Setiap manusia tentunya sadar bahwa tidaklah mudah menyatukan dua orang yang berlatar belakang lingkungan berbeda (kepribadian, kebutuhan, tujuan).
Landasan utama kesetiaan suami-istri adalah kesetiaan Allah sendiri.
Allah yang kita imani adalah Allah yang setia memegang perjanjian (Ul 7:6). Allah setia dalam perkataan dan perbuatan (Mzm 145:13, 33:4). Tak pernah ingkar janji itu terungkap secara penuh dalam kasih Kristus kepada Israel Baru yang mengorbankan diri demi keselamatan sahabat-sahabatnya. Kasih-Nya kepada manusia adalah kasih yang permanen tak pernah ditarik kembali.
Kesetiaan berbicara tentang keteguhan hati, kepatuhan/ketaatan sehingga dapat bersabar menanggung beban apapun yang datang dalam hidup.
Kasih Kristus secara total tanpa cadangan itu memberi petunjuk kepada suami-istri Kristen demikian juga.
Kiat untuk mempertahankan kesetiaan perkawinan:
- Menghancurkan keegoisan/ketegaran hati (orang egois adalah orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan bersama).
- Menggeser pusat perhatian (amanat Yesus untuk meninggalkan ayah/ibu setelah memasuki lembaga perkawinan, pusat cinta dan perhatian suami/istri dan anak-anak yang dipercayakan Tuhan, bukan lagi terutama pada orang tua—bukan berarti tidak berbakti pada orang tua lagi)
- Mengandalkan Tuhan.
Apa yang telah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6).
Marilah mengenal dan bersungguh mengenal Tuhan, sebab Aku menyukai kasih setia (Hos 6:3,6).
(Sumber: Warta KPI TL No. 03/VII/2004).