Pages

Senin, 27 Maret 2017

Menata moralitas keluarga

Pada tahun 1997, dalam surat Gembala Prapaskah mengatakan bahwa “ada kemerosotan moral hampir di seluruh bidang kehidupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” – dalam bentuk berbagai konflik dan kekerasan, macetnya kehidupan ekonomi, rusaknya peradilan, dan tidak terjadinya keamanan.

Dalam kehidupan bersama kita memerlukan rambu-rambu kehidupan bersama yaitu: norma/pedoman yang menata sikap batin dan perilaku/tingkah laku lahiriah dalam kaitan dengan diri sendiri, Tuhan dan sesama (terungkap dalam Sepuluh Perintah Allah).

Bagi orang Katolik ajaran moral bersumber pada Kitab Suci dan ajaran Gereja yang dibimbing Roh Kudus (selalu mengacu pada Kristus, baik sikap, penampilan maupun ajaran-Nya – cinta kasih - menghasilkan buah-buah kasih dalam hidup kita sehingga menyejukkan dunia) yang juga didukung dengan pengamatan dan penalaran akal budi (Teologi Moral). 

Namun moral Katolik bukan melulu berisi perintah dan larangan. Ada yang lebih mendasar, yaitu sikap batin yang diyakini tepat dan wajib diamalkan.

Merosot/rusaknya moral berarti manusia kehilangan jati dirinya – rusaknya benteng kekuatan, seperti hilangnya sikap saling menghargai, hilangnya penghargaan terhadap hak azasi, pengingkaran kebebasan manusia; keadaan ini menumbuhkan konflik sosial. Manusia tidak bersahabat lagi, sesama dianggap saingan/musuh. Ada pemaksaan kehendak dan tindak kekerasan.

Ciri-ciri nilai moral:

- Berkaitan dengan tanggungjawab kita. Mis: keadilan, kejujuran dsb.

- Berkaitan dengan hatinurani/suara hati – harus terbukti dalam kenyataan melalui suatu perbuatan. Suara hati berperan menilai apakah perbuatan yang akan, sedang atau sudah dilakukan itu baik atau buruk.

- Mewajibkan – nilai kemanusiaan itu mutlak harus/wajib dilakukan seperti keadilan, kejujuran. Namun nilai lain seperti nilai estetis tidak mewajibkan kita. Misalnya kalau saya mengacuhkannya, maka saya tidak bisa dipersalahkan.

Dalam keluarga anak mendapat pengalaman pertama bagaimana hidup bermoral itu. Kita perlu menciptakan iklim mendukung, sehingga tidak ada jarak antara anak dan ortu. Perlu ada keakraban, sehingga saling terbuka dan percaya di antara anak dan ortu. 

Keakraban dalam keluarga mendukung keberhasilan pendidikan moral dalam keluarga, tetapi ada penghambat yang harus kita waspadai lebih dahulu ialah kekerasan keluarga (suami/istri/anak) , meskipun dalam ukuran kecil, bukan dengan sengaja, tapi dampaknya melukai batinnya. 

- Kekerasan mental – Dasar malas. Mau jadi apa kamu nanti! ; Kalau nilaimu seperti ini awas! Kamu jangan kalah dengan teman-temanmu.; Berapa banyaknya biaya les! Nggak ada hasilnya – akibat ambisi ortu, meskipun dengan tujuan baik. 

- Kekerasan fisik 
- Kekerasan seksual 

Tumbuhnya harga diri mendukung proses pendidikan moral dalam keluarga.

Rasa rendah diri membuat orang canggung/malah menghindar untuk bertemu dengan orang lain – merasa tidak berharga/ bertopeng dengan menyembunyikan kekurangan, seperti bodoh, miskin, dsb. Tujuannya agar diterima, dihargai/dianggap penting.

Harga diri dan percaya diri makin tumbuh dan kuat jika ada perhatian, tanpa pernah memotong pembicaraan, diberi alternatif sebagai pertimbangan, dan disuruh memutuskan sendiri.

Manusia bermoral - manusia yang mengetahui

- Arah/tujuan hidupnya - Tahu dari mana asalnya dan ke mana tujuan hidupnya – Tuhan. Hanya dengan inilah dia bisa menikmati kebahagiaan sejati, sempurna, sebab bersama Tuhan. Kekayaan, kedudukan, sukses dalam usaha/pekerjaan hanyalah sarana/jalan ke tujuan akhir. 

- Berprinsip - Bertekad menjadi manusia baik. Berusaha terus menerus membiasakan diri untuk menjadi jujur, biarpun banyak tantangan, sehingga lama kelamaan menjadi sikap saya menjadi orang jujur. Sikap yang sedemikian ini dapat berkembang meresap, sehingga menjadi suatu keutamaan/kebajikan. 

- Berkeutamaan – Karena telah membiasakan diri bersikap jujur, adil, dsb, disebabkan banyak latihan. Sehingga menjadi miliknya, wataknya menjadi orang baik, jujur, adil, dsb. 

Buah manusia bermoral ialah dia menjadi berkat bagi orang lain; sikap, penampilan dan kata-katanya menyejukkan, kejujurannya, menaruh kasih, tenggang rasa, bisa hidup bersama orang lain, bisa menerima-menghargai perbedaan pendapat yang ada.

Jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu (Ef 6:4).

Nasehat berupa keteladanan (Tit 2:2-5) 

Laki-laki yang tua – hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan. 

Perempuan-perempuan yang tua – hendaklah hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya, hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangga, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang. 

(Warta KPI TL No. 15/VII/2005 » Menata Moralitas Keluarga, Rm. A.S.P. Poespowardojo, O.Carm.)