Pages

Selasa, 18 Juli 2017

Mengenal Allah, Mengenal Diri



Hal apa yang kira kira muncul di benak Anda ketika membaca judul tulisan kecil ini? Mungkin ada satu tanda tanya, mungkinkah mengenal Allah terlebih dahulu sebelum kita mengenal diri kita? Atau justru, boro-boro mengenal Allah yang penuh dengan misteri, mengenal diri sendiri aja belum ...

Uniknya, Santa Teresia Avila justru menganjurkan kita untuk mengenal Allah terlebih dahulu, baru setelahnya kita akan lebih paham akan diri kita.

Mengapa Teresia Avila mengatakan hal demikian? Mungkinkah hal itu? Setelah merenungkan sekian lama, saya melihat hal yang sama seperti yang dilihat oleh Santa Teresia Avila.

Dengan mengarahkan hati kita menuju Allah, maka kita akan terdorong untuk keluar dari diri kita sendiri. Kita tahu, sebagai umat beriman mengenal Allah adalah melalui pewahyuan dari Sang Putera, yaitu Kristus Yesus sendiri.

Dari Kristus sendiri kita mengenal lebih baik siapa Allah yang sesungguhnya, bukan dengan abstraksi maupun spekulasi, apalagi berfantasi.

Melalui Kristus dan Allah yang mewahyukan diri lewat para nabi sebelum Kristus kita bisa mengenal dengan lebih dekat lagi siapa sesungguhnya Allah, dan juga siapa manusia, atau makhluk ciptaan.

Bentangan relasi yang terjalin antara Allah dan manusia yang dituliskan oleh Alkitab membuat kita paham bahwa selama kurun waktu ribuan tahun tak pernah surut Allah mencintai manusia dan memperbaharui perjanjian-perjanjian-Nya, yang berkali kali dilanggar oleh manusia.

Dari perjanjian kepada Adam dan Hawa, Nuh, Abraham, Musa, Daud, hingga berpuncak pada Kristus.

Allah begitu setia, hingga pada satu "kegenapan waktu", Ia mengutus Sang Putera untuk hadir ke dunia. Lewat Yesus sendiri, kita dibawa lebih dekat lagi pada Bapa-Nya. Dan melalui Yesus sendiri, manusia yang mendengarkan Sabda-Nya dimurnikan. Anak domba yang mengenal suara Sang Gembala mengikuti jalan-Nya.

Ketika kita berjalan bersama Kristus, tahulah kita bahwa kita sedang dimurnikan. Seperti perjalanan Kristus menemani Keopas dan temannya yang hendak pulang kampung ke Emaus, dibukakan mata batin kita.

Kita terkejut, bergelora, namun juga bisa sukacita. Sabda Kristus pada intinya berusaha membawa manusia yang mendengar-Nya untuk memurnikan dirinya hingga siap menerima kebenaran-Nya.

Langkahnya menuju Bait Allah dan memporak-porandakan mereka yang berdagang, maupun Sabda-Nya yang keras pada orang Farisi (seperti ular beludak, kubur bercat putih), maupun para pengikutnya (tentang Roti Hidup) dan orang muda kaya (untuk menjual seluruh hartanya dan membagi pada orang miskin sebelum mengikuti-Nya) adalah semata untuk memurnikan manusia dan menerima kebenaran.

Allah memakai kacamata Allah dalam memandang apa yang baik untuk manusia, namun seringkali manusia tetap memakai kacamatanya sendiri dalam memandang Sabda-Nya. Inilah kegagalan kita untuk mengerti Sabda-Nya yang seringkali terdengar keras.

Bagaimana Yesus sebentar memuji Petrus di Kaisarea ketika Ia bertanya "Siapakah Aku ini menurut kalian? Namun tak berselang lama membentaknya "Iblis ... engkau memikirkan apa yang dipikirkan oleh manusia, bukan apa yang Allah pikirkan ..."

Yesus mendorong kita untuk murni. Semurni-murninya. Untuk keluar dari ego kita. Keluar dari diri kita yang nyaman dan mengikuti-Nya

Dan Yesus tak pernah menurunkan derajat kemutlakan Sabda yang diucapkan-Nya dan tak pernah berusaha merayu para pengikut-Nya yang mulai percaya, walau satu persatu mereka meninggalkan-Nya.

Mereka meninggalkan Yesus karena tak sanggup untuk keluar dari diri mereka sendiri. Mereka gagal mengadakan "lompatan iman."

Mengikuti Yesus memang membutuhkan keberanian besar untuk menyangkal diri. Ia meminta Petrus menyarungkan pedangnya ketika memotong telinga Malkus, dan memilih menyerahkan diri-Nya.

Demikian pula kita diminta untuk berserah pada-Nya dan kehendak-Nya untuk dapat mengikuti Allah.

Ketika kita melihat diri kita sebelum mengenal secara benar Kristus, akan berbeda setelah kita mengenal-Nya dengan baik.

Kristus bukan hanya membuat Anda memandang diri Anda dengan baik, melainkan juga mengubah diri Anda untuk menjadi serupa dengan-Nya secara perlahan-lahan. Ia akan mengobrak-abrik bangunan bobrok dalam batin anda dan mendirikan sebuah istana megah, seperti yang diceritakan C.S. Lewis, walau proses itu menyakitkan Anda.

Apapun yang Ia lakukan bagi Anda adalah untuk keselamatan diri Anda. Ia akan menghancurkan segala berhala yang menjadi penghalang antara diri Anda dan diri-Nya.

Maukah kita menerima kehadiran-Nya untuk "membakar" kedagingan kita, agar kita menjadi layak dihadapan-Nya? Atau, apakah kita ingin tetap berjalan di jalur ego kita sendiri sambil sebelah kaki kita melangkah untuk-Nya? Mungkinkah kita mengharmonikan antara "dunia" dan "sorga"? Bisakah kita menyatukan yang Ilahi dengan mamon?

Mari kita belajar dari Daud, yang selalu merasa miskin dihadapan Allah. Dan marilah kita belajar dari Salomo yang diwaktu muda begitu mewarisi kebijaksanaan yang dikaruniakan, namun di usia tua ia meninggalkan Tuhan karena banyak gundiknya yang menyembah berhala dan iapun ikut menyembahnya?

Hikmat dan kebijaksanaan yang besar dan mulia apabila tanpa diiringi dengan kewaspadaan dan penyangkalan diri akan memungkinkan kita terjerumus ke dalam apa yang Injil Yohanes sebut sebagai "dunia".

Dan mari kita belajar dari Maria yang selalu bersahaja dan sederhana, yang selalu merindukan Allah dalam hatinya yang murni hingga melahirkan ucapan: "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan ... Terjadilah ...

(Paulus Budiraharjo Kusumo)