19.46 -
*Sukacita*
Belajar penderitaan dan sukacita yang sempurna
Pada suatu musim dingin Fransiskus Asisi berjalan kembali ke biara Santa Malaikat bersama Bruder Leo dan ia bertanya kepadanya: “Bruder, coba katakan sukacita apa yang paling indah bagi kita saat tiba di biara nanti!”
Jawab
Bruder Leo: “Ya... penjaga pintu menyambut kita dan mengajak kita duduk dekat
perapian untuk memanaskan diri.”
Fransiskus
kecewa dengan jawaban itu: “Bukan jawaban itu yang saya inginkan, coba cari
jawaban yang lain!”
Jawab
Bruder Leo: “Ya... saat yang paling indah Bruder menghidangkan sop hangat bagi
kita.” Tetapi Fransiskus belum puas dengan jawaban itu.
“Demi
Tuhan, Francis, katakan sukacita apa yang sempurna itu?” Jawab Franciskus:
“Sukacita yang sempurna adalah apabila kita tiba di biara dalam keadaan basah
kuyub, beku, kedinginan, berlumuran lumpur serta kelaparan, lalu pada saat kita
menekan bel pintu penjaga membuka jendela kecil sambil berkata: ‘Siapakah
kalian?’
Lalu kami menjawab: ‘Kami saudara-saudaramu’, lalu Bruder berkata: ‘Kalian pembohong/penipu yang selalu menyesatkan orang, pergilah jauh-jauh!’ Dan dia membiarkan kita berdiri di tengah-tengah hujan salju yang dingin dan kelaparan hingga malam tiba.
Sukacitanya adalah kita dapat menahan semua penderitaan dan perlakuan kasar itu dengan sabar tanpa mengomeli penjaga itu dan Tuhan memakai orang itu untuk menguji kita, itu baru sukacita yang sempurna.”
Lalu kami menjawab: ‘Kami saudara-saudaramu’, lalu Bruder berkata: ‘Kalian pembohong/penipu yang selalu menyesatkan orang, pergilah jauh-jauh!’ Dan dia membiarkan kita berdiri di tengah-tengah hujan salju yang dingin dan kelaparan hingga malam tiba.
Sukacitanya adalah kita dapat menahan semua penderitaan dan perlakuan kasar itu dengan sabar tanpa mengomeli penjaga itu dan Tuhan memakai orang itu untuk menguji kita, itu baru sukacita yang sempurna.”
Kemudian
Fransiskus melanjutkan lagi: “Lalu kita mengulangi lagi mengetuk pintu. Penjaganya
datang dan marah-marah sambil memukuli kita dengan tongkat sehingga tubuh kita
penuh luka-luka serta melemparkan kita ke lumpur salju sambil berkata: ‘Pergi
sana ke penampungan orang-orang miskin!’
Bila
kita dapat bertahan terhadap semua tekanan Iblis dengan penuh sukacita dan
kesabaran sambil mengingat bahwa Yesus sendiri juga pernah menderita seperti
itu. Itulah sukacita yang sempurna.
Bruder Leo saudaraku, kemampuan untuk menderita cemohan/penghinaan/kekerasan demi kasih kita kepada Yesus adalah karunia yang luarbiasa yang melampaui semua karunia Roh Kudus yang diberikan kepada teman-teman.”
Bruder Leo saudaraku, kemampuan untuk menderita cemohan/penghinaan/kekerasan demi kasih kita kepada Yesus adalah karunia yang luarbiasa yang melampaui semua karunia Roh Kudus yang diberikan kepada teman-teman.”