18.46 -
*Gereja*
Gereja Katolik Roma
Gereja Katolik, yang secara luas sering juga disebut Gereja Katolik Roma, adalah Gereja Kristen terbesar di dunia, dan diperkirakan memiliki 1,3 milyar jemaat, yakni kira-kira setengah dari seluruh umat Kristiani dan seperenam dari populasi dunia.
Gereja Katolik adalah sebuah komuni (persekutuan) dari Gereja Katolik Ritus Barat (Gereja Katolik Roma) dan 23 Gereja Katolik Timur, yang membentuk 2.795 keuskupan pada 2008. Ke-24 Gereja-Gereja ini disebut sebagai gereja-gereja partikular).
Gereja Partikular dengan jumlah umat terbesar dalam Gereja Katolik adalah Gereja Katolik Ritus Barat/Ritus Latin/Gereja Katolik Roma. Gereja Partikular dengan jumlah umat ke-2 terbesar dalam Gereja Katolik adalah Gereja Katolik-Yunani Ukraina.
Otoritas duniawi tertinggi Gereja ini dalam perkara iman, moral dan pemerintahannya adalah Sri Paus, saat ini Paus Fransiskus, yang memegang otoritas tertinggi bersama-sama Dewan Uskup, yang diketuainya.
Komunitas Katolik terdiri atas seorang pelayan-umat tertahbis (rohaniwan) dan umat awam; baik rohaniwan maupun umat awam dapat pula menjadi anggota dari komunitas-komunitas religius.
Gereja ini mendefinisikan bahwa misinya adalah memberitakan Injil Yesus Kristus, memberikan pelayanan sakramen-sakramen dan melakukan karya amal.
Gereja ini menjalankan program-program dan lembaga-lembaga sosial di seluruh dunia, termasuk juga sekolah-sekolah, universitas-universitas, rumah-rumah sakit, misi-misi dan perumahan, serta organisasi-organisasi seperti Catholic Relief Services, Caritas Internationalis dan Catholic Charities yang membantu kaum papa, keluarga-keluarga, orang-orang jompo, dan orang-orang sakit.
Melalui suksesi apostolik, Gereja ini percaya bahwa dirinya merupakan kelanjutan dari komunitas Kristiani yang didirikan oleh Yesus dengan mentahbiskan Santo Petrus, sebuah pandangan yang juga dianut oleh banyak sejarawan.
Gereja ini menetapkan doktrin-doktrinnya melalui berbagai konsili ekumenis, meneladani para rasul pertama dalam Konsili Yerusalem.
Atas dasar janji-janji Yesus pada rasul-rasul-Nya yang tertera dalam Injil, Gereja ini percaya bahwa dia dituntun oleh Roh Kudus dan oleh karena itu terlindungi dari terjadinya kesalahan doktrin.
Keyakinan-keyakinan Katolik didasarkan atas deposit iman (mencakup baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci) yang diwarisi dari zaman Rasul-Rasul, dan yang diinterpretasi oleh Otoritas Pengajaran Gereja. Keyakinan-keyakinan tersebut terangkum dalam Kredo Nicea, dan secara resmi dirinci dalam Katekismus Gereja Katolik.
Peribadatan Katolik yang formal, yang disebut liturgi, diatur oleh otoritas Gereja. Ekaristi, salah satu dari tujuh sakramen Gereja dan bagian penting dari setiap Misa Katolik atau Liturgi Suci Katolik Timur, adalah pusat dari peribadatan Katolik.
Dengan sejarah yang membentang sepanjang dua ribu tahun, Gereja ini adalah salah satu lembaga tertua di dunia dan telah berperan penting dalam sejarah peradaban Barat sekurang-kurangnya sejak abad ke-4.
Pada abad ke-11, sebuah perpecahan besar, yang kadang-kadang disebut Skisma Akbar, terjadi antara Kristianitas Timur dan Barat yang terutama diakibatkan oleh ketidak sepahaman mengenai primasi kepausan.
Gereja-Gereja Timur yang tetap maupun yang kelak kembali menjalin persekutuan dengan Uskup Roma, Sri Paus, membentuk Gereja-Gereja Katolik Timur, dan Gereja-Gereja yang tetap berada di luar otoritas kepausan biasanya dikenal sebagai Gereja-Gereja Ortodoks Timur.
Pada abad ke-16, juga sebagai tanggapan atas bangkitnya Reformasi Protestan di Eropa Barat, Gereja ini menyelenggarakan proses reformasi dan renovasi internal, yang dikenal sebagai Kontra-Reformasi.
Meskipun Gereja ini menyatakan bahwa dialah "Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik," didirikan oleh Yesus Kristus, tempat orang dapat menemukan kepenuhan sarana keselamatan, Gereja ini pun mengakui bahwa Roh Kudus dapat menggunakan komunitas-komunitas Kristiani lainnya untuk membawa orang menuju keselamatan.
Gereja ini percaya bahwa dia dipanggil oleh Roh Kudus untuk mengupayakan kesatuan antar segenap umat Kristiani, sebuah gerakan yang dikenal sebagai ekumenisme.
Tantangan-tantangan modern yang dihadapi Gereja ini mencakup bangkitnya sekularisme dan penentangan terhadap sikapnya mengenai aborsi, euthanasia, kontrasepsi, dan moralitas seksual.
Asal usul dan sejarah
Gereja Katolik didirikan oleh Yesus dan Keduabelas Rasul, dilanjutkan oleh para uskup sebagai penerus para rasul umumnya, dan Sri Paus sebagai penerus Santo Petrus khususnya.
Istilah "Gereja Katolik" diketahui pertama kali digunakan dalam surat dari Ignatius dari Antiokhia pada tahun 107, yang menulis bahwa: "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ."
Selain itu, para penulis Katolik memberikan daftar sejumlah kutipan dari para Bapa Gereja terdahulu yang mendukung bahwasanya Tahta Keuskupan Roma memiliki otoritas yurisdiksional atau primasi atas gereja-gereja lain, di lain pihak para penulis Ortodoks menolak klaim tersebut yang merupakan salah satu dari pokok permasalahan di balik skisma Timur-Barat, dengan secara historis memandang Sri Paus sebagai primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat).
Di pusat doktrin-doktrin Gereja Katolik ada Suksesi Apostolik, yakni keyakinan bahwa para uskup adalah para penerus spiritual dari Keduabelas Rasul mula-mula, melalui rantai konsekrasi yang tak terputus secara historis.
Perjanjian Baru berisi peringatan-peringatan terhadap ajaran-ajaran yang sekadar bertopengkan Kekristenan, dan menunjukkan bahwa para pimpinan Gereja diberi kehormatan untuk memutuskan manakah yang merupakan ajaran yang benar.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja Katolik adalah keberlanjutan dari orang-orang tetap setia pada kepemimpinan apostolik (rasuli) dan episkopal (Keuskupan) serta menolak ajaran-ajaran palsu.
Pra Abad-Pertengahan
Sesudah melewati suatu periode awal yang diwarnai penganiayaan secara sporadik namun intens, Kekristenan menjadi legal pada abad ke-4, ketika Kaisar Konstantinus I mengeluarkan Edicta Milano (Edik Milano) pada tahun 313.
Konstantinus berperan penting dalam penyelenggaraan Konsili Nicea Pertama yang merupakan konsili para uskup Gereja Katolik pada tahun 325, yang ditujukan untuk melawan bidaah Arianisme dan merumuskan Kredo Nicea yang digunakan oleh Gereja Katolik, Ortodoksi Timur, dan berbagai Gereja Protestan.
Pada tanggal 27 Februari 380, Kaisar Teodosius I memberlakukan sebuah hukum yang menetapkan Kekristenan Katolik sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi dan memerintahkan untuk menyebut yang lain daripada itu sebagai bidaah.
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, Gereja Katolik melewati suatu masa kegiatan dan ekspansi misi. Selama Abad Pertengahan Katolisisme menyebar di antara bangsa Jerman (pada awalnya bersaing dengan Arianisme), Viking, Polandia, Kroasia, Ceko, Slowakia, Hungaria, Lithuania, Latvia, Finlandia dan Estonia.
Keberhasilan kehidupan monastik menumbuhkan berbagai pusat pembelajaran, teristimewa yang paling masyhur di Irlandia dan Gallia, serta berkontribusi bagi Abad Pencerahan Dinasti Carolingian (Carolingian Renaissance).
Di kemudian hari yakni pada kurun waktu Abad Pertengahan, Sekolah-sekolah Katedral berkembang menjadi universitas-universitas (Universitas Paris, Universitas Oxford, dan Universitas Bologna), cikal bakal dari lembaga-lembaga pembelajaran Barat modern.
Skisma akbar
Dalam abad ke-11, melalui serentetan proses selama beberapa abad, Gereja mengalami skisma akbar di mana Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur terbelah akibat isu-isu administrasi, liturgi, dan doktrin, khususnya masalah klausa Filioque dan primasi jurisdiksi kepausan.
Secara konvensional skisma ini berpenanggalan tahun 1054, ketika Patriark Konstantinopel dan Sri Paus mengeluarkan pernyataan saling mengucilkan. Baik Konsili Lyons II tahun 1274 maupun Konsili Baseltahun 1439 berusaha menyatukan kembali kedua Gereja, namun pihak Ortodoks menolak kedua konsili itu.
Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur masih dalam keadaan skisma hingga hari ini, meskipun demikian dalam deklarasi bersama Katolik-Ortodoks tahun 1965 pernyataan pengucilan tersebut ditarik kembali baik oleh Roma maupun Konstantinopel, dan upaya-upaya mengakhiri skisma terus berlanjut.
Beberapa Gereja Timur telah bersatu kembali dengan Gereja Katolik dengan menerima primasi kepausan, dan beberapa Gereja Timur lainnya mengaku tidak pernah keluar dari persekutuan dengan Sri Paus.
Perang Salib
Perang Salib adalah serangkaian perang militer sejak tahun 1092 di Tanah Suci dan tempat-tempat lain, direstui oleh kepausan, dimulai pada masa kepausan Urbanus II sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan dari Kaisar Byzantium melawan ekspansi Turki.
Perang Salib ini serta perang-perang Salib selanjutnya akhirnya gagal meredakan agresi orang-orang Turki dan bahkan menimbulkan rasa benci antar umat Kristiani akibat penjarahan dan pendudukan kota Konstantinopel selama Perang Salib ke-4.
Inkuisisi
Sejak sekitar tahun 1184, dan berlanjut selama Reformasi Protestan, terjadi sejumlah kegiatan historis yang melibatkan Gereja Katolik, dan yang dikenal luas sebagai Inkuisisi, ditujukan untuk menyelamatkan kesatuan religius dan doktrinal dalam Kekristenan melalui pentobatan, dan kadang kala penganiayaan, orang-orang yang didakwa bidaah.
Terbukti bidaah, yang dipandang sebagai pengkhianatan terhadap dunia Kristen, dapat mengakibatkan penerimaan hukuman yang berkisar dari hukuman ringan sampai hukuman mati (antara lain dibakar hidup-hidup) yang dilaksanakan oleh negara.
Contoh dari langkanya pelaksanaan hukuman mati tersebut adalah, sejak tahun 1540 sampai 1700 dari semua perkara yang diajukan kepada Inkuisisi Spanyol hanya 2-3% yang berakhir dengan eksekusi mati, lebih rendah daripada peradilan sekuler manapun secara virtual pada masa itu.
Menurut para sejarawan, Inkuisisi Abad Pertengahan, Inkuisisi Spanyol, Inkuisisi Roma, dan Inkuisisi Portugis adalah peristiwa-peristiwa historis yang berbeda. Cakupan dari aktivitas Inkuisisi, dan khususnya angka kematian yang tepat, telah menjadi bahan propaganda di kemudian hari.
Reformasi
Keretakan kedua dalam sejarah Kekristenan terjadi saat Reformasi Protestan, yang dimulai di Jerman pada abad ke-16. Selama kurun waktu tersebut pelbagai kelompok masyarakat, seringkali dengan dukungan pemerintah lokal, menolak primasi Sri Paus, kewajiban selibat bagi para imam, serta berbagai doktrin dan praktik Katolik lainnya, sekaligus penyelewengan-penyelewengan (semisal praktik simoni/praktik pembelian jabatan gerejawi) yang umum terjadi pada masa itu.
Para reformator dalam Gereja Katolik meluncurkan Kontra-Reformasi atau Reformasi Katolik, suatu periode klarifikasi doktrin, perbaikan imamat dan liturgi, dan re-evangelisasi yang dimulai dengan Konsili Trento.
Konsili Trento dan perbaikan-perbaikannya menghasilkan tema sentral untuk 300 tahun ke depan dari sejarah Katolik. Periode tersebut menitikberatkan karya katekese dan misi, bidang yang menjadi keunggulan bagi ordo Yesuit dan Fransiskan.
Katolisisme menyebar ke seluruh dunia, seiring dengan kolonialisme bangsa Eropa: ke Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania.
Zaman Modern
Gereja pada abad ke-18 dan ke-19 tidak hanya harus berhadapan dengan ajaran-ajaran Protestantisme, namun juga dengan ajaran-ajaran Pencerahan dan Modernisme mengenai hakikat pribadi manusia, negara, dan moralitas.
Dengan terjadinya Revolusi Industri, dan meningkatnya keprihatinan akan kondisi-kondisi para buruh urban, Paus-Paus abad ke-19 dan ke-20 mengeluarkan ensiklik-ensiklik (teristimewa Rerum Novarum) yang memaparkan Ajaran Sosial Katolik.
Konsili Vatikan Pertama (1869–1870) menegaskan doktrin infabilitas kepausan yang diyakini umat Katolik sebagai kontinuitas dengan sejarah Supremasi Petrus dalam Gereja.
Reformasi Konsili Vatikan Kedua
Gereja Katolik melakukan salah satu dari perubahan-perubahan paling menyeluruh dalam sejarahnya selama Konsili Vatikan II (1962-1965) dan dasawarsa sesudahnya.
Gereja Katolik, lebih daripada sebelumnya, menekankan apa yang dipandangnya positif ketimbang apa yang dipandangnya negatif dalam komunitas-komunitas Kristiani lain, dalam agama-agama lain, dan dalam aspirasi-aspirasi umat manusia pada umumnya.
Gereja mendorong pembaharuan yang mutakhir atas kehidupan religius. Dan Gereja memberi wewenang kepada konferensi-konferensi waligereja untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam disiplin-disiplin misalnya berpantang daging pada hari Jumat.
Konsili Vatikan II (1962–1965) yang diperhimpunkan oleh Paus Yohanes XXIII, terutama sebagai suatu konsili pastoral namun otoritatif, untuk membuat ajaran-ajaran historis Gereja Katolik menjadi jelas bagi dunia modern.
Konsili ini mengeluarkan dokumen-dokumen mengenai sejumlah topik, termasuk hakikat Gereja, misi awam, dan kebebasan beragama.
Konsili ini juga mengeluarkan pengarahan-pengarahan bagi revisi liturgi, termasuk izin bagi ritus liturgi Latin untuk menggunakan bahasa setempat di samping Bahasa Latin dalam Misa dan sakramen-sakramen lainnya.[67]
Doktrin Gereja Dan ilmu pengetahuan
Para ahli sejarah ilmu pengetahuan, termasuk yang bukan beragama Katolik seperti J.L. Heilbron,[79] Alistair Cameron Crombie, David C Lindberg,[80] Edward Grant, Thomas Goldstein,[81] dan Ted Davis, berpendapat bahwa Gereja Katolik memiliki pengaruh positif yang penting terhadap perkembangan peradaban.
Mereka yakin bahwa, bukan saja para biarawanlah yang menyelamatkan dan membudidayakan sisa-sisa dari peradaban kuno selama invasi-invasi kaum barbar, melainkan juga bahwasanya Gereja Katoliklah yang mendorong pembelajaran dan ilmu pengetahuan melalui dukungannya terhadap banyak universitas yang, di bawah kepemimpinannya, bertumbuh cepat di Eropa pada abad ke-11 dan ke-12.
St. Thomas Aquinas, "teolog model" Gereja Katolik, tidak saja berpendapat bahwa akal budi itu bersesuaian dengan iman, dia bahkan mengakui bahwa akal budi dapat berkontribusi bagi pemahaman wahyu Illahi, dan dengan demikian mendorong perkembangan intelektual.
Para imam-ilmuwan Gereja Katolik, yang kebanyakan adalah para Yesuit, dan yang merupakan para pelopor dalam ilmu astronomi, genetika, geomagnetisme, meteorologi, seismologi, and fisika matahari, menjadi "bapak-bapak" ilmu-ilmu pengetahuan tersebut. Perlu kiranya untuk disebutkan di sini, nama-nama para rohaniwan Katolik semisal Abbas Ordo St. Agustinus Gregor Mendel (pelopor dalam studi genetika) dan pastur Belgia Georges LemaƮtre (orang pertama yang mengedepankan teori Big Bang).
Sebuah peta universitas-universitas abad pertengahan memperlihatkan universitas-universitas yang didirikan Gereja Katolik di Eropa.
Kenyataan ini merupakan suatu kebalikan dari pandangan yang dipertahankan oleh beberapa filsuf abad pencerahan, bahwa doktrin-doktrin Gereja Katolik bersifat tahayul dan menghalang-halangi kemajuan peradaban.
Salah satu contoh terkenal yang diajukan oleh para kritikus tersebut adalah Galileo Galilei, yang pada tahun 1633, dikutuk karena berpegang teguh pada ajaran jagad raya yang heliosentris (jagad raya berpusat pada matahari), teori yang pertama kali dicetuskan oleh Nicolaus Copernicus, seorang imam Katolik.
Setelah bertahun-tahun diinvestigasi, berkonsultasi dengan Paus, berjanji kemudian dilanggar oleh Galileo sendiri, dan akhirnya suatu pengadilan oleh Tribunal Inkuisisi Romawi dan Universal, Galileo didapati "dituduh sebagai bidaah" - bukan bidaah, sebagaimana yang seringkali secara keliru disebut-sebut.
Meskipun ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa dua dari empat thesis ilmiah yang dikedepankan oleh Galileo sebenarnya keliru, yakni bahwasanya Matahari adalah pusat jagad raya, dan bahwasanya Bumi mengitari Matahari dalam orbit berbentuk lingkaran sempurna, Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mengungkapkan penyesalan atas tindakan-tindakan orang-orang Katolik yang memperlakukan Galileo dengan buruk dalam pengadilan pada tanggal 31 Oktober 1992.
Sebuah abstraksi dari tindakan-tindakan dalam proses pengadilan terhadap Galileo dapat dijumpai di Arsip Rahasia Vatikan (Vatican Secret Archives), yang mereproduksi sebagian arsip tersebut dalam situs web-nya.
Kardinal John Henry Newman, pada abad ke-19, berkata bahwa orang-orang yang menyerang Gereja Katolik hanya mampu menunjukkan kasus Galileo, yang bagi banyak sejarawan tidaklah membuktikan adanya oposisi Gereja terhadap ilmu pengetahuan karena justru banyak rohaniwan Katolik pada masa itu yang didorong oleh Gereja untuk meneruskan penelitian mereka.
Saat ini, Gereja Katolik telah dikritik karena ajarannya bahwa penelitian sel induk embrio manusia (embryonic stem cell research) merupakan suatu bentuk dari eksperimentasi pada manusia, dan mengakibatkan pembunuhan seorang manusia, dengan alasan bahwa ajaran ini menghalangi penelitian ilmiah.
Gereja Katolik sebaliknya berpendapat bahwa kemajuan dalam ilmu pengobatan dapat terjadi tanpa perlu ada penghancuran manusia (yang masih dalam tahap kehidupan embrio); misalnya, dengan menggunakan sel induk dewasa (adult stem cell) atau sel induk tali pusat (umbilical stem cell) sebagai ganti sel induk embrio.
Gereja, seni, dan karya sastra
Beberapa ahli sejarah menilai Gereja Katolik berjasa atas kegemilangan dan keagungan seni Barat. Mereka mengacu pada perlawanan gereja terhadap ikonoklasme (suatu gerakan yang menentang penggambaran visual dari yang ilahi), kegigihan Gereja dalam membangun gedung-gedung yang mendukung peribadatan, kutipan ayat Alkitab oleh Agustinus dari Hippo - dari Kitab Kebijaksanaan 11:20 (Allah "menyuruh segala sesuatu diukur, dihitung, dan ditimbang") yang menuntun kepada konstruksi-konstruksi geometris dari arsitektur Gothik, sistem-sistem ilmiah yang koheren dari kaum Skolastik yang disebut Summa Theologiae yang memengaruhi tulisan-tulisan yang konsisten secara ilmiah dari Dante Alighieri, teologi penciptaan dan sakramental Gereja yang telah mengembangkan suatu imajinasi Katolik yang memengaruhi para penulis seperti J. R. R. Tolkien, C.S. Lewis, dan William Shakespeare, dan akhirnya, perlindungan yang diberikan para paus pada masa Renaissance bagi karya-karya agung para seniman Katolik seperti Michelangelo, Raphael, Bernini, Borromini, dan Leonardo da Vinci.
Gereja dan perkembangan ekonomi
Francisco de Vitoria, seorang murid dari Thomas Aquinas dan seorang pemikir Katolik yang mempelajari hal-hal seputar hak-hak asasi manusia dari rakyat pribumi jajahan, diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai seorang Bapak hukum internasional, dan kini juga diakui oleh para ahli sejarah ekonomi dan demokrasi sebagai cahaya terdepan bagi demokrasi Barat dan percepatan ekonomi.
Joseph Schumpeter, seorang ahli ekonomi dari abad ke-20, menunjuk pada kaum skolastik, ketika menulis bahwa, "merekalah yang paling layak lebih dari kelompok manapun juga untuk disebut sebagai ‘pendiri’ ilmu ekonomi yang ilmiah."
Ahli-ahli ekonomi dan sejarah lainnya, seperti Raymond de Roover, Marjorie Grice-Hutchinson, dan Alejandro Chafuen, juga telah mengeluarkan pernyataan serupa.
Sejarawan Paul Legutko dari Universitas Stanford mengatakan bahwa Gereja Katolik "berada pada pusat perkembangan nilai-nilai, gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, hukum, dan lembaga-lembaga yang membentuk apa yang kita sebut peradaban Barat."
Keadilan sosial, keperawatan, dan sistem rumah sakit
Ahli sejarah rumah sakit, Guenter Risse, berujar bahwa Gereja Katolik mempelopori perkembangan suatu sistem rumah sakit yang ditujukan bagi kaum tersisih.
Menurut ahli sejarah rumah sakit, Guenter Risse, Gereja Katolik telah memberi sumbangsih bagi masyarakat melalui doktrin sosialnya (ajaran sosial Gereja) yang telah menuntun para pemimpin untuk mempromosikan keadilan sosial dan dengan membentuk sistem rumah sakit di Eropa abad pertengahan, yakni suatu sistem yang berbeda dengan keramah-tamahan dari masyarakat Yunani dan kewajiban-kewajiban berasaskan keluarga dari masyarakat Romawi.
Rumah-rumah sakit tersebut didirikan untuk menyediakan pelayanan bagi kelompok masyarakat tertentu yang tersisihkan akibat kemiskinan, penyakit, dan usia lanjut."[90]
James Joseph Walsh menulis tentang kontribusi Gereja Katolik bagi sistem rumah sakit, sebagai berikut:
Selama abad ke-13 sejumlah besar rumah-rumah sakit [ini] didirikan. Kota-kota Italia merupakan pemimpin-pemimpin dari gerakan itu. Milan memiliki tidak kurang dari selusin rumah sakit dan Florence sebelum akhir abad ke-14 memiliki sekitar 30 rumah sakit. Beberapa diantaranya merupakan bangunan-bangunan yang sangat indah.
Di Milan sebagian dari bangunan rumah sakit umum dirancang oleh Donato Bramante dan sebagiannya lagi dirancang oleh Michelangelo. Rumah sakit kaum tak berdosa di Florence untuk menampung anak-anak terlantar merupakan sebuah permata arsitektur.
Rumah sakit di Sienna, yang didirikan sebagai penghormatan kepada Santa Katarina dari Siena, sejak semula sudah tersohor. Di seluruh Eropa gerakan rumah sakit ini menyebar di mana-mana.
Virchow, Pathologis besar dari Jerman, dalam sebuah artikel mengenai rumah-rumah sakit, menunjukkan bahwa tiap kota di Jerman yang berpenduduk 5000 jiwa memiliki rumah sakit. Ia menelusuri gerakan rumah sakit ini sampai kepada Paus Innosentius III, dan meskipun bukan seorang pendukung kepausan,
Virchow tanpa ragu-ragu memberikan pujian tertinggi bagi Paus tersebut untuk segala sesuatu yang telah dilakukannya demi kebaikan anak-anak dan umat manusia yang menderita.
Keindahan dan efisiensi rumah-rumah sakit Italia bahkan mengilhami sebagian orang yang justru mengkritik Gereja Katolik.
Sejarawan Jerman Ludwig von Pastor mengutip kembali kata-kata Martin Luther yang, tatkala melakukan perjalanan ke Roma saat musim dingin tahun 1510-1511, berkesempatan mengunjungi beberapa dari rumah-rumah sakit tersebut:
Di Italia, menurutnya, rumah-rumah sakit didirikan dengan megah, dan sungguh mengagumkan bahwa rumah-rumah sakit itu diperlengkapi dengan makanan dan minuman yang sangat baik, perhatian yang saksama dan tabib-tabib yang terpelajar. Tempat-tempat tidur dan perlengkapan tempat tidurnya bersih, dan dinding-dinding ditutupi dengan lukisan-lukisan.
Bilamana seorang pasien dibawa masuk, pakaian-pakaiannya dilepaskan di hadapan seorang notaris yang menginventarisirnya dengan cermat, kemudian pakaian-pakaian itu disimpan dengan aman. Sehelai smock (jubah pasien) putih dikenakan padanya dan ia dibaringkan di atas sebuah dipan yang nyaman, dialasi linen yang bersih. Ada dua orang dokter yang mendatanginya, dan para pelayan membawakannya makanan dan minuman dalam gelas-gelas yang bersih, yang memperlihatkan padanya segala perhatian yang dapat diberikan.
Gereja Katolik sebagai opus proprium, sebut Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est, telah melaksanakan selama berabad-abad sejak awal mulanya dan terus melaksanakan berbagai pelayanan kasih — antara lain, rumah-rumah-sakit, sekolah-sekolah, dan program-program pemberantasan kemiskinan.
(Sumber: Wikipedia).