Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Mengapa Allah menciptakan manusia paling akhir dari seluruh rangkaian penciptaan-Nya? Ia menciptakan manusia pada hari terakhir di mana segala sesuatu telah diciptakan karena manusia sangat berharga di mata-Nya lebih daripada ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, Semua ini menunjukkan bahwa Allah sangat memperhatikan kebutuhan manusia, sejak manusia itu muncul pertama kali di bumi ini.
(1) Siapakah “Kita” yang diajak ikut serta oleh Tuhan ini? Mengapa pengarang memakai bentuk jamak “Kita” dan bukan bentuk tunggal “Aku”.
Ada banyak tafsiran.
Menurut beberapa Bapa Gereja, “Kita” adalah ketiga Pribadi Tritunggal (Bapa, Putera, dan Roh Kudus). Tafsiran ini lazim di kalangan Gereja, dan masih banyak dipakai sampai sekarang untuk mendasari iman akan Tritunggal.
Namun harus diakui bahwa pendasaran ini tentu tidak kuat. Mengapa? Ayat ini ditulis sekitar abad ke-6 SM oleh para imam Yahudi yang pasti belum mengenal konsep Tritunggal. Selain itu, sampai kini orang Yahudi, yang mempercayai teks ini sebagai Kitab Suci mereka, tidak percaya akan Tritunggal. Rasanya tidak masuk akal bahwa menulis sesuatu yang sama sekali tidak diketahui atau dipikirkannya. Karena itu tafsiran ini kini mulai ditinggalkan.
“Kita” adalah Allah dan manusia. Jadi, ayat 26a harus dipahami dalam arti Allah mengajak manusia (“marilah Kita”) untuk ikut serta dalam penciptaan manusia. Tafsiran inilah yang tampaknya paling tepat, dan kini diikuti oleh banyak penafsir modern.
Terhadap tafsiran seperti ini orang mungkin mengajukan keberatan berikut: bagaimana mungkin manusia yang belum ada sudah diajak ikut serta dalam menciptakan manusia?
Jawabannya sederhana. Keberatan seperti itu muncul karena kita terbatas pada ruang dan waktu, sementara Allah tidak. Seperti Petrus dalam suratnya mengatakan: “Di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari (2 Ptr 3:8).
Keakuratan tafsiran ini tampak dari pemakaian kata kerja “asa” (membuat) pada ayat 26 dan “bara” (mencipta) ayat 27.
(2) Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan (asa) manusia (adam) menurut gambar dan rupa Kita. Kata ‘asa’ yang berarti membuat atau menjadikan, dipakai bisa untuk Allah ataupun manusia sebagai subjek.
Allah menyatakan rencana-Nya mengajak manusia untuk bekerja sama membuat manusia menurut gambar dan rupa Kita (Allah dan manusia).
Manusia diciptakan setengah jadi, belum sempurna sebagai manusia, artinya ia selalu dalam proses menjadi manusia sejati, manusia yang memiliki gambar dan rupa Allah, manusia yang ilahi dan insani.
Proses pengembangan diri ini merupakan perwujudan kreavitas manusia yang sejak semula direncanakan oleh Allah mewakili diri-Nya di dunia ini.
Jadi, rencana Allah sejak semula, sejak belum diciptakan, Allah sudah merencanakan manusia serupa dengan diri-Nya, yaitu kreatif.
Manusia dianugerahi akal budi (reason) yang terdiri dari akal (intellect) dan kehendak (will). Akal budi inilah yang membuat manusia mempunyai kehendak bebas untuk berkata “ya” atau “tidak” terhadap Pencipta.
Gambar ini rusak bahkan hilang karena manusia berdosa (tidak terarah kepada Allah). Satu-satunya manusia sejati, manusia yang bebas dari dosa, ialah Yesus Kristus. Ia bukan saja memiliki gambar dan rupa manusia melainkan juga gambar Allah (Bdk. Kol 1:15; Yoh 14:9).
Jika seseorang mau mengetahui manusia sejati, ia harus melihat Yesus, sebab Dia mempunyai dua rupa: Dia sungguh Allah, sungguh manusia dan bukan manusia setengah jadi.
Jika seseorang mau menjadi manusia sejati seperti yang direncanakan oleh Allah, ia harus meneladani Yesus, menjadi serupa dengan-Nya (Rm 8:29).
Jika kita melihat Kristus maka tampak bahwa unsur utama Allah bukanlah akal budi melainkan kasih dan keterarahan total kepada Allah. Kasih-Nya begitu besar sampai Ia rela melayani dan menyerahkan nyawa-Nya untuk keselamatan manusia (Mrk 10:45; Yoh 15:13).
Seluruh hidupnya terarah kepada Allah dan Dia datang hanya untuk melakukan kehendak Allah (Yoh 4:34). Selain itu, Ia juga berkuasa penuh atas alam seperti Ia buktikan dalam meredakan badai, berjalan di atas air, dan menyembuhkan pelbagai macam penyakit.
Sudahkah hidup kita dalam kasih dan sepenuhnya terarah kepada Allah? Atau adakah kita lebih terarah kepada hal-hal duniawi seperti kekayaan dan kenikmatan jasmani?
Memiliki martabat sebagai citra Allah mengandaikan relasi yang dekat dengan Allah, seperti manusia dan gambarnya di cermin, atau seperti bapa dan anak.
Manusia menghadirkan Allah di dunia ini bukan karena sifat dan keunggulannya dibandingkan dengan ciptaan lain, melainkan kedekatannya dengan Allah.
Relasi yang dekat membuat manusia mengenal Allah dan memiliki gambaran yang benar tentang Allah. Pengenalan ini menjadi sumber pengenalan manusia akan dirinya.
Ketika mengenal Allah sebagai pencipta, manusia mengenal dirinya sebagai ciptaan yang serupa dengan Allah.
Ketika relasi ini rusak dan manusia tidak lagi terarah kepada Allah serta menempatkan-Nya sebagai asal dan tujuan akhir hidupnya, bukan saja martabatnya terkoyak melainkan identitasnya.
Manusia mengalami krisis identitas, keterkoyakan dan keterbelahan kepribadian serta keterasingan diri. Hal yang demikian ini banyak dialami oleh manusia dewasa ini.
Mereka merasa seperti terputus dengan dirinya sendiri, orang lain dan Tuhan karena ruang spiritual dalam dirinya terkoyak.
[27] Maka Allah menciptakan (bara) manusia (adam) itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Allah menciptakan adam. Apa yang dimaksud adam? Dari sudut etimologis, tampaknya kata Ibrani ‘adam’ dari akar kata ‘dm’ yang berarti merah. Hal ini mungkin merujuk ke warna kulit manusia yang kemerah-merahan ketika lahir. Selain itu, sepertinya juga ada permainan kata antara adam (manusia) dan adamah (tanah) yang menekankan bahwa manusia berasal dari tanah (Bdk. Kej 2:7).
Yang jelas, adam di sini bukanlah nama diri, melainkan kata benda umum yang berarti manusia (baik laki-laki maupun perempuan) atau kemanusiaan.
Kemudian pada Kej 2:22 ia digunakan dalam arti orang laki-laki yang dipertentangkan dengan perempuan, Hawa, namun dalam terjemahannya tetap dipakai kata manusia. Baru pada Kej 4:25 Adam mulai digunakan sebagai nama diri.
Ketika manusia (adam) diciptakan oleh Allah, manusia itu satu, karena dikatakan “menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia”
Kemudian Allah membuat manusia yang satu ini menjadi jamak (mereka): “laki-laki (zakar) dan perempuan (neqebah) diciptakan-Nya mereka”.
Dipakainya kata zakar (jenis laki-laki/maskulinitas dan neqebah (jenis perempuan/feminitas) dan bukan is (orang laki-laki) dan issa (orang perempuan) mungkin mau menunjukkan bahwa kemanusiaan itu adalah perpaduan laki-laki (maskulinitas) dan perempuan (feminitas).
Manusia bukanlah perempuan semata-mata atau laki-laki saja. Setiap manusia memiliki dalam dirinya unsur feminitas dan maskulinitas. Itulah salah satu sebab mengapa ia kreatif.
Manusia adalah gambar Allah ketika mereka satu (tunggal “ia”), ketika ia merupakan persatuan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan gender ini dimaksudkan untuk saling mengisi dan melengkapi agar manusia menjadi semakin kreatif.
Ketika laki-laki dan perempuan ada dalam relasi yang harmonis, ada dalam kesatuan, mereka semakin mendekati gambar Sang Pencipta. Karena ketika laki-laki dan perempuan bersatu (bersetubuh) mereka kreatif (melahirkan anak) seperti Allah kreatif.
[28] Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "(1) Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan (3) taklukkanlah itu, (2) berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
» Tuhan tidak saja menciptakan, tetapi memberikan kesempatan untuk bekerjasama dengan-Nya mewujudkan rencana-Nya (KGK 306). Kepada manusia diberikan kuasa untuk memenuhi dan menaklukkan bumi (Kej 1:26-28); mengambil bagian dalam karya penciptaan, dan mengusahakan keseimbangannya demi kebaikannya dan kebaikan sesama.
Manusia diundang untuk mengambil bagian dalam rencana Allah, melalui perbuatannya, doa-doanya maupun penderitaannya, dan dengan demikian menjadi “kawan sekerja Allah” (1 Kor 3:9, 1 Tes 3:2; Kol 4:11).
Menjadi penakluk bumi bukan dengan merusak bumi, sebab Tuhan memanggil manusia laki-laki dan perempuan untuk menjadi gambaran Allah yang menyayangi semua yang ada dan mengambil bagian dalam penyelenggaraan bagi ciptaan yang lain dan manusia bertanggungjawab atas bumi kepada Tuhan yang telah mempercayakannya kepadanya (KGK 373).
Kreativitas manusia tersirat dalam berkat yang diberikan kepadanya setelah ia diciptakan. Jadi Allah memberkati manusia agar ia berkembang biak, kreatif membuat anak dan berkuasa atas ciptaan lain.
(1) Mendapat anak adalah tanda berkat atau kasih Allah untuk manusia (Bdk Mzm 127:3). Setiap pasangan suami istri sepatutnya menerima dan menghidupi tanggung jawab atas anugerah itu, yakni tanggung jawab memberi hidup!
(2) Namun berkat untuk berkuasa atas ciptaan lain sering disalahartikan sebagai pembenaran tindak kekerasan manusia terhadap ciptaan lain. Merasa mendapat berkat khusus dari Allah manusia mengelola alam sewenang-wenang hingga merusak keseimbangan dan kelestarian alam.
(3) Memang sepintas berkat Allah agar manusia “menaklukkan” dan “menguasai” segala jenis binatang kedengarannya berbau kekerasan.
Marilah kita melihat konteks Kej 1:1-2:4a. Konteks ini berbicara tentang Allah sebagai Pencipta yang menciptakan semesta alam ini baik, indah, teratur, dan harmonis.
Adalah sangat tidak masuk akal bila pada puncak karya penciptaan-Nya, Ia memerintahkan manusia untuk memperlakukan dan mengelola alam semesta secara sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab.
Selain itu, berkuasa merupakan bentuk gambar Allah dalam diri manusia, karena itu dalam mengejawantahkannya manusia harus bercermin pada Allah.
Allah menunjukkan kekuasaan-Nya tanpa kekerasan, tanpa menghancurkan apa-apa. Bahkan kuasa kejahatan pun tidak dihancurkan-Nya, sebaliknya dari kejahatan Ia mampu melahirkan kebaikan.
Jadi, tidak ada alasan untuk mengartikan ayat ini sebagai hak manusia melakukan tindak kekerasan atas binatang dan ciptaan yang lainnya.
Demikian gambar dan rupa Allah dalam diri manusia terlihat pertama-tama dalam kapasitas kreatif dan kuasa yang dimiliki manusia. Kapasitas ini ada terutama karena manusia memiliki akal budi.
Dengan karya-karyanya yang kreatif manusia melanjutkan karya penciptaan Allah, mencerminkan, dan mewakili Allah - Pencipta di bumi.
Ketika kekuasaan itu buah kreativitas manusia yang mencerminkan Allah di dunia, ia memperlihatkan sesuatu tentang Allah: kasih, kemurahan hati dan kebaikan.
[29-30]. Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.
Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya."
Perbedaan pemberian makan ini menghindari konflik dengan kekerasan antara manusia dan binatang dalam memperebutkan makanan. Manusia juga tidak makan daging binatang sehingga tidak perlu melakukan kekerasan menyembelih dan mencurahkan darah binatang.
Baru setelah air bah, daging binatang boleh dimakan manusia (Kej 9:3-4). Alasannya? Karena pada saat itu tanah belum menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Jadi, boleh manusia makan daging binatang yang ada dalam bahtera.
(Sumber: Warta KPI TL No. No.143/III/2017 » Perempuan sumber dosa?, Dr Penka Yasua).