18.00 -
*Kitab Suci*
Tolle, Lege
Monika, seorang penganut agama Kristen yang taat dan saleh. Ketika berusia 20 tahun, dia menikah dengan Patrisius, seorang penyembah berhala. Selain itu suaminya selalu mencemoohkan dan menertawakan usaha kerasnya dalam mendidik Agustinus (menanamkan benih iman Kristen), agar menjadi seorang pemuda yang luhur budinya. Semua itu ditanggungnya dengan sabar sambil tekun berdoa untuk memohon campur tangan Tuhan.
Cara hidup Agustinus semakin menggelisahkan hati ibunya karena telah meninggalkan imannya dan memeluk agama Manikeisme yang sesat itu. Lebih dari itu, di luar perkawinannya yang sah, ia hidup dengan seorang wanita hingga melahirkan seorang anak (lih.
Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik (1 Kor 15:33).
Agustinus berkunjung kepada Simplicianus, bapak rohani Ambrosius. Simplicianus menceritakan kepada Agustinus seluruh kisah pertobatan dari salah seorang yang bernama Victorinus, seorang yang terpandang dan berpengetahuan luas menjadi orang Kristen.
Cerita itu cukup mengesankan sehingga Agustinus mendengarkan dengan sungguh-sungguh tiap kata yang diucapkannya.
Sesudah pertemuannya dengan Simplicianus, Agustinus mulai berkobar semangatnya untuk menuruti teladannya, bahkan dia sering diantar oleh Alypius pergi ke Gereja setiap kali dapat meluangkan waktu.
Cerita itu cukup mengesankan sehingga Agustinus mendengarkan dengan sungguh-sungguh tiap kata yang diucapkannya.
Sesudah pertemuannya dengan Simplicianus, Agustinus mulai berkobar semangatnya untuk menuruti teladannya, bahkan dia sering diantar oleh Alypius pergi ke Gereja setiap kali dapat meluangkan waktu.
Pada suatu ketika Pontisianus, seorang Kristen yang berpangkat tinggi dalam keluarga Kaisar dengan tak terduga-duga berkunjung kepada Agustinus.
Pada kunjungan itu, Pontisianus kebetulan melihat sebuah buku di atas meja. Ia mengambilnya, dan ia heran melihat bahwa buku itu mengandung surat-surat rasul Paulus.
Agustinus menjelaskan bahwa ia sedang mempelajari tulisan Paulus dengan amat teliti. Lalu pembicaraan beralih ke topik lain.
Pontisianus mulai menceritakan tentang Antonius, seorang rahib di Mesir yang telah berpulang tiga puluh tahun sebelumnya dengan meninggalkan beberapa murid yang bertambah terus jumlahnya dan pengaruhnya di dalam seluruh Gereja.
Teristimewa pada kunjungan Pontisianus bersama Kaesar Trier di Garmania, mereka amat terpesona oleh kesaksian hidup membiara, mereka menjumpai beberapa rahib yang menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesucian. Mereka juga menemukan satu eksemplar tulisan tentang riwayat hidup Antonius.
Sambil membaca buku itu, mereka merasakan suatu ketidakpuasan dengan hal-hal duniawi dan mengalami panggilan mendalam untuk mengikuti teladan Antonius dalam kesucian hidupnya.
Setelah Pontisianus menyelesaikan ceritanya, Agustinus berpaling ke dalam dirinya, katanya: “Ya Tuhan, Kaubalikkan aku kembali menatap diriku, Kautarik aku dari balik punggungku tempat yang kuambil supaya mataku tidak perlu menatapku. Demikianlah aku dirongrong dalam batinku, hatiku terguncang oleh rasa malu yang amat mengerikan.”
Sejak saat itu ia mulai menyadari bahwa pribadinya terbagi-bagi. Ia berniat untuk hidup suci, tetapi hawa nafsunya tidak terkendali, katanya: “Aku meraung-raung mengibakan. Berapa lama lagi? Berapa lama lagi? Besok, selalu besok. Mengapa tidak sekarang juga? Mengapa tidak langsung dihabiskan kekejianku?”
Pada kunjungan itu, Pontisianus kebetulan melihat sebuah buku di atas meja. Ia mengambilnya, dan ia heran melihat bahwa buku itu mengandung surat-surat rasul Paulus.
Agustinus menjelaskan bahwa ia sedang mempelajari tulisan Paulus dengan amat teliti. Lalu pembicaraan beralih ke topik lain.
Pontisianus mulai menceritakan tentang Antonius, seorang rahib di Mesir yang telah berpulang tiga puluh tahun sebelumnya dengan meninggalkan beberapa murid yang bertambah terus jumlahnya dan pengaruhnya di dalam seluruh Gereja.
Teristimewa pada kunjungan Pontisianus bersama Kaesar Trier di Garmania, mereka amat terpesona oleh kesaksian hidup membiara, mereka menjumpai beberapa rahib yang menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesucian. Mereka juga menemukan satu eksemplar tulisan tentang riwayat hidup Antonius.
Sambil membaca buku itu, mereka merasakan suatu ketidakpuasan dengan hal-hal duniawi dan mengalami panggilan mendalam untuk mengikuti teladan Antonius dalam kesucian hidupnya.
Setelah Pontisianus menyelesaikan ceritanya, Agustinus berpaling ke dalam dirinya, katanya: “Ya Tuhan, Kaubalikkan aku kembali menatap diriku, Kautarik aku dari balik punggungku tempat yang kuambil supaya mataku tidak perlu menatapku. Demikianlah aku dirongrong dalam batinku, hatiku terguncang oleh rasa malu yang amat mengerikan.”
Sejak saat itu ia mulai menyadari bahwa pribadinya terbagi-bagi. Ia berniat untuk hidup suci, tetapi hawa nafsunya tidak terkendali, katanya: “Aku meraung-raung mengibakan. Berapa lama lagi? Berapa lama lagi? Besok, selalu besok. Mengapa tidak sekarang juga? Mengapa tidak langsung dihabiskan kekejianku?”
Timbullah badai besar, sarat dengan hujan air mata yang lebat. Supaya air mata dan keluh kesah dapat kuumbar sampai habis, aku bangkit dan menjauh dari Alypius, sebab kesendirian menurutku lebih cocok untuk karya air mata.
Aku menarik diri sampai cukup jauh. Maka terdengar olehku suara yang datang dari rumah tetangga, suara itu berkata dengan nada bernyanyi dan sering diulang-ulanginya: “Tolle, lege!” (Ambillah dan bacalah!).
Kubendung serangan air mataku dan aku bangkit, sebab kejadian itu kuanggap tak lain dari perintah Tuhan dan mendesak supaya kubuka kitab dan supaya kubaca apa yang kutemukan pada bab yang pertama-tama kutemui.
Buku kupegang, kubuka dan kubaca dalam hati bab pertama yang kepergok mataku: “Marilah kita hidup sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Rm 13:13-14).
Buku kupegang, kubuka dan kubaca dalam hati bab pertama yang kepergok mataku: “Marilah kita hidup sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Rm 13:13-14).
Dengan kata-kata terakhir nas itu, ada cahaya keselamatan tercurah ke dalam hatiku dan segala kegelapan keraguan menghilang.
Doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; Kita mendengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi (Ambrosius, KGK 2653)
Kitab Suci adalah buku utama orang Kristiani, yang bisa menjadi sarana perjumpaan dengan Tuhan, menjadi inspirasi dan pegangan hidup.
Kitab Suci merupakan kumpulan buku yang ditulis oleh penulis suci dengan ilham dari Allah. Dengan mengetahui maksud penulis suci untuk umat pada jamannya, kita terlindung dari kebiasaan untuk mengartikan teks dengan semena-mena. Buku-buku tersebut berisi tulisan tentang wahyu Tuhan dan rencana keselamatan umat manusia.
Kitab Suci merupakan kumpulan buku yang ditulis oleh penulis suci dengan ilham dari Allah. Dengan mengetahui maksud penulis suci untuk umat pada jamannya, kita terlindung dari kebiasaan untuk mengartikan teks dengan semena-mena. Buku-buku tersebut berisi tulisan tentang wahyu Tuhan dan rencana keselamatan umat manusia.
Agama Kristen adalah agama “Sabda” Allah, “bukan sabda yang ditulis dan bisu, melainkan Sabda yang menjadi manusia dan hidup” (Bernard, KGK 108)
Beberapa ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan.
Selanjutnya, kaum pagan (non Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan di sana.
Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Selanjutnya, kaum pagan (non Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan di sana.
Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja, seperti kasus-kasus kaum heretic, pembangkang gereja yang berusaha mendukung dokrin-dokrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah diganti isinya.
Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor human error, mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.
Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor human error, mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.
Setelah meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente (tahun 1546) Gereja Katolik mensahkan Vulgate, versi latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi yang diakui secara sah yang diperbolehkan kepada umat Katolik.
Meskipun Konsili Vatikan II sudah menganjurkan umat untuk sering membaca Kitab Suci, tetapi Kitab ini masih asing bagi kehidupan sebagian umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sebagian umat merasa lebih aman mengikuti ajaran para pastor atau para ahli, yang dianggap lebih tahu segala hal mengenai Kitab Suci.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sebagian umat merasa lebih aman mengikuti ajaran para pastor atau para ahli, yang dianggap lebih tahu segala hal mengenai Kitab Suci.
Alasan sebagian umat yang malas membaca Kitab Suci secara rutin
· Membuang waktu dan pikiran saja.
· Menjemukan dan ketinggalan zaman.
· Merasa kesulitan memahami ayat-ayat Kitab Suci.
· Takut salah menafsirkannya
Kitab Suci adalah “surat cinta Allah” yang mencapai puncaknya pada diri Yesus Kristus.
Sebagai orang Kristen, tentu akan lebih menyenangkan kalau kita mulai membaca tulisan-tulisan Injil, mengenal Yesus Kristus, lalu diikuti bagian lain Perjanjian Baru.
Setelah itu kita membaca Perjanjian Lama dalam terang Yesus Kristus. Jika demikian, lalu kita bisa mengerti apa-apa yang ditulis dalam Perjanjian Baru, demikian juga sebaliknya.
Sebagai orang Kristen, tentu akan lebih menyenangkan kalau kita mulai membaca tulisan-tulisan Injil, mengenal Yesus Kristus, lalu diikuti bagian lain Perjanjian Baru.
Setelah itu kita membaca Perjanjian Lama dalam terang Yesus Kristus. Jika demikian, lalu kita bisa mengerti apa-apa yang ditulis dalam Perjanjian Baru, demikian juga sebaliknya.
Kesatuan kedua Perjanjian mengalir dari kesatuan rencana dan wahyu Allah. Perjanjian Lama mempersiapkan yang Baru, sedangkan yang Baru menyempurnakan yang Lama. Kedua-duanya saling menjelaskan (KGK 140).
Selubung itu masih tetap menyelubungi mereka, jika mereka membaca Perjanjian Lama tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya. Apabila hati seseorang berbalik kepada Tuhan, maka selubung itu diambil dari padanya (2 Kor 3:14-16)
Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka.
Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan bercerita yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis. “Sebab dengan cara-cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya” (DV 12,2).
Kitab Suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan dalam Roh itu juga (DV 12, 3).
Untuk penafsiran Kitab Suci sesuai dengan Roh, yang telah mengilhaminya, Konsili Vatikan II memberikan tiga kriteria:
Untuk penafsiran Kitab Suci sesuai dengan Roh, yang telah mengilhaminya, Konsili Vatikan II memberikan tiga kriteria:
1. Memperhatikan dengan seksama “isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci”
Kitab Suci adalah satu kesatuan atas dasar kesatuan rencana Allah yang pusat dan hatinya adalah Yesus Kristus. Sesudah sengsara-Nya Kitab Suci terbuka, agar mereka yang sekarang memahaminya, dapat mempertimbangkan dan membeda-bedakan, bagaimana nubuat-nubuat harus ditafsirkan (Tomas Aquinas).
2. Membaca Kitab Suci “dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja”
Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen (kertas dari kulit). Gereja menyimpan dalam tradisinya kenangan yang hidup akan Sabda Allah, dan Roh Kudus memberi kepadanya penafsiran rohani mengenai Kitab Suci … “menurut arti rohani yang dikaruniakan Roh kepada Gereja” (Origenes).
Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen (kertas dari kulit). Gereja menyimpan dalam tradisinya kenangan yang hidup akan Sabda Allah, dan Roh Kudus memberi kepadanya penafsiran rohani mengenai Kitab Suci … “menurut arti rohani yang dikaruniakan Roh kepada Gereja” (Origenes).
3. Memperhatikan “analogi iman”
Dengan “analogi iman” dimaksudkan hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama lain dan dalam rencana keseluruhan wahyu.
Kalau membaca Kitab Suci, carilah dan kamu akan menemukan dalam renungan; Kalau berdoa, ketuklah dan bagimu akan dibukakan melalui meditasi (KGK 2654)
(Sumber: Warta KPI TL No.114/X/2013 » Tolle et Lege, Iswadi Prayidno, Pr.; Agustinus Tahanan Tuhan, Mgr. P. van Diepen, OSA; KGK 109-114 ).