Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" (bahasa Sansekerta) berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi (bahasa Latin) berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Jika seseorang agamanya kuat, maka dia akan memiliki kekuatan spiritual di dalam dirinya. Hal ini akan nampak dalam perbuatannya.
Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak 2:26), perbuatan nyata adalah perbuatan iman (St. Theresia Lisieux). Beriman adalah hasil relasi yang baik dengan Tuhan, menaruh kepercayaan penuh kepada-Nya.
Jadi, agama berkaitan dengan iman, tetapi tidak identik dengannya. Agama merupakan ungkapan lahiriah dan konkret dari hubungan batin manusia dengan Allah. Inisiatif Allah adalah Wahyu dan jawaban manusia kepada-Nya adalah iman.
Iman sebagai sikap dan sebagai penyerahan-diri manusia kepada Allah yang tidak kelihatan, tetapi terwujud dalam berbagai pengungkapan sikap yang bercorak pribadi ataupun sosial. Jadi, agama ada demi iman yang pada intinya adalah sikap pribadi orang beragama.
Oleh karena itu, bukan hanya salah, melainkan fatal, jika "beragama" diartikan terutama sebagai tekad untuk menjalankan kewajiban dan hukum agama, kehilangan jiwanya dan merosot akhlaknya.
Sikap fanatik itu menyerupai bias (kesalahan yang konsisten dalam memperkirakan sebuah nilai) dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, yang disebabkan adanya kesalahan dalam sistem persepsi.
Jalan pikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai keyakinannya. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain.
Fanatisme juga bisa melahirkan manusia-manusia yang berhati kerdil, pola pikir yang sempit, keterbatasan wawasan dan egoisme yang berlebihan yang akan berakhir dengan bentrok/perselisihan antar manusia.
Orang yang mempunyai agama yang mendalam (kuat) akan lahir spiritualitas yang membawa dia hidup secara baik. Kalau agamanya hanya permukaan saja, maka spiritualitasnya tidak kuat.
Maka di dalam suatu perusahaan/organisasi selalu dicari seseorang yang spiritualitasnya kuat, bukan agama seseorang. Jika spirit yang menggerakkan itu baik, maka perusahaan/organisasi itu akan menjadi lebih baik. Kalau spiritualitas tidak kuat, maka orang tersebut hanya akan menimbulkan masalah, mempersoalkan hal-hal yang sepele, misalnya: mempersoalkan tempat ibadah.
Apa itu Spiritulitas? Spiritus (bahasa Latin) = Roh/Jiwa/Semangat; Ruach (bahasa Ibrani) – Pneuma (bahasa Yunani) = Angin/Nafas.
Jadi Spiritualitas secara sederhana bisa disebut sebagai “Semangat dari dalam yang menggerakan sesuatu”, yang mengacu pada nilai-nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang.
Oleh karena itu Spiritualitas Kristen bersumber pada Allah Tritunggal Yang Maha Kudus.
Misalnya: kalau orang merasa kebahagiaan itu berasal dari dirinya sendiri, kadangkala kebahagian itu hanya semu saja.
Tapi kalau merasa kebahagiaan ini rahmat dari Tuhan, maka dia akan bersyukur dan kebahagiaan itu akan dibagikan kepada orang lain. Karena dia menyadari bahwa sebagai orang Kristiani tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia (2 Kor 5:15). Jadi, orang Kristiani dipanggil untuk memperoleh berkat dan memberkati (1 Ptr 3:9).
Marilah kita belajar dari spiritualitas Santa Theresia Lisieux, yaitu Spiritualitas “jalan kecil”
1. Membuat Yesus dicintai semua orang
Apa tujuan terdalam hidup orang beriman? Memancarkan kemuliaan-Nya.
Allah dari mulanya telah memilih kita untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kita dan dalam kebenaran yang kita percayai. Untuk itulah Ia telah memanggil kita oleh Injil sehingga kita boleh memperoleh kemuliaan Yesus Kristus, Tuhan kita (2 Tes 2:13-14). Jadi, hendaklah kita menjadi kudus di dalam seluruh hidup kita sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kita (1 Ptr 1:15).
Kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan. Kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar (2 Kor 3:18).
Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup, kehidupan manusia adalah memandang Allah (KGK 294). Semua orang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku (DS 3025; Yes 43:7).
Bagi Theresia Lisieux; hidup adalah Kristus. Dia menulis dalam catatannya: “Ketika di dalam sukacita yang kegila-gilaan, aku berseru: Oh Yesus, Kekasih-ku, akhirnya kutemukan panggilanku. Panggilan-ku ialah Cinta Kasih”
Dan ketika hendak menghembuskan nafas terakhir, sambil memandang Salib, Theresia Lisieux pun berkata untuk menutup seluruh hidupnya; “Oh Tuhan-ku, aku mencintai-Mu”
2. Non multa sed multum
Multa = kuantitas (jumlah); multum = kualitas (mutu)
Theresia Lisieux mengalami penderitaan demi penderitaan dalam hidup-nya. Hidupnya singkat (hanya 24 tahun), tetapi hidupnya dijalankannya dengan nilai hidup yang berkualitas
Tidak pernah ke tanah misi, tetapi perhatiannya terhadap misi luar biasa besar. Kita memang mesti belajar jalankan hidup yang berkualitas. Komunitas-komunitas juga harus membangun terus menerus kualitas hidup berkomunitas.
Marilah kita belajar hidup komunitas dari “Kisah Satu Jiwa” (otobiografi Santa Theresia Lisieux).
1. Kesatuan dalam doa (relasi dengan Tuhan)
Doa adalah sebuah ungkapan iman. Kalau orang kesulitan dalam doa, dia sebenarnya kesulitan dengan imannya.
Iman adalah kita datang kepada Tuhan, percaya kepada-Nya dan mengharapkan sesuatu kepada-Nya.
Theresia mengatakan bahwa dia berbicara apa adanya kepada Allah sesuai dengan dorongan hatinya. Ia tidak perlu menyusun sebuah kalimat yang lengkap dan sempurna (doa pribadi). Karena dia sadar, Allah senantiasa memahaminya.
Dia pun berkata, “Bagi saya doa adalah sebuah luapan hati, sebuah pandangan sederhana ke sorga. Suatu luapan syukur dan cinta, baik dalam suka maupun dalam duka.”
Kata-kata Theresia ini pun dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik no. 2558, berdasarkan pertanyaan apa itu doa
2. Kesatuan dalam komunitas persaudaraan (relasi dengan sesama)
Hanya dengan kekuatan iman, orang bisa membangun sebuah kehidupan komunitas persaudaraan yang menyenangkan. Komunitas persaudaraan lalu menjadi sebuah kesempatan untuk berbagi pengalaman akan Allah.
Itulah juga yang dihayati oleh Theresia dalam hidup komunitasnya. Kendati ia mengalami banyak kendala atau kesulitan dengan rekan kerja atau sesama suster dalam komunitas, Theresia tetap mau bertekun dan bergabung dalam hidup komunitas dan terlibat dalam membangun sebuah persaudaraan.
Theresia sungguh mencintai sesamanya apa adanya. Dia pernah berkata, “Akh, kini saya tahu bahwa cinta kasih kepada sesama yang sempurna terletak dalam menanggung keterbatasan sesama, tidak heran melihat kelemahan mereka, dan merasa senang bila melihat perbuatan-perbuatan kebajikan terkecil sekalipun yang mereka lakukan.” (hal negatif dapat melihat segi positifnya)
Theresia membagikan pengalamannya bagaimana ia mencintai seorang suster yang tidak simpatik baginya. Tingkah laku, kata-kata dan wataknya sungguh menjengkelkan hati Theresia.
Namun ia tidak mau menyerah kalah pada perasaan antipatinya. Ia menegaskan dalam dirinya bahwa cinta kepada sesama bukan terletak dalam perasaan melainkan dalam perbuatan.
Bagi Theresia, suster tersebut adalah orang kudus, yang sungguh sangat berkenan di hati Allah. Itulah sebabnya, Theresia berusaha untuk bersikap terhadap suster tersebut seperti kepada orang yang paling dicintainya.
Lalu apa yang Theresia lakukan :
Pertama, ketika berpapasan, Theresia berdoa baginya dan mempersembahkan kepada Allah segala jasa dan kebajikan suster tersebut.
Kedua, Theresia merasa tidak cukup hanya mendoakannya. Ia berusaha sedapat mungkin menyumbangkan jasa kepadanya. Itulah sebabnya, saat tergoda untuk secara kasar menjawabnya, Theresia berusaha seramah mungkin tersenyum kepadanya.
Ketiga, Theresia mengakui bahwa tidaklah gampang untuk melakukan semuanya itu. Ia pernah gagal dalam mewujudkannya. Hal ini terjadi bila pembagian kerja dan mendapatkan tugas bersama dengan suster tersebut. Ia pernah lari karena perjuangan batinnya tak tertahankan. Memang perjuangannya menjadi lebih besar, karena suster tersebut tidak tahu menahu tentang perasaannya. Bahkan suster tersebut menyangka, Theresia menyukai wataknya.
Keempat, akhirnya Theresia menemukan nilai rohani yang mendalam. Hal itu terungkap ketika suster tersebut dalam kesempatan rekreasi bersama bertanya kepada Theresia. “Suster Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, dapatkah anda mengatakan apa yang membuat anda terpikat kepadaku? Karena setiap kali anda memandang kepadaku, saya melihat anda tersenyum.”
Bagi Theresia, Yesus ada dalam lubuk hati suster tersebut. Itulah yang memikat Theresia. Karena Yesus sendirilah yang membuat semua kepahitan menjadi manis.
Mengapa Theresia sampai mampu menghayati persaudaraan yang demikian? Ia sadar, ia tidak berjalan sendirian. Selain bahwa ia melihat Yesus dalam lubuk hatinya, Theresia sendiri menyadari bahwa Yesus berkarya dalam orang lain.
3. Kesatuan dalam pelayanan (doa dan korban bagi misi)
Pelayanan yang tulus hanya bisa lahir dari pengalaman iman. Pelayanan menjadi saat indah mengungkapkan pengalaman akan Allah yang mengutusnya. Itulah yang juga dialami oleh Theresia. Semangatnya berkobar-kobar untuk melayani bersumber dari pengalamannya akan Allah yang telah mengubah dan menyembuhkannya.
Dari pengalaman rahmat Natal, Theresia mulai merasakan keinginan yang besar untuk melayani sesamanya. Theresia berkata, “Kurasa keinginan yang kuat muncul di benakku untuk bekerja bagi pertobatan orang berdosa.”
Dan tatkala masuk Karmel, dia dengan semangat berkobar-kobar berkata, “Saya datang untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, terutama berdoa bagi para imam.”
Theresia mengungkapkan semangat misinya secara khusus dalam doa dan korban bagi jiwa-jiwa, teristimewa bagi para misionaris dan karya misi mereka.
Ia bahkan mempersembahkan sakit dan deritanya untuk kepentingan misi. Sebagai contoh, tatkala menderita sakit TBC, yang akhirnya membawanya kepada kematian, Theresia tetap menelan obat yang diberikan, walaupun hal itu tidak menolong untuk kesembuhannya.
Semuanya itu ia lakukan karena ia memikirkan para misionaris yang ada di tempat-tempat yang sulit untuk mendapatkan obat ketika harus menderita sakit. Ia menelannya untuk kepentingan mereka semua.
Atau juga, ketika ia diminta untuk berjalan-jalan di kebun biara untuk menghirup udara segar, ia nampak kelelahan. Seorang suster memintanya untuk kembali ke kamar saja untuk beristirahat. Namun ia tetap melakukan latihan tersebut demi sebuah tujuan mulia, ia mau mempersembahkan semua kelelahannya bagi para imam dan misionaris yang juga kelelahan dalam karya pastoral dan misi mereka.
Pelayanan kita dalam dan sebagai komunitas harus berakar, bertumbuh dan berbuah dalam dan bersama Dia.
Jadi, doa, persaudaraan dan pelayanan adalah tiga pilar kehidupan beriman dalam sebuah komunitas. Ketiga hal ini biasa kita ungkapkan dan coba hayati dalam kehidupan setiap hari.
Dan hanya orang yang beriman mau sungguh tetap setia berdoa, tekun berjuang menghayati persaudaraan dan tetap mau melayani dalam suka dan duka, pahit manis kehidupan. (tanpa iman = mundur).
St. Theresia dari Lisieux telah menghayati itu dalam perjalanan hidupnya yang singkat di dunia ini. Dia menjadi saksi iman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan jalan dan cara yang biasa dan sederhana.
(Sumber: Warta KPI TL No.142/II/2017 » Rekoleksi keluarga KPI TL Tgl 4-5 Februari 2017, Rm Gregorius Kaha, SVD).