentang kebenaran. Orang dewasa (rohani) mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat. Hal ini terjadi karena ada hikmat Allah padanya (Ibr 5:12-14; 2 Kor 2:6-7).

Ketika ada orang yang menyakiti hatinya, dia tidak mudah sakit hati dan dendam, selalu melepas pengampunan dan memikirkan hal-hal yang baik untuk kepentingan beersama.

3. Menyadari bahwa hidup itu adalah belajar dan terus berkembang.

Kita telah mendengar tentang Kristus dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus. Oleh karenanya marilah kita belajar mengenal Kristus lebih dalam lagi dengan membuang pikiran yang sia-sia (Ef 4:17-32). 

Bagi Tuhan yang penting bukan berapa lama kita hidup di dunia dan seberapa besar kita memiliki kekayaan, bukan seberapa banyak anak-anak yang kita miliki, bukan seberapa hebat pelayanan kita, tetapi bagaimana kita menyenangkan hati Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Marilah kita berjuang bersama Tuhan sehingga kita dimampukan memperbaiki diri agar terlepas dari hal-hal yang mengikat kehidupan kita. Karena setiap orang di antara kita akan memberi pertanggung jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah (Rm 14:12; Ibr 4:13). 

(Sumber:Warta KPI TL No. 130/II /2016; Renungan KPI TL Tgl 14 Januari 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).