Pada waktu melahirkan anak ke 3, ada masalah dengan matanya. Dokter mengatakan ‘small’ (kecil), tidak dapat terbuka karena pada waktu di kandungan, matanya tidak dapat berkembang. Mata yang satunya terbuka lebar, nggak apa-apa, anaknya lucu sekali.
Hati saya sebetulnya hancur, ketika melihat keadaan anak saya yang baru lahir ini. Saya takut dan menangis karena membayangkan ‘bagaimana dia menghadapi kehidupannya nanti’.
Ketika saya melihat salib di RKZ, seakan-akan saya goncang sambil berteriak: “Tuhan, mengapa ini terjadi pada saya?”
Biasanya kalau anak berusia 40 hari, di depan matanya dimain-mainkan warna merah/disentolop, bola matanya akan berlari-lari mengikuti arah warna/sinar yang ada.
Selama 40 hari hati saya nggak karuan, menanti ... menanti ...
Pada waktu saya main-mainkan selendang merah/disentolop matanya, bola mata anak saya diam saja/cuma satu arah; saya menangis nggak karuan dan berteriak-teriak; suami saya di luar kaget, lari masuk, saya tidak bisa berbicara apa-apa, cuma menangis sambil jongkok.
Saya diangkat suami saya, dipepetkan ke tembok dan dipukul-pukul pipi saya sambil berkata: “Kamu sadar!” Akhirnya saya berhenti menangis karena kesakitan.
Tanpa pikir, saya gendong anak saya sambil berkata: “Ayo, kita ke dokter, kalau kamu nggak mau ngantar aku, aku naik becak sendiri.” Akhirnya saya naik becak dan diikutinya dari belakang.
Sampai di dokter ditanya: “Sakit ... ya?” Jawab saya: “Ndak dok, anak saya sudah 40 hari kok ndak ada respon matanya.”
Dokternya memainkan sentolopnya dan bola mata anak saya ikut goyang-goyang mengikuti arah sinar.
Langsung anaknya saya gendong, lari ke depan, naik ke becak lagi.
Di situ saya menangis mengucapkan syukur: “Terima kasih Tuhan, walaupun matanya tidak sempurna, Engkau telah memberikan terang pada mata anak saya.”
Akhirnya ada suara: “Iya ..., selama 40 hari, kamu tidak pernah mengucapkan syukur, mana bisa dia mengeluarkan sinar.”
Tetapi ucapan syukur saya tidak berhenti di situ, karena meskipun mata anak saya yang satunya tidak sempurna, tetapi dia begitu percaya diri menjadi WL di HSM.
Demikian juga ketika diwisuda, saya peluk dia sambil berkata: “Terima kasih engkau sudah bekerjasama sama mama.”
Aku hendak bersyukur kepada-Mu dengan segenap hatiku. Pada hari aku berseru, Engkaupun menjawab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku (Mzm 138:1, 3).
(Sumber: Warta KPI TL No. 42/X/2007).
(Sumber: Warta KPI TL No. 42/X/2007).