Pages

Senin, 10 April 2017

Magisterium



Tugas mengajar adalah satu jabatan di Gereja untuk meneruskan, menafsirkan serta menjaga keaslian ajaran iman dan kesusilaan, yang diterima Gereja dari Kristus.

Gereja Purba sebagai umat perdana sangat berkepentingan meneruskan seteliti mungkin pewartaan serta kesaksian para Rasul tentang Yesus Kristus, tentang perkataan, perbuatan, wafat dan kebangkitan-Nya.

Demi ajaran itu mereka berani menderita dan mati. Maka, ajaran apostolik yang diteruskan itu menuntut kepercayaan (1 Tim 2:4 dst; 4:3; Tit 1:1 dst). 

Penerusan ajaran para Rasul tersebut dipercayakan kepada seluruh umat (Bdk. Mat 18:15-20; Yoh 14:16 dst; 15:26; 1 Tim 3:15), tetapi secara khusus menjadi tugas para Rasul sendiri (Mrk 16:15; Kis 1:8; 10:41) dan para pemimpin umat yang mereka angkat (2 Tim 4:1-3; Tit 1:9; Bdk. 1 Tes 5:12, 19-21).

Pewartaan mereka dijamin oleh Kristus sendiri (Mat 28:20; Luk 24:47 dst; Kis 1:8; Yoh 14:16) dan oleh Roh Kudus (Yoh 14:16, 26; 15:26; 16:13).

Seluruh umat beriman atau Gereja dengan cara yang berbeda-beda adalah penerima serta penerus Injil sebagai kebenaran abadi. 

Seluruh umat adalah 'Gereja yang diajar' (= mendengarkan) dan 'Gereja yang mengajar'. Gereja seluruhnya memiliki prioritas terhadap magisterium yang diadakan sebagai suatu jabatan-pelayanan (Bdk. G 12). Iman seluruh umat mengungkapkan diri dalam ibadat dan praktek sehari-hari.

Supaya pewartaan jangan dipalsukan, maka para pejabat (dalam suksesi apostolik dan konsensus seluruh umat (sensus fidelium) atas bimbingan Roh Kudus menjadi jaminan. Maka, tidak boleh terjadi 'skisma' antara iman umat dan ajaran magisterium.

Dalam keadaan yang menuntut keputusan, karena suatu pokok iman atau aturan hidup disangsikan atau bahkan diserang, maka pemimpin umat, yaitu para uskup, berkumpul. Lalu mereka berdoa, mempelajari, berpikir dan menetapkan apa itu ajaran dan kebiasaan Gereja sejak semula.

Jika dianggap perlu, ajaran itu mereka rumuskan secara lebih tegas dengan menggunakan rumus dan istilah zaman yang bersangkutan. Mereka yang tidak menerima ajaran lama dalam rumusan baru yang ditetapkan ini, dikucilkan (ekskomunikasi).

Wahyu Ilahi dan penerimaannya dalam iman pada dasarnya suatu hubungan personal antara orang beriman dan Tuhan. Karena Wahyu dalam Kristus ditujukan kepada semua orang, maka isi Wahyu itu harus terjamin supaya tetap sama.

Hal ini antara lain terjadi dengan mengobyektivasi hubungan personal tadi ke dalam bentuk ajaran iman. Ajaran ini oleh setiap orang beriman perlu dijadikan keyakinan dalam hubungan personal dengan Kristus yang hidup.

Gereja sebagai umat orang beriman bertugas meneruskan apa yang diwahyukan ini secara murni dari satu angkatan ke angkatan berikutnya.

Dalam tugas ini (meneruskan pokok iman) Gereja seluruhnya tidak pernah dapat salah (KB 14), karena Yesus sendirilah yang terap menyertainya dan adalah Kepalanya (Bdk. Mat 28:20; Kol 1:18).

Yesus sendiri menetapkan jabatan mengajar di dalam Gereja, yaitu magisterium. Kepada pengemban jabatan-pelayanan ini dijanjikan bimbingan dan perlindungan-Nya, supaya mereka jangan salah dan menyesatkan (Kis 6:2; 15:6; 2 Tim 4:2-5; Gal 2:2-6). Maka, Kis 2:42 bicara tentang 'bertahan dalam ajaran para Rasul' dan bukan dalam ajaran umat.

Tugas magusterium adalah mewartakan Kabar Gembira, supaya didengarkan dan menumbuhkan iman (G 17, 31-32); lalu menentukan mana yang termasuk iman rasuli dan bagaimana iman ini harus dimengerti dalam konteks zaman yang bersangkutan.

Magisterium tidak diamalkan atas dasar delegasi dari umat dan tidak memerlukan pengesahan darinya.

Selama seribu tahun pertama para uskuplah yang mengajar dan berteologi, membela ajaran benar dan bertindak secara kolegial dalam sinode dan konsili.

Untuk menangkis bidah-bidah, para uskup yang berkumpul dalam Konsili Ekumenis (= universal; bahasa Yunani), memutuskan dengan wewenang yang pasti (sejak Konsili Nicea, 325) apakah yang merupakan ajaran para Rasul yang sebenarnya.

Sejak abad ke-13 para teolog mulai menonjol karena universitas-universitas yang baru didirikan. Wewenang konsili itu mulai disangsikan oleh Wycliff, Hus dan para Reformator. Menurut St. Thomas Aquinas, mereka yang memegang magisterium ilmiah harus tunduk pada magisterium pastoral para uskup.

Kedudukan para teolog melemah terus, karena mereka berselisih tentang masalah-masalah sepele dan sebagai akibat pembubaran banyak fakultas teologi sesudah Revolusi Perancis (1789). Setelah zaman Napoleon para paus sering menegaskan berbagai ajaran dalam bentuk surat edaran.

Konsili Trente menyatakan, bahwa magisterium (dari magister = guru/pengajar; bahasa Latin) bertugas merumuskan ajaran iman dan kesusilaan (res fides et morum) Vatikan I mendefinisikan bahwa magisterium kepausan bersifat kebal salah dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu (lih. Ex cathedra).

Wewenang paus ini baru digunakan sekali oleh Pius XII, ketika mengumumkan dogma tentang Maria diterima jiwa raganya di sorga (1950).

Konsili Vatikan II menempatkan otoritas mengajar paus dalam konteks Gereja seluruhnya. Keseluruhan orang beriman tidak dapat sesat dalam hal iman (G 12); demikian pula dewan para uskup bersama paus, lalu paus sendiri (G 25).

Tetapi, magisterium selalu di bawah sabda Tuhan (WI 10). KHK Kan 749 § 3 mengatakan: "Tiada suatu ajaran dianggap sudah ditetapkan secara tak-dapat-salah, selain itu jelas-jelas ditentukan demikian."

Wewenang magisterium kepausan dan dewan para uskup dirumuskan secara yuridis dalam Kan 747, 749-750, 752-753). 

Istilah 'magisterium biasa' ( = ordinarium; bahasa Latin) baru muncul sebelum Konsili Vatikan I dan mengembangkan gagasan-gagasan Bellarminus.

Para pemegang tugas mengajar dalam Gereja (para uskup termasuk paus) berkewajiban mencari informasi selengkap mungkin sebelum mengajar secara mengikat.

Mereka perlu mengajukan alasan intern yang meyakinkan, memperlihatkan bahwa ajaran yang bersangkutan penting demi keselamatan dan menerangkan bagaimana kedudukan suatu keputusan dalam keseluruhan (depositum fidei).

Bila suatu pokok iman dinyatakan oleh magisterium dengan wewenangnya yang tertinggi, maka pokok ini tidak pernah dapat dibatalkan atau diubah lagi

Tetapi, rumusan apa pun dalam peredaran sejarah dapat disadari sebagai kurang lengkap, atau menggunakan istilah-istilah yang (menjadi) kurang jelas/tegas, karena bahasa berubah artinya. Kata dan bahasa manusia mana pun terbuka pada salah satu pengertian.

Maka, walaupun pernyataan pokok-pokok iman oleh magisterium pasti benar (dalam konteks dan pengertian ketika dirumuskan), namun dapat dilengkapi, bahkan dirumuskan secara baru pada kemudian hari.

Pernyataan-pernyataan magisterium otentik (yang tidak menggunakan wewenang tertinggi, harus diterima oleh umat sampai ada alasan kuat, bahwa di dalamnya terdapat kekeliruan atau karena keadaan berubah sehingga pernyataan ini tidak berlaku lagi.

Semua pernyataan magisterium mengenai moral termasuk pernyataan otentik. Belum ada 'dogma moral' dan sebagian besar teolog berpendapat tidak mungkin merumuskan suatu pernyataan kebal salah di bidang moral. Sebab, bidang praktis ini terus berubah, sehingga tidak mungkin merumuskan sesuatu yang berlaku tetap selamanya.

Bantuan Roh Kudus pasti diberikan, kalau magisterium (harus) menggunakan wewenang tertinggi, dan biasanya juga, walaupun tidak selalu, pada magisterium otentik.

Sebab, terdapat pernyataan magisterium biasa yang kurang tepat (misalnya pernyataan kepausan 'Tentang tukang sihir', 1484;.beberapa pokok dalam Ensikli Pascendi, 1907).

Akan tetapi, magisterium wajib berbicara dan memberi bimbingan, kendatipun belum/tidak bisa bicara dengan wewenang tertingginya; demikian ditegaskan oleh Konperensi Uskup Jerman di Konigstein (1967) dan dalam Instruksi Kongregasi untuk Ajaran Iman tentang Pengangkatan Teolog (1990, No. 24).

Selain itu, dalam dokumen-dokumen magisterium terdapat perkembangan pengertian, misalnya tentang tujuan utama perkawinan (anak, persatuan hidup). Dan hal ini sewajarnya demikian.

Maka perselisihan pendapat antara magisterium otentik dan seorang atau sekelompok teolog dapat terjadi; seperti juga antara ajaran kepausan yang belum pasti benar (kebal salah) dan ajaran (beberapa konperensi) uskup.

Tentang tindakan mana yang sebaiknya diambil terdapat perselisihan; Bdk. Konsili Vatikan G 25 dan Instruksi Kongregasi untuk Ajaran Iman tentang Pengangkatan Teolog, No. 26, 27 dan 39 alinea pertama.

Sejak 1998, terjadi suatu pergeseran. Menurut pandangan teolog yang lazim, keputusan kebal salah hanya dapat diambil tentang suatu ajaran iman dan moral (= disiplin) yang diwahyukan (obyek primer yang perlu diimani).

# Kalau ajaran itu tidak diwahyukan, namun berkaitan dengan Wahyu secara inheren, maka keputusan secara kebal salah tentang obyek sekunder ini harus dipegang (tenenda; bahasa Latin) saja.

Apa yang secara konstan selalu diajarkan oleh magisterium ordinarium atau otentik atau di mana-mana itu harus diterima sebagai mengikat, 'walaupun tidak (ingin) dinyatakan secara definitif'.

Namun kadang-kadang sulit untuk menentukan ajaran manakah yang secara konstan (dalam sejarah) atau secara universal (kini) diajarkan para uskup bersama paus.

Surat Apostolik Ordinatio sacerdotalis dan Ensiklik Evangelium vitae menyatakan, bahwa seorang wanita tidak dapat ditahbiskan menjadi imam dan bahwa abortus serta eutanasia selalu merupakan dosa besar.

Ajaran ini menurut Yohanes Paulus II harus dipegang sama seperti definisi ex cathedra, artinya kebal salah (lih. Surat Apostolik Ad tuendam fidem [1998] dengan KHK Kan 750 § 2 yang baru [1998]).

Alasannya, bahwa kaitan inheren suatu ajaran secara historis dan/atau logis dengan Wahyu (bisa jadi baru dapat) disadari dalam peredaran waktu dan karenanya perlu dipegang teguh demi keselamatan abadi. Namun, kedua ajaran tersebut di atas termasuk obyek sekunder.

Pernyataan, bahwa salah satu ajaran yang dikeluarkan magisteriun otentik itu benar-benar termasuk ajaran kebal salah, sendiri bukan kebal salah. Maka, dapat timbul persoalan berikut ini: Kepastian bahwa magisterium ordinarium mengajar suatu kebenaran dengan otoritas kebal salah itu sendiri bersifat tidak kebal salah.

Contoh: Pius XII dalam Ensiklik Humani generis (1950) mengatakan bahwa 'monogenisme secara intern berkaitan erat dengan dogma tentang dosa asal' dan karenanya harus dipegang teguh. Namun di Katekismus Gereja Katolik (1993) pandangan ini tidak dipegang lagi.

Apakah pernyataan tentang kaitan inheren antara monogenisme dan dosa asal itu kurang pasti atau pernyataan (kedua) bahwa ini harus dipegang sebagai ajaran magisterium ordinarium yang pasti dan definitif itu kurang tepat? Maka, perkembangan baru ini kurang jelas.

Sikap orang beriman terhadap keputusan magisterium dapat berbeda-beda sesuai dengan wewenang yang digunakan Konsili Vatikan II mengatakan, bahwa 'semua orang beriman menerima dengan rela, apa yang ditetapkan oleh gembala yang ditahbiskan sebagai guru dan pemimpin yang mewakili Kristus ...' (G 37).

Sikap ini tetap sesuai dengan kewajiban orang beriman untuk mengajukan usul, pendapat dan pandangan yang mungkin berbeda, bila mereka yakin hal itu perlu demi kepentingan Gereja.

KHK Kan 212 § 1 menegaskan, bahwa apa yang dinyatakan para gembala rohani sebagai guru iman, harus diikuti dengan taat dan 'dengan kesadaran atau tanggungjawab masing-masing'.

Maka, penerimaan ajaran dan ketetapan magisterium tidak dilakukan secara buta (Bdk. Pernyataan Konsili Vatikan II tentang Kebebasan Beriman). Persetujuan iman (assensus fidei) perlu dibedakan dari kepatuhan keagamaan (obsequium religiosum), dengan kadar penerimaan yang berbeda terhadap berbagai keputusan magisterium seperti diuraikan antara lain dalam Kan 750-752.

Ancaman hukuman (Kan 1371 No. 1) dirumuskan secara umum, sehingga penolakan terhadap keputusan yang belum pasti benar (misalnya ensiklik) terkena juga, dan karenanya kurang selaras dengan G 25.

Ajaran serta keputusan magisterium perlu diterima (resepsi) oleh umat, supaya berarti dalam kehidupan Gereja. Kalau tidak diterima tinggal huruf saja (lih. Humanae vitae).

Magisterium mengabdi kepada dan melayani seluruh umat beriman. Terdapat suatu lingkaran komunikasi antara iman seluruh Gereja dan magisterium: Magisterium menghimpun dari iman umat beriman apa yang dikemukakan sebagai kebenaran ilahi.

Kesadaran iman seluruh Gereja itu menerima rumusan/keputusan magisterium tersebut sebagai ekspresi apa yang sudah diimani Gereja seluruhnya berkat rahmat Roh Kudus yang menjiwainya. Kebenaran iman diinsyafi secara dialogis.

Sebab, 'kebenaran bersifat simfonis' (v. Balthasar). Proses timbal-balik ini disebut resepsi, yang sangat penting untuk mengerti pergumulan yang pernah terjadi sesudah keputusan-keputusan beberapa Konsili Ekumenis.

Tindakan-tindakan yang terlampau menekankan wewenang magisterium sampai menindak orang yang tidak dapat menerima ajaran yang belum pasti benar dengan alasan yang kuat, hanya akan melemahkan kedudukan dan peranan penting magisterium dalam seluruh Gereja.

Tentu saja, seorang teolog yang mengajar atas nama dan mandat seorang uskup dan mendidik calon-calon imam keuskupan, berkewajiban menguraikan dan menerangkan ajaran Gereja yang resmi, dengan memberi alasan-alasannya mengapa ia mungkin berkeberatan. Akan tetapi, perselisihan seperti ini bukan bahan kotbah untuk mencari popularitas.

Sejak ensiklik Humanae vitae (1968), tugas, peranan dan lingkup magisterium otentik menjadi pokok perdebatan. Sebab, terlalu lama pernyataan otentik ( = resmi; oleh pejabat) diam-diam diperlakukan sebagai yang kebal salah di satu pihak dan sebagai pernyataan yang secara apriori (pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman, sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan bahwa seseorang dapat berpikir dan memiliki asumsi tentang segala sesuatu, sebelum bertemu dengan pengalaman dan akhirnya mengambil kesimpulan) salah juga di lain pihak.

Usaha Vatikan untuk menyelesaikan berbagai masalah ajaran secara administratif dan dengan keputusan (tanpa argumentasi) berlawanan dengan kesadaran umat abad kita ini.

Sebab, apa yang tidak termasuk Wahyu (dan Tradisi) harus dibuktikan dengan argumentasi yang kuat, rupanya peranan magisterium otentik sedang mengalami proses peralihan/penjernihan

Sikap terhadap berbagai pernyataan magisterium: Apa yang diyakini orang beriman lebih kaya dan luas dari pada pernyataan-pernyataan magisterium. Kitab Suci serta apa yang diimani oleh seluruh Gereja pada segala zaman, biasanya tidak (perlu) dinyatakan oleh magisterium.

Apa yang termasuk depositum fidei tidak tergantung dari pernyataan kebal salah. Maka apa yang diimani tidak boleh disempitkan pada apa yang diajarkan/disampaikan dalam berbagai dokumen magisterium. Kitab Suci serta katekismuslah pegangan yang lazim.

Kadang magisterium menekankan kembali ajaran iman yang pasti dalam suatu pernyataan yang sendiri tidak berkualitas kebal salah. Hal ini tidak menurunkan kepastian ajaran yang lazim.

Sebab, magisterium biasa hanya mengingatkan pada ajaran iman yang kurang diperhatikan pada masa tertentu atau oleh pandangan tertentu, misalnya bahwa pembunuhan (orang tidak bersalah; abortus) adalah dosa berat.

Disensus (pandangan berbeda) dengan ajaran magisterium dapat berdasar berbagai alasan, misalnya: krisis iman, krisis otoritas dalam Gereja (karena berbagai sebab), kurangnya pengertian tentang ajaran Gereja, pengaruh media massa dan lain sebagainya.

Para pemegang magisterium yang mengemukakan ajaran tertentu juga dapat menimbulkan disensus karena cara penyampaian kurang dimengerti (misalnya Humanae vitae, penolakan tahbisan perempuan).

(Sumber: Ensiklopedi Gereja, A. Heuken SJ)