Laki-laki dari pedalaman berjalan ke kota untuk menjual hasil bumi/emas yang ditemukan. Kira-kira 4-5 meter terkadang ada 2-3 wanita yang mengikuti di belakangnya dengan menggendong anak di depan dan tas nokeng (tas rajutan dari akar pohon), nyunggi ubi dan bekal di atas kepalanya.
Sesudah menjual dagangannya sang lelaki ke restoran dan makan, sementara istri dan anak-anaknya berhenti di pinggir jalan makan ubi.
Di kampung tradisional mereka tinggal secara komunal 10-15 keluarga memiliki rumah daun yang disebut ‘honey’. Laki-laki dan perempuan tidur terpisah.
Rumah untuk laki-laki lebih bagus dan rumah yang panjang untuk wanita, anak-anak, nenek-nenek, ayam/ternak, dapur, gudang kayu bakar – semua jadi satu.
Anak-anak usia 10 tahun ke atas ada di kebun cari ubi dan makan mentah-mentah seolah anak tanpa bapa, karena bapanya berburu bersama para lelaki, cari uang atau minum arak.
Kalau anak perempuan yang besar dipinang harus bayar maksimal 7 ekor babi. Babi-babi yang didapat orang tua hasil pinangan anak perempuannya dipakai bapanya untuk kawin lagi atau dimakan untuk pesta.
Kalau anak laki-laki mau meminang, dia harus mengumpulkan babi sendiri - bapanya tidak akan memberinya. Kenyataannya ... banyak laki-laki muda yang tidak mampu bayar lunas mas kawinnya. Mereka bayar di muka 2 ekor babi dan mulailah hidup bersama dengan istrinya. Kadang mas kawin itu lunas setelah mereka menikah 6-10 tahun dan barulah perkawinan mereka diberkati – kalau babinya belum lunas, gereja tidak berani memberkati perkawinan mereka dan Catatan Sipil pun tidak berani mengeluarkan catatan nikah karena takut disalahkan oleh orang tua si perempuan.
Ini adalah contoh komunitas keluarga yang telah kehilangan norma keluarga dan kehilangan otoritas atas sumber kehidupan.
(Sumber: Warta KPI TL No. 33/I/2007; Renungan KPI TL Tgl 23 November 2006, Dra Yovita Baskoro, MM).