Seno untuk pertama kalinya pulang ke Jawa setelah 10 tahun tinggal di daerah transmigrasi. Ia rindu dan ingin tahu keadaan saudara-saudarinya yang ditinggalkannya selama itu.
Tetapi, betapa terkejutnya dia, melihat keadaan saudara-saudarinya tampak letih, tua dan pucat, seakan menanggung beban berat.
Hidup dalam masyarakat yang penuh persaingan ketat, memang dibutuhkan bekerja keras untuk sekedar bisa bertahan atau tidak digusur.
Sibuk, kerja dan kerja, individualistis, egoistis, dan materialistis, itulah semangat hidup yang lahir dari keterjepitan mereka.
Betapa berat beban yang harus ditanggung. Seno mengerti itu. Dia pun kasihan melihat mereka.
Ketika mendengar kabar bahwa Seno datang, saudara-saudari dan bahkan tetangga pun berkerumun ingin bertemu dan lebih-lebih lagi ingin mendapat informasi tentang daerah transmigrasi dari sumber pertama.
Setelah mendengar beberapa hal keadaan di daerah transmigrasi, dan juga melihat sosok si Seno sendiri, ibunya berkata dengan yakin: “Kamu pasti bahagia di sana ya, Nak. Kami menyesal dulu melarangmu dan tidak menurutimu. Kamu menjadi apa di sana, Nak?”
“Jadi ketua koperasi, Bu,” jawab Seno. “Lalu gajimu berapa?” tanya si ibu usil. “Tanpa gaji, Bu. Saya juga mengajar agama di sana,” tambah Seno. “Nah, kalau jadi guru pasti dapat bayaran kan, Nak?” “Ah, ya tidak juga, Bu. Saya menjadi pekerja sosial di sana, juga tidak mendapat bayaran,” jawab Seno bangga.
Saudara-saudarinya heran, bagaimana mungkin tenaga manusia tidak dihargai sama sekali? Kenapa bekerja tidak mendapat bayaran koq malah bangga?
Memang demikianlah situasi daerah Seno, daerah tempat transmigrasi. Suasananya rukun damai, tolong menolong, dengan rasa sosial yang tinggi.
Berbuat baik itu baik untuk kesehatan fisik, karena bisa mengurangi stres dan meningkatkan kekebalan tubuh. Orang yang rajin berbuat baik tampak riang, ceria dan sehat.
Pernyataan ini bukan keluar dari imam yang kotbah tentang ibadah, melainkan dari psikolog David Mcclelland. Ia menyelidiki kesehatan para pekerja sosial, ternyata mereka lebih baik dibandingkan para pekerja lain pada umumnya.
Bahkan menonton film orang yang berbuat baik pun sudah ada pengaruhnya. David pernah memonitor kesehatan sejumlah orang yang sedang menonton film tentang Ibu Teresa dari India yang menolong kaum penderita papa. Ternyata kadar zat anti bodi para penonton film itu terus bertambah. Dan kesehatan mereka terus meningkat.
Ahli lain, Dr. Jonas juga mengatakan bahwa sikap altruistis atau sikap yang mendahulukan kepentingan orang lain yang membutuhkan pertolongan, sebagai lawan dari sikap egoistis, adalah jawaban yang tepat bagi krisis kesehatan.
Bahkan Dr. Spielberger lebih keras lagi berbicara: “Pikiran yang busuk, agresif, iri hati, marah, dan dendam adalah awal penyebab stres yang berujung pada kematian.
Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati busukkan tulang (Ams 14:30)
(Sumber: Warta KPI TL No. 47/III/2008; Jejak-jejak Kebijaksanaan 2, Andreas Basuki W.)