Pages

Jumat, 05 Juli 2019

Akibat ambisi orang tua



"Ma, aku ke surga dulu, terlalu lelah di sini!” Detik selanjutnya ia pun “terjun bebas” dari lantai 21! Penyebab dia nekat bunuh diri adalah …

Hati ibu Shu-shu ini sepenuhnya hancur sambil memeluk tubuh putrinya yang telah dingin membeku.

Sang ibu menyekolahkan putrinya yang “bodoh” ke universitas bergengsi di seluruh negeri, kemudian memasukkannya ke firma hukum terkenal di Dalian.

Betapa besar pengorbanan seorang ibu untuk putrinya ini! Namun, baru satu tahun lulus, sang putri membalas jasa ibunya dengan cara seperti ini, menyedihkan!

Anak-anak adalah harapan kedua orang tua. Tak dipungkiri orang tua memang punya banyak harapan dan berharap anaknya menjadi sesosok orang yang sukses suatu hari nanti.

Siapa sangka, kalau ada sedikit saja kesalahan di tengah-tengah ini, maka akan terjadi hal yang menyedihkan seperti kisah nyata berikut ini.

Ibu bernama Liu Yu yang telah menginjak usia 50 tahun ini adalah lulusan full-time undergraduate yang bisa dihitung dengan jari diantara teman-teman seusianya ketika itu.

Setelah lulus, Liu mengabdikan dirinya menjadi pendidik di sekolah. Karena sangat menonjol, ia selalu mendapatkan posisi yang bagus sepanjang kariernya.

Di usianya yang ke 35 tahun, ia telah menjadi wakil kepala Department of Business Administration di Dalian University, Tiongkok, adalah seorang profesor dan staf menengah termuda di universitas tersebut ketika itu.

Sementara suaminya adalah seorang pegawai negeri yang punya kedudukan tinggi. Keberhasilan dari pasangan ini membuat banyak orang yang iri hati.

Pada tahun 1984, Liu Yu melahirkan seorang anak perempuan dan diberi nama Shu-shu. Dia berkata kepada suaminya, anak kita harus lebih menonjol dibanding anak keluarga lain.

Namun, kondisi putrinya membuat ibu Liu tercengang: 1 tahun 7 bulan, saat anak lainnya sudah bisa berlari kesana kemari, Shu-shu bahkan belum bisa berjalan dengan lancar. Selain itu, perkembangan kemampuan berbicara Shu-shu juga lambat, ketika anak lainnya sudah mulai bisa memanggil “tante”, “nenek” dan sebagainya. Shu-shu bahkan masih sulit mengucapkan kata papa dan mama. Kondisi putrinya ini tentu saja membuat ibu Liu merasa sangat kecewa.

Hal yang membuat ibu Liu semakin kecewa adalah ketika Shu-shu masuk sekolah dasar. Shu-shu selalu mendapatkan nilai nol setiap kali ujian, bahkan untuk soal yang terhitung mudahpun, ia tidak mengerti.

Agar bisa membuat putrinya pintar, ibu Liu kemudian memaksa putrinya minum berbagai suplemen setiap hari. Bukan hanya nilai Shu-shu tidak bertambah baik, Shu-shu justru tumbuh dewasa lebih cepat, baru SD sudah menstruasi. Setelah temannya yang menjadi dokter menyarankan, sang ibu baru menghentikan “program menguatkan otak” untuk anaknya. Tapi hal itu tidak membuat ibu Liu menyerah untuk menciptakan “program unggulan” bagi anaknya.

Ia mengatur waktu belajar Shu-shu dengan padat, dan mencari berbagai guru privat yang ahli untuk membimbing Shu-shu. Hasil bimbingan ternyata tidak mengecewakan, Shu-shu berhasil mendapatkan juara pertama di kelas 5 SD untuk pertama kalinya.

Liu tentu merasa sangat senang dan mulai meminta Shu-shu untuk ikut pertandingan cerdas cermat nasional. Sayangnya sekali lagi Liu dikecewakan oleh hasil anaknya. Ia tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan, sementara lawannya sudah tahu jawabannya.

Shu-shu belakangan menuliskan dalam buku diarinya, Shu-shu kesal bukan main begitu terbayang dengan hal itu :

“Responku memang lambat, aku selalu jadi yang terakhir dalam setiap kegiatan. Tapi, mama tidak mau mengakui kelemahanku ini, dia selalu merasa dia dan papa adalah orang yang hebat, sehingga mereka berpikir, dengan turunan genetik yang sama, mana mungkin tidak pintar? Jadi, punya orang tua yang hebat tidak selalu bagus, aku tidak bahagia, mereka juga hidup tersiksa karena diriku”.

Pada musim panas tahun 1997, Shu-shu akhirnya sekolah di SMP. Ibunya menguras habis tabungannya, mencari lagi seorang guru yang hebat untuk les Shu-shu di malam hari. Shu-shu ditempa untuk menjadi anak yang selalu lebih unggul dari yang lainnya.

Ibunya juga puas akan nilai yang dicapai Shu-shu dan berkata, “Kepintaran kamu itu adalah hasil galian yang mama paksakan.”

Pada tahun 2000, Shu-shu masuk SMA ternama, tapi di ujian pertama kali, ia ternyata tidak lulus di banyak mata pelajaran.

Karena masalah tersebut, wali kelas Shu-shu memanggil ibunya untuk bicara, ia curiga Shu-shu sebelumnya sudah mendapat bocoran sehingga bisa diterima di SMA tersebut.

Hal ini membuat ibu Shu-shu marah lalu berkata, “Saya bisa menggugatmu atas fitnahan ini!” Kemudian Liu membawa hal ini ke kepala sekolah, sehingga wali kelas tersebut akhirnya meminta maaf. Ia juga meminta supaya Shu-shu dipindah ke kelas terbaik di SMA tersebut agar tidak lagi diajar oleh wali kelas tersebut.

Tapi Shu-shu yang memang pada dasarnya tidak bisa mengikuti pelajaran berkata mau keluar sekolah satu minggu kemudian.

Shu-shu yang selalu menurut apa kata mamanya, berkata pada mamanya : “Saya mau pindah sekolah.” Ibunya seketika melotot mendengar keinginan putrinya. Tapi Shu-shu ngotot ingin pindah sekolah. “Saya sama sekali tidak paham dengan penjelasan guru. Bagi saya, mata pelajaran SMA itu sangat sulit.

Saya ingin pindah sekolah kesusteran dan bekerja di rumah jompo,” kata Shu-shu yang hampir membuat mamanya tersedak mendengarnya.

Ibunya marah besar karena hal ini, walaupun suaminya sudah membujuknya untuk menghormati keputusan Shu-shu, tapi reaksi ibu Liu sangat keras dan malah berkata, “Banyak anak yang lebih buruk dari Shu-shu bisa kuliah, atas dasar apa dia tidak bisa? Hei Liang Jun (Suami ibu Lu), kamu dengar baik-baik ya, kecuali besok aku mati, kalo tidak, aku pasti akan memasukkan Shu-shu ke universitas bergengsi!” Liu mulai turun tangan mengajar anaknya.

Tahun 2003, Shu-shu akhirnya masuk fakultas ekonomi sebuah universitas ternama. Liu menangis begitu menerima lembar penerimaan dari universitas.

Sementara Liang Jun, suaminya sangat bersukur atas upaya keras istrinya: “Kalau bukan karena kamu, Shu-shu pasti tidak ada harapan lagi.”

Di semester pertamanya, Shu-shu adalah mahasiswi satu-satunya yang mata kuliahnya paling banyak gagal. Shu-shu akhirnya harus diam di rumah dan belajar.

Shu-shu menuliskan dalam diarinya, “Mama yang pintar melahirkan anak yang tidak pintar, tapi tidak mau menerima kenyataan. KasihanAnak yang tidak pandai memiliki seorang ibu yang pintar, dan anaknya dipaksa harus pintar, menyedihkan”.

Dengan usaha keras akhirnya Shu-shu menamatkan kuliahnya. Di hari terakhir kuliah dia menyampaikan kesan-kesan kuliahnya, “Lulus, semua orang senang akhirnya terjun ke masyarakat, dan berdikari, tapi yang paling menggembirakanku adalah aku tidak perlu belajar lagi. Lelah rasanya 16 tahun perjalanan di sekolah, dan saking lelahnya sampai-sampai membuatku berulang kali tidak mau hidup lagi.”

Ibunya tidak berhenti sampai disitu, ia berusaha memasukkan anaknya ke sebuah kantor pengacara. Shu-shu memiliki atasan yang sangat ketat. Di hari pertamanya bekerja, pengacara memberikan Shu-shu pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya. Ketika Shu-shu minta tolong pada rekan kerjanya, semua sedang sibuk dan tidak bisa membantunya.

Malamnya Shu-shu dimarahi atasannya, dan Shu-shu hanya bisa menangis. Karena tertekan ia mengatakan pada mamanya tidak mau bekerja lagi. Ibu Liu tentu marah, namun semua itu diterima Shu-shu dengan cara diam. Semakin lama Shu-shu semakin terpuruk di kantornya dan semakin ingin keluar dari sana.

Karena selalu hidup tertekan sejak kecil hingga lulus kuliah dan terjun ke masyarakat, Shu-shu akhirnya memutuskan mengakhiri hidupnya, ia melompat dari lantai 21 dan tewas seketika.

Beberapa hari kemudian, ibu Liu yang tidak mampu menerima kenyataan itu menemukan sebuah surat dari Shu-shu yang isinya:

“Papa, mama, aku selalu berharap bisa menjadi anak seperti yang kalian harapkan. Tapi, bagaimanapun aku bukanlah anak tipe seperti itu. Aku lelah, benar-benar lelah, aku selalu hidup di lingkungan yang bukan milikku, kelebihan orang lain selalu menonjolkan kebodohanku. Aku sangat lelah, dan ingin istirahat, mungkin di surga nanti aku bisa bertemu dengan teman-temanku yang tidak pintar tapi bahagia.”

Huruf demi huruf yang ditorehkan untuk terakhir kalinya oleh Shu-shu putri mereka itu membuat Liu terpukul dan sadar seketika, tapi sudah terlambat.

Ketika diwawancarai, Liu mengatakan sambil menangis : “Saya menceritakan masalah keluarga ini, hanya ingin menyadarkan para orangtua lainnya atas hal yang dialami putri saya. Pepatah Turki mengatakan “Tuhan saja menyiapkan pohon yang pendek bagi burung yang bodoh”.

Kalimat ini saya kutip dari buku diari Shu-shu, saya selalu memaksa Shu-shu terbang ke pohon tinggi yang memang bukan untuknya, hingga akhirnya dia jatuhKalau direnungkan, bukankah saya hanya berharap agar anak saya bahagia?

Setiap anak memiliki bakat yang berbeda, selaku orangtua yang bijak cukup membimbing mereka untuk menemukan arah yang memang menjadi milik mereka sendiri, bukan dengan hanya menyuruh mereka ke satu jalan.

(Diceritakan oleh: Tomy Widjaja).