04.53 -
Docat
Senin, 27 Juli 2020
04.07 -
*Kebaikan*
Apa arti Allah bagi tindakan kita?
Jika Allah adalah pencipta seluruh semesta, Ia jugalah tolok ukur dari segala sesuatu yang ada. Semua tindakan diukurkan pada Allah dan rencana-Nya. inilah cara bagaimana kita dapat mengetahui perbuatan yang baik.
Singkatnya: Allah menulis DNA kehidupan kita; kita bebas memilih, mengikuti petunjuk, yang Ia jadikan sebagai bagian dari diri kita, sehingga kita memenuhi potensi yang Allah anugerahkan kepada kita.
Apa yang Allah inginkan bagi kita dan atas kita adalah norma dan aturan dari hidup yang baik dan benar. Dengan solidaritas, umat Kristen bertindak karena Allah lebih dulu memperlakukan mereka dengan penuh kasih.
(Sumber: Docat 3 » Kompendium ASG 20, 25, 26; KGK 1694).
04.05 -
*Hidup rohani*
Hidup bersama
Manusia merupakan makhluk hidup yang selalu berinteraksi dengan sesama. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, tetapi sangat membutuhkan peran orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia membentuk pengelompokan sosial di antara sesama dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan. Jadi, manusia tidak pernah bisa hidup seorang diri. Di mana pun dan bila mana pun manusia senantiasa memerlukan kerjasama dengan orang lain.
Dalam kehidupan bersamanya, manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu jaringan interaksi sosial antar sesama untuk menjamin ketertiban sosial. Interaksi-interaksi itulah yang kemudian melahirkan sesuatu yang dinamakan lingkungan hidup seperti keluarga inti, keluarga luas atau kelompok masyarakat. Jadi, manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi untuk kelangsungan hidupnya.
Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Sebab ke sanalah Tuhan memerintahkan berkat kehidupan untuk selama-lamanya (Mzm 133:1, 3b).
Sebagai pasangan muda, saya mempunyai kerinduan untuk mempunyai rumah tangga yang damai dan harmonis. Namun saya tidak tahu caranya untuk mengusahakan hal itu.
Suatu hari saya bertemu dengan seorang ibu (A) di gereja. Karena melihat saya membawa anak, maka A meng-info-kan bahwa ada BIAK di Wilayah, tempat pertemuannya, beda satu gang dari rumah saya. Setelah satu bulan saya tidak menanggapi undangannya, maka setiap pulang dari pertemuan BIAK, A selalu mampir ke rumah saya. Karena sungkan (merasa tidak enak di hati), suatu hari saya membawa anak saya hadir ke pertemuan tersebut. Karena anak saya baru berusia 3 tahun, maka saya menungguinya.
Suatu ketika, salah satu guru pembinanya tidak datang. Lalu saya diminta tolong oleh A untuk menggantikannya, katanya: "Bu, pembina yang membantu saya mendadak sakit perut. Tolong dibantu ya ... untuk bercerita pada anak-anak yang kecil. Hanya 5 menit saja lalu mereka diberi aktifitas."
Awal mulanya saya menolak, akhirnya saya menyetujuinya dan saya bercerita tentang "kelahiran Yesus", meskipun saat itu bukan Hari Raya Natal. Sejak saat itu saya mempersiapkan diri dengan membaca Kitab Suci lagi.
Suatu hari, A mengajak saya untuk mengikuti "Sekolah Bina Iman Anak Katolik" di Keuskupan Surabaya. Ada perkataan pengajar yang sangat berkesan di hati saya, yaitu: "Anda sekalian dipanggil Tuhan untuk membina iman anak. Jika seorang pembina sudah mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Kristus, maka pembina tersebut baru bisa mentransfer perjumpaan Pribadi itu kepada anak-anak yang dipercayakan Tuhan untuk dibina imannya".
Pada saat retret, kami di-ingatkan juga tentang ayat di Matius 18:6, “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Oleh karena itu lebih dari 2 tahun saya belum berani mengajar BIAK karena saya takut salah mengajar.
Dengan berjalannya waktu, Tuhan mempertemukan saya dengan “keluarga kaum beriman”, yaitu KPI TL. Melalui pengajaran-pengajaran di komunitas ini, saya beroleh banyak pengetahuan tentang cara “hidup kudus dan sempurna di hadapan Tuhan” (Visi KPI TL).
Melalui komunitas ini, para anggotanya diajak untuk (1) menjadikan Sabda Allah sebagai pedoman hidup sehari-hari. (2) Mengambil bagian secara aktif dalam hidup menggereja. (3) Membangun kehidupan rohani dan membuka diri untuk dibentuk Tuhan bersama keluarga. (4) Mencintai Yesus yang ada dalam diri sesama (Misi KPI TL).
Melalui berbagai kegiatan rohani (pengajaran di KPI TL dan Kursus Teologi di UKDC, seminar dan rekoleksi), akhirnya saya tahu “ajaran sehat” (1 Tim 6:3 » perkataan sehat, yakni perkataan Tuhan kita Yesus Kristus) dan rahasia rumah tangga damai dan harmonis.
Keluarga bahagia adalah rumah tangga yang dibentuk oleh manusia yang tidak sempurna. Akan tetapi, mereka berjanji akan menyerahkan diri dalam kasih kepada pribadi yang lain yang juga tidak sempurna. Keduanya diikat oleh kasih Tuhan Yesus Kristus. Inilah yang membuat mereka sempurna.
Dengan janji itu kita tidak hanya melihat kekurangan istri atau suami saja. Kita tidak mudah bereaksi terhadap hal-hal negatif dari pasangan hidup kita. Dalam pernikahan pasti ada hal yang kurang sempurna. Akan tetapi, justru dari kekurangan dan ketidaksempurnaan itulah terdapat saling menerima dan melengkapi untuk menyusun rumah tangga bahagia. Menyusun keluarga yang harmonis dan bahagia bukan perkara yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan.
Hubungan suami istri yang sesuai dengan rencana Allah adalah hubungan yang sampai kepada persatuan rohani di dalam Tuhan. Dengan kata lain, tanpa hubungan persatuan rohani, hubungan suami-istri tidak akan sampai pada kepenuhannya, sehingga mudah tergoyahkan.
Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang hidup dalam Roh (berpusat pada Kristus; fokus perhatiannya pada doa, firman dan sakramen) sehingga menghasilkan buah Roh (KGK 1832: 1. Kasih 2. Sukacita 3. Damai sejahtera 4. Kesabaran 5. Kemurahan 6. Kebaikan 7. Kesetiaan 8. Kelemahlembutan 9. Penguasaan diri 10. Kerendahan hati 11. Kesederhanaan 12. Kemurnian). Perkawinan sebagai sakramen adalah tanda kehadiran Tuhan.
Jika Tuhan Yesus menjadi pusat dalam hubungan suami dan istri, maka mereka akan menempatkan kehendak-Nya di atas kehendak mereka sendiri, saling menghargai dan menghormati sehingga mereka memancarkan iman yang hidup dalam perbuatan kasih, baik kepada pasangan mereka maupun kepada anak- anak mereka. Kasih tidak sama dengan perasaan. Kasih itu bukanlah perasaan tapi tindakan dan suatu komitmen untuk tetap mengasihi sampai akhir.
Kasih itu sifatnya memancar keluar, kasih itu memberi, dan menginginkan yang terbaik bagi orang yang dikasihi. Inilah prinsip kasih yang diajarkan oleh Tuhan. Dengan kasih semacam inilah kita seharusnya mengasihi Tuhan dan sesama kita, terutama anggota keluarga kita yang paling kecil dan lemah.
Di dalam Kristuslah, “pasangan suami istri dikuatkan untuk memikul salib dan mengikuti Dia, untuk kembali bangun jika mereka jatuh, untuk saling mengampuni, untuk saling menanggung beban (Gal 6:2), dan untuk saling merendahkan diri seorang kepada yang lain demi penghormatan mereka kepada Kristus (Ef 5:21) dan saling mengasihi dalam cinta yang mesra, subur dan adikodrati.
Dengan kasih (1 Kor 13: 4-7), kita dapat selalu menemukan kebaikan di dalam diri pasangan kita, dan membangun rasa saling pengertian dengannya, sehingga kita tidak mudah konflik ketika ada masalah dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, kita harus menempatkan Kristus sebagai pusat kehidupan kita, kita harus berjalan bersama-Nya dan berada di jalur-Nya, kita harus berusaha memandang pasangan kita dengan cara pandang Kristus, yaitu dengan kasih. Jadi, tujuan perkawinan bukanlah berpikiran sama, tetapi berpikir bersama.
Pasangan yang tepat adalah yang dapat melengkapi kekurangan kita, bukan yang sama seperti kita. Meskipun kita telah kawin dengan orang yang benar (tepat), tetapi kalau kita memperlakukan pasangan kita secara keliru, maka akhirnya akan mendapatkan pasangan yang keliru. Jadi, tidak cukup hanya kawin dengan orang yang tepat, tetapi jadilah pasangan yang tepat, yang memperlakukan pasangan kita dengan tepat pula.
Kasih itu ramah. Kasih itu tidak suka membuat orang lain menderita. Kasih itu tidak berlaku kasar dalam kata-kata dan tindakan. Untuk pertemuan yang penuh kasih dibutuhkan “tatapan penuh kasih”, yang berarti tidak banyak memikirkan keterbatasan orang lain. Jadi, orang yang mengasihi mampu mengucapkan kata yang menyemangati, yang menghibur, yang menguatkan (Mat 15:28; Luk 7:50; Mat 14:27).
Kasih itu tanpa kemarahan. Ketika seseorang marah, sesungguhnya batinnya dijerat dan dikuasai oleh Iblis (2 Tim 2:26). Reaksi yang benar adalah memberkati dengan cara mengampuninya karena dia tidak tahu apa yang diperbuatnya (1 Ptr 3:9; Luk 23:34). Oleh karena itu belajarlah terbuka satu sama lain sehingga tidak gagal paham dalam menghadapi suatu masalah.
Kasih itu menutupi segala sesuatu. Kasih itu bersikap diam “terhadap keburukan yang mungkin ada pada orang lain”. Keluarga tidak ada sempurna. Ketidak sempurnaan pasangan untuk menguduskan hidup kita (1 Kor 7:14).
Oleh karena itu, janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat (Ibr 10:25).
(Sumber: Renungan KPI TL-ONLINE Tgl 25 Juni 2020, Ibu Vira).
04.02 -
*Pikiran*
Berpikir positif dan kritis
Sejak adanya Covid-19, kata “positif” yang biasanya kita anggap baik menjadi kata yang sangat menakutkan. Hal ini terjadi karena kita sering mendengar kabar buruk tentang Covid-19 melalui media WA, Televisi atau Radio. Info ini masuk ke dalam “alam bawah sadar” dan mempengaruhi pikiran dan perasaan kita sehingga ada perasaan trauma dalam jiwa kita ketika kita mendengar kata tersebut.
Manusia memiliki pikiran yang dahsyat, yang dapat mempengaruhi tubuhnya dan semua tindakan yang dilakukan. Menurut penelitian, setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan dengan pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Dari pikiran, timbul keinginan manusiawi kita.
Pernah dilakukan suatu penelitian berulang-ulang tentang pengaruh kata-kata terhadap manusia, dan hasilnya selalu sama. Peneliti hanya ingin mengamati reaksi peserta, tidak dibahas hasil testnya.
Di dalam kelas dibagi menjadi 2 grup. Kedua grup itu diminta untuk mengerjakan soal-soal multiple choice (pilihan ganda). Grup 1, soal-soalnya dipenuhi dengan kata-kata tentang “growing old” (menjadi tua). Grup 2, soal-soalnya dipenuhi dengan kata-kata tentang being young (menjadi muda).
Setelah peserta test menyelesaikan soal-soalnya, grup 1 berjalan pelan-pelan menuju lift untuk pulang. Sedangkan grup 2 berjalan lebih cepat, penuh semangat menuju lift untuk pulang.
Pikiran bawah sadar kita dipengaruhi oleh kata-kata yang masuk. Oleh karena itu kita harus lebih selektif terhadap setiap kata yang kita dengar. Kata-kata itu masuk ke dalam alam bawah sadar melalui 3 sumber:
1. Media (KBBI: alat, sarana)
Apa yang kita baca atau apa yang kita tonton (buku, WA, Line, website, twitter, youtube, dll.) akan masuk ke dalam alam bawah sadar. Oleh karena itu kita harus mem-filter apa yang kita baca atau tonton. Jadi, carilah hal-hal yang menginspirasi dan memberi kebaikan pada jiwa kita.
Iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman kristus (Rm 10:17). Kalau kita setiap hari mengawali hidup kita dengan membaca Alkitab atau mendengarkan firman Tuhan dari Alkitab Karaoke maka firman tersebut akan membimbing kita setiap saat sehingga kita tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dengarkan atau nyanyikan lagu-lagu rohani juga, bukankah “bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali”?
2. Meeting (Bahasa Inggris: pertemuan)
Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik (1 Kor 15:33). Nasehat ini menandakan betapa besarnya pengaruh pergaulan, baik secara positif maupun negatif. Jadi, kita harus selektif dalam memilih dengan siapa kita berteman atau bergaul (Ams 22:24-25 » Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan seorang pemarah, supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan memasang jerat bagi dirimu sendiri). Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka (2 Kor 6:17).
Jadi, janganlah memilih teman yang perkataan dan perbuatannya tidak rohani dan cenderung membawa kita semakin jauh dari Tuhan. Karena semakin kita bergaul dengan mereka, semakin kita membuka diri terhadap godaan Iblis. Kita akan semakin akrab dengan dosa dan bisa dipastikan dalam waktu singkat kita akan terjerumus ke dalamnya. Oleh karena itu pilihlah teman yang bijaksana (Ams 13:20 » Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang).
3. Mind (Bahasa Inggris: pikiran)
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberi karunia dan kemampuan untuk berpikir. Pikiran merupakan titik tumpu antara suatu kehidupan rohani yang positif dengan suatu kehidupan duniawi yang negatif. Kedua pilihan ini senantiasa ada dihadapan kita dan kita harus menentukan pilihan.
Jadi, pikiran adalah arena menuju sukses, sekaligus ladang yang akan menghasilkan kegagalan dan kekalahan. Di sinilah peperangan berlangsung. Kekuatan pikiran bawah sadar manusia lebih besar dari kekuatan pikiran sadarnya. Sayang, banyak manusia yang gagal menguasai pikirannya.
Jika kita mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang kedagingan, kita pasti akan jatuh ke dalam dosa. Setan mengerti hal ini, itulah sebabnya ia bekerja keras untuk mengisi pikiran kita dengan pikiran-pikiran negatif dan ia memasukkan beberapa pikiran yang janggal dalam benak kita.
Sebagai pengikut Kristus, kita diberikan pikiran Kristus. Artinya, kita dapat memikirkan hal-hal spiritual karena Kristus hidup di dalam kita. Kita tidak lagi berpikir seperti cara kita dulu. Kita mulai berpikir seperti Dia. Ketika kita menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Kor 10:5), maka semuanya tidak lagi berpusat pada ‘aku’, tapi pada Tuhan sehingga kita dapat mengenal dengan jelas kehendak Allah dan menemukan jalan-Nya. Oleh karena itu janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm 12:2). Jadi, pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi (Kol 3:2).
Ketika kita memiliki pikiran-Nya, kita bisa mengucap syukur dalam segala hal (1 Tes 5:18) dan bisa juga berpikir positif (Flp 4:8 » semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu). Bahkan kita akan tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm 8:28).
Ada seorang ibu selalu optimis, selalu penuh syukur karena dia tahu bahwa dibalik sebuah masalah ada berkat yang menantinya. Jadi, dia tidak pernah mengeluh ketika pencobaan datang, dia memutuskan untuk selalu berpikir positif.
Suatu hari dia masuk kantor dan berkata: “Puji tuhan, saya terjebak kemacetan 3 jam.” Semua orang di ruangan itu memandangnya dengan heran. Ibu itu melanjutkan perkataannya: “Karena selama 3 jam itu saya punya kesempatan untuk mendoakan begitu banyak orang.” Ketika kami mendengar perkataannya, kami merasa heran. Ada yang berkata: “Ibu itu memang bukan level kebanyakan orang pada umumnya, seperti orang dari planet lain.”
Di lain waktu dia masuk kantor dan berkata: “Mobil kami mogok lagi pagi ini. Jadi, suami saya membutuhkan waktu 1 jam untuk membongkar mesin. Puji Tuhan, mogoknya di rumah. Andaikata kami sudah berangkat dan mogok di tengah jalan, kami bisa mengalami kecelakaan. Mungkin Tuhan membuat kami terlambat supaya kami selamat.”
Sejak adanya Covid-19, ketika kita mendengar kata “carrier” (Bahasa Inggris: pembawa, penyebar), kita sudah was-was, takut ketularan. Sebagai seorang beriman, kita juga carrier. Maksudnya, menjadi pembawa kabar sukacita. Bukankah identitas kita adalah garam dan terang dunia (Mat 5:13-16). Jadi, kehidupan orang percaya adalah kehidupan yang mempengaruhi dunia.
Ketika orang percaya dianalogikan dengan garam maka hal yang akan ditekankan adalah fungsi pengaruh terhadap lingkungan di mana ia berada. Garam harus mempengaruhi, bukan terpengaruhi. Garam yang terpengaruhi (tercemar) menjadi tawar.
Garam tidak kelihatan saat dia berfungsi dengan baik. Makanan akan terasa enak karena diberi garam, garam memberi rasa tetapi garamnya tidak kelihatan lagi. Demikian pula dengan kehidupan setiap anak Tuhan, perkataan atau perbuatannya dapat berfungsi dengan baik ketika memenuhi kualifikasi tertentu (Kol 3:17; 1 Kor 10:31 » dilakukan untuk kemuliaan Allah).
Orang percaya juga dianalogikan dengan terang. Berbeda dengan garam, terang harus kelihatan. Terang yang sesungguhnya adalah Tuhan Yesus (Yoh 1:9; 8:12 » Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup).
Dahulu kita adalah kegelapan, tetapi sekarang kita adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran (Ef 5:8-9).
Sebenarnya orang percaya tidak memiliki terang dan bukan terang itu, tetapi memancarkan terang Tuhan melalui hidupnya. Seperti bulan tidak memiliki terang sendiri; yang memiliki terang adalah matahari. Tetapi bulan memantulkan terang matahari sehingga bercahaya di tengah kegelapan malam. Hanya melalui satu perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang anak Tuhan, orang yang melihatnya akan mengakui Tuhan baik atau memuji-Nya. Jadi, kita harus menjadi “surat Kristus” , yang dapat dibaca oleh semua orang (2 Kor 3:2-3). Oleh karena itu “terang” bukan untuk dirinya saja tetapi harus berfungsi untuk orang-orang di sekitarnya.
Pada suatu hari ada seorang pemuda yang dengan tulus hatinya datang ke gereja untuk mengikuti ibadah. Ketika itu dia dengan baik mengikuti acara mulai dari bernyanyi, berdoa dan mendengarkan Firman.
Ketika jam kotbah dimulai, ada satu hal yang dia lupa lakukan ketika masuk ke dalam gereja, yaitu mematikan suara smartphone miliknya. Maka pada saat smartphone miliknya berbunyi dengan kerasnya, wajah Pendeta langsung terlihat berbeda dan dengan cara halus dia menyindir. Maka seketika itu mata semua orang tertuju padanya dan dia merasa sangat malu.
Dalam perjalanan pulang, seluruh mata jemaat masih tertuju padanya seakan menghakimi dia atas kesalahan yang tak sengaja dibuatnya. Dan dia merasa sangat tertekan dan merenung sepanjang seharian.
Pada saat malam tiba, untuk menghilangkan penat yang ada dalam hatinya, dia pergi berjalan-jalan keliling kota dan melihat sebuah bar. Didalam ruangan itu dia mulai menikmati suasana keriangan yang terjadi, tetapi pikirannya belum juga terlepas dari peristiwa tadi, yang menghantuinya.
Ketika dia hendak minum, tanpa sengaja dia menjatuhkan gelas minuman tersebut dan menumpahkan isi dari gelasnya. Tiba-tiba datang seorang pelayan mengambil gelas tersebut dan langsung membersihkan isi gelas yang sudah tumpah tadi sambil tersenyum kepada pemuda itu, tidak lama kemudian manager bar yang melihat kejadian itu datang kepadanya dan memeluknya, dan berkata “tidak ada yang perlu dikuatirkan, setiap orang pasti pernah berbuat salah.” Semenjak kejadian itu, dia tidak pernah lagi ke gereja. Dia sudah lebih menikmati kehidupan di bar tersebut.
Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi (Yak 3:9-10).
Jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa (1 Yoh 1:7).
Jadi, jangan pernah kita mengucilkan atau menghakimi seseorang di gereja, oleh karena kita tahu bahwa dia berbuat salah. Sebaliknya kita harus semakin melayani dan berusaha membuat dia nyaman dalam gereja sehingga tujuan kita untuk memuji Tuhan dalam gereja dapat terlaksana dengan baik.
(Sumber: Renungan KPI TL-ONLINE Tgl 18 Juni 2020, Ibu Laksmi).
03.57 -
*Anugerah*
Covid-19: Tulah atau anugerah
Sejak dunia digemparkan dengan merebaknya virus Covid-19, hidup kita tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman, tetapi kegelisahanlah yang timbul (Ayb 3:25-26 » Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku).
Terlebih lagi saat diadakannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar): pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19). Gara-gara PSBB inilah, kegiatan saya lebih banyak berada di dalam rumah.
Awal mulanya ada kekuatiran tidak bisa makan, maka saya ikut arus memborong sembako. Bahkan batin saya memberontak karena ada banyak kegiatan gereja yang sudah dipersiapkan begitu lama harus ditunda, misalnya: komuni pertama dan krisma. Saya merasakan hidup ini benar-benar “lumpuh”, terlebih lagi ketika tidak bisa ke gereja dan menerima komuni secara langsung.
Dengan berjalannya waktu, saya disadarkan bahwa kegelapan yang ada di dalam dunia ini tidak akan dapat menguasai kita (Yoh 1:5). Bahkan saya melihat perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya (Mal 3:18).
Pandemi ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang Tuhan. Di mana Tuhan, mengapa Dia membiarkan semuanya ini terjadi? Apakah Tuhan sedang menghukum kita seperti tulah di Mesir? Sesungguhnya tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi (Pkh 1:9). Hal ini kita bisa pelajari dari tulah di Mesir (Kel 7:14 – 15:21).
Dilihat dari kacamata dunia (refleksi negatif orang tidak beriman; Bil 33:4; Kel 12:12 » Firaun dan orang Mesir): Tuhan menjatuhkan hukuman. Covid-19 dianggap sangat jahat.
Dilihat dari kacamata iman (refleksi positif orang beriman; Kel 13:3 » orang Israel): Tuhan tidak ingin kematian umat-Nya. Jika umat-Nya mau kembali ke jalan yang benar sesuai dengan rancangan-Nya, maka Dia hadir untuk menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan. Jadi, Covid-19 adalah sarana yang dipakai Tuhan untuk mengingatkan kita, untuk selalu berada di dalam terang-Nya, di dalam kasih karunia-Nya.
Bagi kebanyakan orang, Covid-19 adalah suatu penderitaan. Bagi orang yang beriman, Tuhan menggiring umat-Nya kepada pemahaman bahwa “ajaran sehat, yang berkuasa menyelamatkan jiwa” (1 Tim 6:3; Yak 1:21). Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dari pada dia yang percaya, bahwa Yesus adalah Anak Allah? (1 Yoh 5:5). Jadi, jika hidup kita selalu melekat pada Tuhan (Yoh 13:1-8), maka ada anugerah besar, dibalik penderitaan yang diakibatkan oleh Covid-19.
1. Allah Mahahadir (Mat 1:23 » Imanuel = Allah menyertai kita; Mat 28:20 » Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman).
Melalui pandemi ini kita disadarkan bahwa Tuhan hadir secara nyata bagi orang yang sakit melalui para dokter, para medis dan para pekerja sosial. Tuhan hadir juga bagi orang yang mengalami krisis ekonomi melalui sesamanya yang mempunyai kepedulian atau belas kasih (Mat 25:40 » segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
2. Tuhan mengajarkan tahu batas (Pkh 5:9 » Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya; Ams 23:3 » Jangan ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu).
Melalui pandemi ini, saya disadarkan bahwa manusia itu sesungguhnya hanya membutuhkan kebutuhan dasar saja (sandang, pangan dan papan). Tetapi ada banyak manusia yang selalu tergoda dengan dunia seperti Hawa (Kej 3) sehingga mereka mengalami kematian secara rohani.
3. Keluarga Kristen adalah Gereja rumah tangga. Ia adalah persekutuan iman, harapan, dan kasih; seperti yang telah dicantumkan di dalam Perjanjian Baru (Ef 5:21 - 6:4; Kol 3:18-21; 1 Ptr 3:1-7), ia memainkan peranan khusus di dalam Gereja. Hubungan keluarga menghasilkan satu kedekatan timbal balik menyangktut perasaan, kecenderungan, dan minat, terutama kalau anggota-anggotanya saling menghormati. Keluarga adalah satu persekutuan dengan kelebihan-kelebihan khusus: ia dipanggil untuk mewujudkan "komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami isteri, dan kerja sama orang-tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak" (GS 52,1) (KGK 2204, 2206).
Keluarga Kristen adalah persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan anak-anak tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban Kristus (KGK 2205).
Melalui pandemi ini kita disadarkan bahwa selama ini kita “mengkukung Allah” hanya dalam Gereja saja (Yoh 4:23, 21 » saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran bukan di Yerusalem). Jadi, sesungguhnya gereja yang paling mendasar berada di dalam keluarga Kristen.
Kita lupa bahwa Bait Allah adalah Yesus Kristus (Yoh 2:21 » yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri; Yoh 4:25-26 » Mesias disebut juga Kristus).
Bilamanakan keluarga kita disebut sebagai Gereja atau Bait Allah? Jawab Yesus: "Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia (Yoh 14:23); Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah (1 Kor 6:19). Jadi, komunitas dimulai ketika kita membangun mezbah dalam keluarga kita.
Komunitas dimulai dari keluarga inti. Dengan adanya PSBB, kita tidak dapat berjumpa dengan anggota komunitas. Jika selama PSBB ini kita punya kerinduan untuk berjumpa dengan mereka secara langsung, maka kita termasuk orang yang beruntung. Karena kita sudah menghayati apa arti sebuah komunitas.
Tuhan sedang menantikan keputusan kita. Ketika kita memutuskan untuk tetap berada dalam kasih karunia-Nya dengan menjaga sikap hati kita untuk tetap terpaut kepada-Nya, maka Dia akan menyatakan Diri-Nya kepada kita. Roh-Nya akan membawa kita untuk selalu melekat kepada-Nya sampai kedalaman hati-Nya sehingga cara pandang kita diubahkan, dapat melihat segala kondisi yang ada di dalam cara pandang-Nya.
Manifestasi dari kasih karunia-Nya adalah damai sejahtera dan sukacita yang akan selalu memenuhi hidup kita. Dunia tidak dapat menyediakan semuanya itu, karena semua yang ditawarkan dunia adalah semu, tetapi di dalam terang-Nya ada jaminan yang pasti untuk kita mengalami kehidupan seperti yang Tuhan kehendaki. Akhirnya ... kehidupan kita dapat menjadi sebuah kesaksian bagi kemuliaan nama-Nya atas dunia ini.
Karena adanya PSBB, maka Gereja mengadakan berbagai kegiatan melalui online. Misalnya: mengikuti misa melalui Live Streaming, mengikuti adorasi, mengikuti meditasi, mengikuti berbagai pengajaran melalui join meeting zoom, melalui youtube, melalui line (panggilan suara/video).
Ternyata, melalui pandemi ini Gereja Katolik semakin luas dapat mewartakan Kerajaan Allah. Khususnya bagi orang yang lumpuh secara fisik maupun yang lumpuh karena tidak dapat pergi oleh karena berbagai kendala. Misalnya: tidak ada transportasi untuk pergi ke misa atau ke tempat pertemuan. Jadi, bagi orang beriman, pandemi ini adalah suatu anugerah Allah bukan sebuah tulah.
(Sumber: Warta KPI TL No. 183/VII/2020 » Renungan KPI TL-ONLINE Tgl 2 Juli 2020, Ibu Emmy).
03.53 -
*Orang Kudus dan tokoh Alkitab*
Carlo Acutis - Hidup kudus di tengah kehidupan yang hingar bingar
Di zaman modern ini, tampaknya sulit sekali menemukan orang muda Katolik yang menjadi teladan kekudusan bagi sebayanya atau bagi orang-orang yang lebih tua. Kita melihat orang muda Katolik masa kini dilanda arus konsumerisme, hedonisme, relativisme, acuh tak acuh terhadap agamanya. Namun, Carlo Acutis menjadi sebuah sosok yang menarik, seorang muda Katolik yang hidup kudus di tengah kehidupan yang hingar bingar.
Carlo Acutis adalah seorang Milan (Italia) yang lahir di London, Inggris, pada 3 Mei 1991. Ayah dan ibunya tinggal di London pada waktu itu karena tuntutan pekerjaan. 15 hari setelah kelahirannya, pada tanggal 18 Mei 1991, Carlo dibaptis di Gereja Santa Perawan Bunda Dukacita di kota London. Mengenang Sakramen Baptis yang ia terima, Carlo berkata: “Pembaptisan adalah penting karena pembaptisan membawa jiwa-jiwa untuk diselamatkan, untuk kembali kepada kehidupan yang ilahi. Orang-orang tidak menyadari betapa besar makna karunia ini.”
Masa kecil Carlo diisi dengan kasih sayang dan kepedulian dari orang-orang di sekitarnya. Carlo kecil adalah seorang yang ceria, begitu hidup dan lembut. Bila ada teman sekelasnya melakukan sesuatu yang salah, tidak langsung bereaksi secara berlebihan. Dia berkata: “Tuhan tidak akan senang jika saya bereaksi dengan keras.”
Carlo menerima Komuni Kudus pertama pada umur 7 tahun dan sejak saat itu, setiap hari Carlo menghadiri Misa Kudus, Adorasi Ekaristi dan berdoa Rosario. Di samping kehidupan rohani yang begitu intens seperti ini, Carlo juga menjalani kehidupan remaja pada umumnya. Ia belajar, berusaha untuk mendapatkan nilai bagus dan naik kelas, Carlo adalah seorang yang ahli dengan komputer, dia senang membaca buku tentang teknologi informasi dan banyak orang kagum padanya. Carlo adalah seorang jenius di bidang teknologi informasi. Dalam usianya yang masih muda, ia telah memiliki kemampuan untuk memahami rahasia untuk menyembunyikan informasi sehingga hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki hak untuk informasi itu. Carlo memiliki kemampuan pemrograman komputer, penyuntingan film, pembuatan situs, animasi dan sebagainya.
Carlo tidak lupa untuk melayani orang lain dan membantu teman-temannya. Ia juga begitu murah hati kepada orang asing, penyandang cacat, anak-anak dan para pengemis. Luana, nenek Carlo, pernah bercerita tentang Carlo dan seorang pengemis yang tidur di tanah di kebun kota Assisi: “Carlo mengingatkan saya setiap malam untuk menyiapkan makan untuk diberikan kepada pengemis itu, selalu menempatkan sejumlah uang di dekat saya sehingga ketika saya bangun, saya memberikan uang itu kepada pengemis tersebut.”
Carlo juga dikenal sebagai seorang remaja yang peduli terhadap teman-temannya yang diabaikan. Sebuah testimoni menarik dari teman Carlo mengenai Carlo: “Carlo adalah seorang yang ingin berteman dengan siapa saja termasuk dengan teman-teman yang memiliki kesulitan untuk bersosialisasi. Hal ini terjadi kepada sejumlah teman-teman yang lebih muda di kelas kami. Carlo selalu tertarik untuk mencoba berbaur dengan mereka dan membawa mereka menyatu dengan kelas. Carlo pergi menghadiri Misa Kudus beberapa kali seminggu dan ia memiliki iman, percaya pada relasi yang mendalam dengan Tuhan dan berdoa Rosario setiap hari. Setelah kematian Carlo dan saya kembali kepada Gereja, maka kepulangan saya kepada Gereja dapat diyakini sebagai berkat dari perantaraan Carlo.”
Pada suatu waktu, Carlo memilih untuk berziarah ke Assisi daripada ke tempat liburan biasa. Assisi bagi Carlo adalah sebuah tempat di mana ia merasa paling bahagia. Carlo sendiri sangat mengagumi Santo Fransiskus Assisi terutama kerendahan hati yang begitu besar dari Sang Santo.
Carlo Acutis sangat tertarik pada konsep Santo Yohanes Paulus II tentang pentingnya penggunaan komputer dan internet untuk evangelisasi. Hal yang sama juga ditekankan oleh Paus Benediktus XVI pada masa sekarang. Carlo Acutis membuat sebuah situs carloacutis.com tempat dia berbagi tentang iman Katolik. Situs itu dalam bahasa Italia, masih dapat diakses hingga sekarang dan dikelola oleh mereka yang ingin tetap menyampaikan pesan-pesan dari Carlo.
Satu tema penting yang Carlo bagikan dalam situsnya adalah tentang Ekaristi. Carlo menggambarkan perjumpaannya dengan Allah dalam Ekaristi: “Ekaristi adalah sungguh-sungguh kehadiran Yesus di dunia sama seperti pada zaman Para Rasul di mana mereka dapat melihat Yesus berjalan di Yerusalem.”
Dalam situsnya, Carlo memberikan sebuah pernyataan inti yang jelas tentang Ekaristi: “Eucaristia, La mia autostrada per il Cielo.” (Ekaristi adalah jalan tol saya ke surga). Hal ini seperti menggemakan kembali pernyataan Paus Santo Pius X: “Komuni Kudus adalah jalan tercepat ke surga.” Pada situsnya tersebut, Carlo juga membagikan informasi-informasi tentang mujizat Ekaristi, mujizat untuk meneguhkan keyakinan kita akan kehadiran Yesus secara nyata dalam Sakramen Ekaristi.
Dalam situsnya juga, Carlo membagikan poin-poin penting untuk menuju kepada kekudusan:
1. Engkau harus mengingini kekudusan dengan sepenuh hatimu dan bila keinginan tersebut tidak muncul dari hatimu, engkau harus memintanya dengan teguh kepada Tuhan.
2. Hadirilah Misa Kudus dan terimalah Komuni Kudus setiap hari.
3. Ingatlah untuk berdoa Rosario setiap hari.
4. Bacalah setiap hari satu perikop dari Kitab Suci.
5. Bila engkau dapat meluangkan waktu untuk Adorasi Ekaristi di depan altar di mana Yesus sungguh hadir, engkau akan melihat betapa mengagumnya kekudusanmu tumbuh.
6. Pergilah untuk mengaku dosa setiap minggu, bahkan untuk dosa-dosa yang remeh.
7. Mintalah malaikat pelindungmu untuk membantumu terus-menerus, dan malaikat pelindung menjadi teman terbaikmu.
Carlo juga memiliki ketertarikan akan kehidupan Para Orang Kudus. Ia membuat sebuah tulisan panjang di situsnya dengan judul “Teman-teman saya dari surga”, yang berisi panduan-panduan hidup dari Para Santo-Santa, Beato-Beata, Para Venerabilis dan Hamba Allah. Carlo sendiri memiliki devosi yang mendalam kepada Bunda Maria, terutama Bunda Maria dari Pompeii. Carlo seringkali pergi bersama orangtuanya untuk berdoa meminta intensesi kepada Bunda Maria dari Pompeii dan sekaligus memperbaharui hidup baktinya kepada Maria. Dan sebagaimana sudah disebutkan di atas, Carlo berdoa Rosario setiap hari.
Tidak ada yang menduga bahwa Carlo yang bersemangat dan penuh energi dipanggil Tuhan begitu cepat. Suatu hari Carlo jatuh sakit. Ia dibawa ke rumah sakit dan dideteksi mengidap penyakit Leukemia tipe M3 (Leukemi Akut). Menjelang kematiannya, orang tua Carlo mendengar Carlo berkata: “Saya mempersembahkan seluruh penderitaan saya untuk Tuhan, Paus dan Gereja.” Ketika dokter yang menanganinya bertanya apakah ia begitu menderita, Carlo menjawab: “Ada orang yang menderita lebih banyak daripada saya.” Carlo meninggal pada tanggal 12 Oktober 2006, pada saat berusia 15 tahun.
Carlo Acutis terlihat seperti St. Dominikus Savio di era modern. St. Dominikus Savio adalah seorang remaja yang berusaha menjaga kekudusannya sejak menerima Sakramen Baptis. Ia lahir pada 2 April 1842 dan meninggal pada tanggal 9 Maret 1857 pada usia menjelang 14 tahun.
St. Dominikus Savio pernah membuat janji-janji:
1. Saya akan menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi sesering mungkin.
2. Saya akan berusaha memberikan hari Minggu serta hari-hari libur sepenuhnya untuk Tuhan.
3. Sahabat terbaikku ialah Yesus dan Maria.
4. Lebih baik mati daripada berbuat dosa. Janji ini menjadi moto Dominikus sepanjang hidupnya. Beberapa kali ia memohon pada Tuhan untuk mengijinkannya meninggal sebelum ia sempat menyakiti Tuhan dengan melakukan dosa berat.
Venerabilis Carlo Acutis, seorang “programmer” remaja Italia yang meninggal pada tahun 2006, akan dibeatifikasi pada tanggal 10 Oktober 2020. Kabar ini pun disambut gembira oleh Uskup Agung Asisi, Mgr. Domenico Sorrentino. “Akhirnya telah tiba tanggal membahagiakan ini,” ungkapnya melansir CNA, 13/6. Beatifikasi akan berlangsung di Assisi pada pukul 04.00 sore di Basilika Santo Fransiskus. Perayaan ini akan dipimpin oleh Prefek Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Becciu.
Sabtu, 18 Juli 2020
08.49 -
*K Hidup rohani*
Tuhan sudah merencanakan seluruh perjalanan hidupku
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepada-Mu. Pikullah kuk yang kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapatkan ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Matius 11:28-30).
Ketika melihat kembali ke masa kecil, saya menyadari betapa ada beberapa periode di masa kecil saya yang kurang kasih dalam keluarga. Saya hidup dalam pola asuh otoriter, dimana orang tua tidak memberikan ruang diskusi yang cukup pada anak. Saudara-saudara dan saya harus patuh, dan konsekuensi jika melanggar adalah hukuman yang ditentukan bahkan sampai pukulan. Jadi sedari kecil saya sudah terbiasa menerima persetujuan atau larangan, tanpa ada penjelasan mengapa hal itu boleh atau tidak boleh dilakukan.
Ada suatu contoh konkrit yang masih saya ingat, ketika ayah saya melihat rambut saya dipotong pendek dan beliau sangat tidak suka, bahkan beliau mendiamkan saya selama berhari-hari. Saya dibiarkan kebingungan mengapa ayah saya tidak mau berbicara kepada saya. Hingga beberapa tahun kemudian saya mulai memahami tindakannya, beliau sangat takut jika anak perempuan nya akan bersikap kelaki-lakian jika rambutnya dipotong pendek. Dan hal sederhana seperti ini harus saya yang menyimpulkan, karena tidak ada diskusi yang menjelaskan segala sikap dari orang tua saya.
Dan masa remaja saya, saya selalu merasa di “anak tiri-kan” karena tidak ada penjelasan yang bisa saya terima mengapa ibu saya selalu membela kakak laki-laki saya meskipun sikapnya salah, ataupun ketika ibu saya membela adik saya jika berbuat kasar dan terus mengingatkan saya jika adik adalah anak yang membawa keberuntungan dalam kepercayaan orang tua.
Dalam keluarga tidak ada sikap yang terbuka atau diskusi yang netral, banyak sekali pertanyaan dalam hidup saya yang tidak terjawab. Oleh sebab itu semasa masa SMP, saya memberontak dengan cara mengikuti banyak kegiatan di sekolah supaya tidak perlu pulang ke rumah tepat waktu. Saya mengikuti berbagai kegiatan seperti OSIS, koor untuk pelayanan di gereja, atau tim inti regu voli sekolah yang memakan waktu latihan cukup banyak. Dan dengan semua kegiatan ini, semua emosi negatif dan tenaga saya bisa tersalurkan dengan sebebas-bebasnya.
Maju beberapa tahun kemudian, masa dimana saya kuliah kebetulan ibu saya menghendaki saya kuliah di suatu jurusan idamannya. Dan universitasnya pun sudah ditentukan harus yang di dekat rumah saya. Namun saya merasa itu bukanlah jurusan yang saya inginkan dan kebetulan juga jurusan yang saya inginkan tidak ada di universitas yang disarankan ibu saya. Dan saya pun mendapatkan suatu bentuk “hukuman” yaitu tidak boleh menggunakan fasilitas transportasi yang disediakan orang tua. Jadi saya selama beberapa tahun awal masa kuliah saya harus naik transportasi umum yang beberapa kali berganti (dari keluar gang berjalan kaki, naik bemo, lalu mengejar bus umum).
Efek negatif dari pola asuh ini menjadikan saya seorang yang mandiri dan tomboy. Dari kecil memang saya suka memanjat pagar, memanjat pohon di depan rumah atau kalau sedang di rumah kakek, bisa saya panjat juga pohon kelapa di halaman rumahnya. Untuk bermain ke rumah sahabat saja saya lebih memilih untuk memanjat tembok samping rumah, hingga pada suatu hari ayah saya tanpa berkata apa-apa atau tanpa memberi peringatan langsung memasang teralis penghalang hingga tidak bisa saya lewati lagi.
Namun, puji Tuhan dengan segala karakter tomboy dan kemandirian saya, semua ini menjadi keuntungan besar untuk saya selama masa kuliah yang harus menggunakan transportasi umum. Dengan gaya tomboy dan wajah yang tidak begitu ramah membuat saya bisa lebih menjaga diri dengan baik ketika ada preman atau pengamen kasar di bus umum yang memiliki niat tidak baik pada penumpang.
Semakin dewasa saya tumbuh dengan karakter yang keras, mudah marah dan mudah sekali menangis ke arah frustasi karena saya tidak bisa menyalurkan perasaan seperti orang kebanyakan.
Sedari dulu karena hal ini saya selalu bercerita kepada Bunda Maria. Kebetulan dulu sekolah saya berdempetan dengan komplek gereja. Dan setiap curhat ada rasa kelegaan yang bisa menenangkan jiwa saya. Tuhan seakan selalu mendengarkan dan memberi petunjuk untuk semua keputusan yang saya tanyakan. Dan salah satunya adalah mengenai jodoh. Saya selalu rutin berdoa Rosario semenjak saya mendapatkan suatu Rosario skapulir oleh-oleh dari Korea Selatan pemberian boss saya.
Dan ketika saya bertanya apakah ada seseorang di luar sana yang bisa memahami saya? Lalu suatu hari Tuhan jawab dengan mengirimkan seorang laki-laki yang berbeda dari kebanyakan teman laki-laki saya. Suami saya dulu pertama kali mengajak “date” bukan ke restoran atau cafe tetapi ke acara adorasi bersama Rm. Yohanes, O Carm.
Singkat cerita setelah 4 tahun pacaran, kami menikah dan selama awal pernikahan kami mengalami pasang surut hubungan sebagai pasangan. Bertahun-tahun kami mengandalkan kekuatan manusia, tidak mengikuti ajaran Tuhan Yesus untuk saling mengasihi. Pertengkaran demi pertengkaran kami lalui hingga suatu saat keadaan rumah tangga kami hampir renggang. Hal itu terjadi karena saya keras kepala dan suami tidak sabar menghadapi saya .
Akhir tahun 2016 suami saya mengikuti Camp Pria Sejati (PRISKAT) dan saya pun mengikuti Camp Wanita Berhikmat Katolik (WABERKAT). Puji Tuhan, kami dipulihkan dan saya mulai melihat begitu banyak sisi pandang lain yang dulunya dengan keras kepala saya tolak untuk melihat.
Berkat pengajaran di Camp kami disadarkan akan peran kami masing-masing agar kehidupan keluarga kami bisa lebih harmonis dan bahagia. Selain itu saya juga melihat Tuhan membentuk saya dengan cara-Nya yang misterius. Dia membentuk saya menjadi pribadi yang terus berharap dan mengandalkan kekuatan-Nya sejak saya kecil hingga saat ini. Sejak saat itu, saya merindukan menjadi "anak terang".
Dengan berjalannya waktu saya semakin mengerti arti cinta kasih yang saya rasa hilang dari orang tua tidaklah benar-benar hilang. Dulu, saya memang tidak di-didik dengan bahasa kasih melalui sentuhan atau pelukan. Sekarang, Tuhan memperlihatkan pada saya bahwa orang tua saya telah melakukan segala hal untuk saya dengan bahasa kasih melalui hadiah dan melayani. Setelah mengerti hal ini, maka saya sungguh berterima kasih atas segala pengorbanan mereka.
Oleh karena itu, saya mendekatkan anak-anak kepada Tuhan, mengajari mereka untuk saling terbuka dan membantu sebisanya jika ada salah satu dari mereka mengalami kesulitan atau menghadapi masalah. Kami sekeluarga mulai belajar saling mendengarkan, saling mendukung dan saling menyayangi satu sama lain.
Ketika saya letih lesu dan berbeban berat, saya percaya Tuhan akan memberikan kelegaan kepada saya. Dan ketika Dia mengatakan “pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” dan saya memegang janji-Nya ketika mengatakan: “jiwamu akan mendapatkan ketenangan”. Sebab ternyata benar saya bisa rasakan kuk yang dipasang itu enak dan bebannya pun ringan.”
Akhir tahun 2016 suami saya mengikuti Camp Pria Sejati (PRISKAT) dan saya pun mengikuti Camp Wanita Berhikmat Katolik (WABERKAT). Puji Tuhan, kami dipulihkan dan saya mulai melihat begitu banyak sisi pandang lain yang dulunya dengan keras kepala saya tolak untuk melihat.
Berkat pengajaran di Camp kami disadarkan akan peran kami masing-masing agar kehidupan keluarga kami bisa lebih harmonis dan bahagia. Selain itu saya juga melihat Tuhan membentuk saya dengan cara-Nya yang misterius. Dia membentuk saya menjadi pribadi yang terus berharap dan mengandalkan kekuatan-Nya sejak saya kecil hingga saat ini. Sejak saat itu, saya merindukan menjadi "anak terang".
Oleh karena itu, saya mendekatkan anak-anak kepada Tuhan, mengajari mereka untuk saling terbuka dan membantu sebisanya jika ada salah satu dari mereka mengalami kesulitan atau menghadapi masalah. Kami sekeluarga mulai belajar saling mendengarkan, saling mendukung dan saling menyayangi satu sama lain.
Ketika saya letih lesu dan berbeban berat, saya percaya Tuhan akan memberikan kelegaan kepada saya. Dan ketika Dia mengatakan “pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” dan saya memegang janji-Nya ketika mengatakan: “jiwamu akan mendapatkan ketenangan”. Sebab ternyata benar saya bisa rasakan kuk yang dipasang itu enak dan bebannya pun ringan.”
Langganan:
Postingan (Atom)