Ada sebuah sekolah dasar di Jakarta yang memberikan kualitas nomer 1 – ruangannya ber-AC, gurunya S2/S3; terdiri dari anak-anak orang tidak mampu (gratis) dan anak-anak orang kaya (bayar).
Suatu ketika ada orang tua yang protes pada kepala sekolahnya: “Mengapa engkau membuat satu kelas anak-anak yang tidak mampu dan mampu sama? Seharusnya anak-anak yang tidak mampu tidak memakai AC.”
Kepala sekolah itu menjawab: “Oh... itu orang dunia yang membedakan. Tuhan tidak memberikan perbedaan, Tuhan mau anak-anak yang tidak mampu itu juga merasakan bagaimana bersekolah dengan AC.”
Suatu saat anak-anak di kelas 6 mengadakan out bound – dari pos pertama sampai pos terakhir harus ditempuh selama 3 jam, tiap berjalan ½ jam ada pos untuk mengambil kue dan minuman.
Anak-anak orang kaya: jalan 10 menit sudah mengeluh, tidak ada sukacita. Sehingga waktu 3 jam yang ditentukan, ditempuhnya lebih dari 4 jam – tidak kuat menghadapi badai sehingga cengeng.
Anak-anak pemulung/anak kondektur bis/anak yang biasa menderita: tidak jalan tetapi berlari dan tertawa. Sampai di pos ambil kue dan minuman lalu lari lagi sambil tertawa. Waktu yang ditentukan 3 jam hanya ditempuh mereka dalam waktu 1 ½ jam. Di pos terakhir mereka berteriak-teriak: “Yes... kita menang.”
Kisah ini membuktikan bahwa penderitaan membuat orang memiliki ketahanan/kekuatan dan mampu bersyukur kepada Tuhan.
(Sumber: Warta KPI TL No. 39/VII/2007; Renungan KPI TL Tgl 14 Juni 2007 & 12 Juli 2007, Dra Yovita Baskoro, MM).