Hidup! Kata itu begitu indah. Dengan ‘hidup’ kita bisa menikmati apa yang ada di muka bumi ini. Dengan ‘hidup’ kita bisa menghirup udara kehidupan. Dengan ‘hidup’ kita bisa merenungkan dari mana hidup itu.
Hidup bukan sekedar proses menuju kematian. Tetapi hidup adalah anugerah Tuhan yang perlu kita pertanggungjawabkan setiap saat kepada pemberi hidup yaitu Allah sendiri.
Jadi, hidup adalah ajakan untuk selalu berbuat baik dari hari kemarin. Karena hidup itu anugerah Tuhan, maka cara terbaik untuk membalas kasih Tuhan adalah menyenangkan hati-Nya.
Ibadah yang sejati mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah (Rm 12:1)
Bagaimana menikmati hidup sebagai anugerah Allah?
* Bertobat
Allah tidak pernah berdusta dengan apa yang dijanjikan-Nya. Tapi apakah kita sudah siap dengan perjanjian itu? Allah sudah berjanji memberi jalan keluar bagi setiap persoalan kita, tetapi mengapa kita masih belum menerima janji Allah itu? Hal ini disebabkan karena hidup kita belum bertobat.
* Membuka hati atas suara Tuhan
Dalam satu hari manakah yang lebih banyak menguasai hati dan pikiran kita; suara Tuhan ataukah suara kita sendiri ataukah suara manusia lainnya?
Kalau kita banyak mendengarkan suara manusia, kita akan selalu kuatir, cemas, bimbang serta ragu, sebab suara manusia sangat subyektif, penuh dengan kepentingan dan seringkali tidak memberikan harapan.
Jika kita selalu mendengarkan gosip atau menceritakan sisi buruk orang lain terus-menerus, maka jiwa kita akan kering dan kosong. Jadi, kita perlu memberi waktu khusus mendengarkan suara Tuhan, salah satunya lewat hati nurani (Yes 55:3).
* Turuti perintah-Nya
Ibarat seorang gadis menerima surat dari sang kekasih, ia langsung mengerti dan manggut-manggut. Walaupun tanpa suara, surat tersebut telah berbicara banyak melalui hatinya.
Demikian pula dengan firman Tuhan, setiap kali kita membaca firman Tuhan, itu berarti Allah berbicara kepada kita.
Dan kalau Allah berbicara kepada kita, berpesan atau memerintahkan sesuatu kepada kita, seharusnya kitapun mengerti dan melakukan perintah-Nya tanpa harus berpikir lagi sesuai dengan selera kita ataupun akal sehat kita.
Tetapi sering terjadi adalah bahwa kita selalu ingin memaksakan perintah Allah dengan selera kita. Kalau cocok dengan selera kita, kitapun mengangguk-angguk dan berkata puji Tuhan!
Tetapi kalau tidak cocok dengan selera kita, bacanya cepat-cepat supaya cepat selesai. Kalau kita sedang susah, ditekan, ditindas orang, diberlakukan tidak adil, dan menanggung beban berat, maka kita sangat senang membaca mazmur dengan doa-doanya, bahkan kita senang membacanya berulang-ulang, menandai dengan stabilo atau menggarisbawahinya.
Tetapi kalau saat itu kita ditegor Tuhan lewat suatu ayat, langsung saja dibaca cepat-cepat dan menutup Alkitab tersebut, supaya tidak terbaca lagi.
Jadi, jelas sekali bahwa kita sering memakai Tuhan untuk menyenangkan selera kita. Padahal kalau kita mengenal rupa Dia, maka hal ini dapat menolong kita untuk mentaati firman-Nya.
* Berserah pada-Nya
Hidup ini penuh dengan kemelut. Tidak ada seorangpun di dunia ini bebas dari persoalan hidup. Tuhanlah tempat satu-satunya pengharapan kita yang memberi pertolongan yang tuntas dan pasti.
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab Kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan (Mat 11:28-30).
Marilah kita belajar dari seorang perwira di Kapernaun (Mat 8:5-13):
Ketika Yesus masuk ke Kapernaun, datanglah seorang perwira mendapatkan Dia dan memohon kepada-Nya: “Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh dan ia sangat menderita.”
» perwira itu merasa terbeban dan bertanggungjawab atas hambanya yang sakit. Dia tidak memandang status hambanya. Inilah yang membuat hati Tuhan tergerak mengabulkan permohonannya.
Yesus berkata kepadanya: “Aku akan datang menyembuhkannya.” Tetapi jawab perwira itu: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.”
» Perwira itu memiliki sikap yang rendah hati. Sekalipun memiliki kedudukan yang tinggi, tetapi ia tidak menonjolkan semua yang dimilikinya bahkan tetap merasa tidak layak untuk menjamu Tuhan Yesus di rumahnya. Perwira itu memiliki iman yang besar.
(Warta KPI TL No. 91/XI/2011 » Hidup Itu Anugerah, Dr Maya Rumantir).