“Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.” (Kej 3:6).
Hawa adalah ibu seluruh umat manusia. Seluruh bangsa, suku dan bahasa berasal darinya. Hawa diciptakan Allah dan bersama Adam diberikan kuasa atas dunia (Kej 1:26-29).
Perhatikan bahwa ayat 27 menekankan kenyataan bahwa Allah menciptakan pria dan wanita. Kata-kata pertama yang pernah diucapkan Allah dituliskan dalam Kej 1:28. Janji-janji ini diberikan secara langsung kepada Hawa serta Adam.
Hawa diciptakan dari tulang rusuk pria (Kej 2:21-25). Bukan dari kakinya, karena wanita tidak diciptakan untuk menjadi bawahannya. Bukan pula kepalanya, karena wanita tidak diciptakan untuk menjadi atasannya.
Dia diciptakan dari tulang yang terdekat dengan hati. Hal ini berbicara banyak tentang hubungan yang terjadi antara pria dan wanita dalam pernikahan.
Seorang wanita yang berhikmat, pasti akan peka terhadap pikirannya. Pikiran yang datang dari iblis dibuangnya ke tong sampah dan tidak pernah dipikirkannya.
Hawa secara tidak bijak merenungkan semua pikiran yang ada di benaknya. Pada akhirnya, pikiran tersebut akan memberikan tipuan, rasa sakit, tekanan setan, dan hubungan yang hancur.
Hawa adalah manusia pertama yang jatuh dalam dosa sebelum Adam. Hawa tidak hanya sendirian jatuh, tetapi juga menyerat suaminya untuk bersama-sama jatuh dalam dosa.
Kisah manusia pertama yang luar biasa dalam ini menjelaskan bagaimana dosa masuk ke dalam dunia dan merusak tatanan asri dunia ini. Pasangan suami istri (pasutri) pertama jatuh ke dalam dosa karena melanggar perintah Allah yang dengan jelas dan tegas disampaikan (Kej 2:16-17).
Memang ular menjadi gara-gara pasutri pertama jatuh ke dalam dosa, namun tanggung jawab kesalahan itu bukan terutama pada ular melainkan pada diri mereka.
Perempuan itu memberi diri meladeni tipu daya ular. Saat firman Tuhan diputarbalikkan, seharusnya ia menolaknya dengan tegas, bukan mendiskusikannya (ayat 2-3).
Justru karena perempuan itu membuka ruang diskusi, ular berkesempatan menanamkan keraguan akan iktikad baik Tuhan. Bahwa Tuhan memaksudkan larangan memakan buah pengetahuan baik dan jahat itu adalah supaya manusia jangan menjadi sama seperti Diri-Nya (ayat 4-5). Justru itulah godaan yang manusia tidak dapat elakkan.
Kesalahan yang paling berat memang pada diri Adam, karena perintah Tuhan itu ditujukan kepadanya, bukan kepada Hawa.
Seharusnya Adam bisa menolak dan menegur Hawa supaya bertobat, tetapi ia justru malah ikut hanyut dalam pelanggaran tersebut.
Inilah kecerdikan dan kepandaian Setan untuk menghadapi serta menjatuhkan manusia, termasuk juga orang Kristen, yaitu dengan menggunakan berbagai macam strategi pendekatan yang hebat dan selalu diperbaharui.
Alkitab telah mencatat pembicaraan ular itu dengan Hawa demikian, “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej 3:1).
Dengan kata lain, ular meminta Hawa untuk menjelaskan dan mengoreksi pengertiannya akan perkataan Allah yang telah didengarnya sehingga kesalahpahaman dapat dihindari.
Sebenarnya, masalah mulai muncul karena adanya kata ‘bukan’ di akhir pernyataan tersebut yang mengakibatkan suatu kepastian menjadi mengambang.
Padahal dalam Kej 2:16 Allah dengan jelas mengatakan, “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas.”
Ironisnya, pernyataan Setan tersebut sangat signifikan bagi Hawa hingga muncul keraguan di dalam hatinya.
Inilah awal dari pergeseran fokus iman Hawa. Seharusnya Hawa menolak ajakan Setan untuk bercakap-cakap.
Tetapi Alkitab mencatat bahwa ia menyambutnya, “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati” (Kej 3:2-3).
Kutipan ini kurang sesuai dengan perintah Tuhan dalam Kejadian 2:16, karena sesungguhnya Allah tidak melarang mereka meraba buah tersebut.
Selain itu, ia telah mengganti frasa “pastilah engkau mati” dengan “nanti kamu mati”. Sesuatu yang mutlak telah diubah menjadi relatif. Dengan demikian ia mulai berkompromi dan imannya makin menurun.
Sebenarnya Hawa bermaksud untuk berdiri di pihak Allah dan berusaha membela serta mempertahankannya dengan mengatakan pengertian mengenai kehendak Tuhan yang telah diperolehnya untuk melawan Setan. Namun ia malah mengambil alih posisi Allah dengan mengatas-namakan ucapannya sebagai firman.
Walaupun semua pohon tampak menarik, besar kemungkinan Hawa sangat memperhatikan kedua pohon istimewa di tengah taman, terutama pohon pengetahuan tentang baik dan jahat, hingga menyita pikiran dan keinginannya karena adanya larangan Tuhan untuk memakan buahnya.
Karena telah mengetahui segala pikiran, tujuan dan kelemahan manusia termasuk Hawa maka Setan tidak memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk menghancurkannya. Ia tidak akan membiarkan mereka terus hidup dalam kebenaran melainkan berupaya untuk merusaknya dengan mengubah dan memutarbalikkan firman tersebut.
Setelah menawarkan sesuatu, Setan membuat situasi jadi mengambang dan membiarkan manusia mengambil keputusan.
Pada ayat selanjutnya dikisahkan, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya” (Kej 3:6).
Tindakan Hawa ini disebabkan karena sebelumnya ular telah mengatakan, “Sekali-kali kamu tidak akan mati” (Kejadian 3:4).
Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran kebenaran perintah Allah. Manusia telah mereduksi kebenaran tersebut sedangkan Setan membaliknya. Kemudian Setan melanjutkan, “tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”
Mendengar penjelasan tersebut, Hawa mungkin berpikir bahwa Allah tidak menghendaki adanya pribadi lain yang berkualitas sama dan sejajar dengan-Nya.
Hal kedua yang mungkin juga timbul dalam pikirannya adalah bahwa rupanya ada satu tingkat hidup yang lebih tinggi, sempurna dan limpah.
Selain itu, kemungkinan ketiga ialah bahwa Allah itu negatif. Padahal larangan Allah tersebut tidak jelek bagi dirinya karena Ia tidak pernah merancang kejahatan melainkan demi kebaikan yaitu untuk menghindari kecelakaan. Dengan kata lain, Ia adalah Pribadi yang berusaha melindungi dan mengayomi sehingga semua orang percaya dapat memperoleh sukacita dan damai sejahtera.
Dengan demikian, Hawa telah jatuh ke dalam dosa secara potensial. Sedangkan tindakan mengambil dan makan buah terlarang hanya merupakan konfirmasi dari konsepnya yang salah tentang Allah.
Demikianlah, dosa masuk melalui proses dengan arah yang jelas.
Pertama kali mendengar bisikan Setan, Hawa masih memiliki rasa takut akan Tuhan. Namun tawaran Setan sangat manis, enak dan menggiurkan karena dosa memang indah, menyenangkan serta seolah-olah memberi pengharapan.
Walaupun demikian, dalam Kitab Ibrani dicatat bahwa Musa lebih memilih untuk meninggalkan istana Firaun daripada menikmati manisnya dosa di sana karena adanya konsekuensi dosa. Perlu diingat bahwa Allah tidak berkompromi dengan dosa.
Namun Hawa lebih memilih untuk memakan buah terlarang itu karena ia berpikir bahwa keuntungan yang akan diperoleh lebih besar daripada konsekuensinya yaitu pola hidup yang lebih tinggi dan bermakna.
Menutup renungan ini, biarlah kita mau belajar dari kejatuhan Hawa yang akhirnya menyeret Adam sehingga mereka berdosa. Kiranya kita menjauhkan pikiran-pikiran dan keinginan kedagingan yang bisa membuat kita lupa diri dan jatuh dalam dosa.
Kita harus selalu berhati-hati didalam mempelajari firman Tuhan, agar kita tidak diselewengkan oleh pikiran-pikiran sendiri, sehingga mengakibatkan hal-hal yang seharusnya mutlak kita taati, menjadi relatif karena disesuaikan dengan keinginan kita sendiri.
(Sumber: Kristen sejati, Untung Chandra Oei Khay Sing).