Konon di Amerika Latin ada sebuah teknik menangkap kera di hutan. Sekalipun kelihatannya tradisional, namun teknik ini terbukti berhasil dan tetap diajarkan turun temurun.
Untuk menangkap kera di hutan, maka pemburu kera akan menyediakan sebuah kantong yang berisi kacang yang digemari oleh kera-kera di hutan.
Kantong tersebut diikatkan dengan sebuah tali dan dihubungkan dengan pohon yang jadi pengikatnya.
Kantong itu cukup unik, lubang masuknya kecil, namun isi dalamnya cukup besar sehingga umpan kacang tersedia cukup.
Lubang masuknya hanya cukup dimasuki oleh tangan keras dalam keadaan terbuka lurus, namun tidak cukup besar apabila tangannya dalam keadaan mengenggam.
Selanjutnya pemburu akan menaruh kantong tersebut di tempat yang sering dilewati kera-kera, dan dihubungkan dengan tali yang ujungnya diikatkan ke pohon yang kuat, lalu iapun bersembunyi sambil mengamatinya.
Setelah beberapa saat, biasanya, ada kera yang mencium bau umpan makanan yang ada di dalam kantong tersebut. Setelah dilihat tidak ada seorangpun, maka si kera mulai mendekati kantong itu, sambil terus melihat sekitarnya, ia mulai memasukkan tangannya ke dalam kantong tersebut. Di dalam kantong, tangannya meraba-raba dan ia menemukan makanan yang diinginkan, ia genggam dengan genggaman yang penuh dan segera ia menarik tangannya ke luar. Ternyata tidak berhasil!
Sebab lubang kantong tidak cukup besar dilewati genggaman tangannya, apalagi dengan kacang digenggamannya. Iapun terus mencoba menarik tangannya, lagi-lagi tidak berhasil.
Saat itulah pemburu ke luar dari persembunyiannya, dan melangkah dengan tenang mendekati kera. Si kera terkejut melihat pemburu, ia langsung melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu.
Si kera tahu persis bahwa ia harus menyelamatkan diri, namun masalahnya, ia juga tidak ingin kehilangan kacang yang sudah ada dalam genggaman tangannya.
Sebenarnya ia dapat dengan mudah menarik keluar tangannya dari kantong itu dan menyelamatkan diri, asalkan ia melepaskan kacang dari genggamannya.
Tarik-menarik itu berlangsung terus tanpa ada hentinya, hingga akhirnya tertangkaplah kera yang bodoh itu, karena terperangkap oleh keinginannya sendiri.
Si kera yang bodoh bukan hanya kehilangan kemerdekaannya, namun ia juga tidak menikmati kacang yang ia inginkan. Kera yang bodoh itu kehilangan hidupnya yang merdeka di hutan, bahkan kemungkinan ia harus kehilangan nyawanya.
Mungkin kita tersenyum setelah membaca cerita ini, dan bergumam: “Dasar kera bodoh!” Namun tahukah anda? Ada banyak manusia terjebak dalam kebinasaan dan kehancuran, karena ia tidak bersedia melepaskan apa yang dalam genggaman tangannya.
Lepaskan apa yang tidak harus kita genggam erat-erat! Sebab dengan melepas kita akan menerima.
Seringkali kita tidak mampu menerima apa yang disediakan Tuhan, karena tangan kita penuh dengan perkara-perkara yang sebenarnya kurang berharga dibandingkan dengan kemuliaan yang Tuhan sediakan bagi kita.
Kita bisa hidup dengan apa yang kita dapatkan, namun kita membuat suatu kehidupan dengan apa yang kita berikan, buatlah kehidupan, jangan sekedar hidup!
Setiap ciptaan memiliki fungsi, keindahan dan keunikannya masing-masing. Seluruh ciptaan tidak pernah diciptakan untuk dirinya sendiri, melainkan bagaikan sebuah alat musik yang diciptakan untuk menghasilkan nada-nada yang dimainkan dalam sebuah orkestra yang menghasilkan sebuah simponi indah dan agung yang bergema ke-alam semesta bahkan menembus keabadian.
Sebagaimana burung menemukan kehidupannya saat ia terbang di langit dan ikan ketika berenang di air. Demikian seseorang menemukan kehidupannya, ketika ia menemukan diri dan misinya serta kesediaan untuk menjadi bagian dalam simfoni kehidupan yang dikumandangkan bagi Sang Pencipta.
Tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri.
Sebab itu jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan (Rm 14:7-8)
Seperti halnya sebuah Tripod yang memiliki tiga kaki, ia hanya berdiri tegak ketika ia ditopang oleh tiga kakinya. Kerusakan salah satu penyangga, akan membawa seluruh tripod tersebut runtuh.
Artinya kegagalan satu penyangga akan membawa kegagalan pada penyangga yang lain, karena ketiganya pada hakekatnya adalah satu.
Seperti halnya tubuh, jiwa dan roh, demikian pula kita tidak dapat memisahkan hubungan kasih dengan Tuhan, dengan sesama, dan diri sendiri. Seseorang tak dapat mengasihi Tuhan tanpa mau mengasihi sesama dan dirinya sendiri (1Yoh 4:20-21).
Kasih tidak dimulai oleh kita, melainkan oleh Dia yang menaruh kasih itu di dalam hati kita melalui pekerjaan Roh Kudus-Nya (1 Yoh 4:10).
Seluruh manusia di dunia ini sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok manusia, yaitu pemberi dan pengambil.
Pemberi adalah mereka yang mengalirkan materi, kekuatan, kasihnya bahkan kehidupannya sehingga orang lain atau sekitarnya mendapatkan sesuatu yang membuat mereka menjadi lebih kuat, diperkaya, sukacita, bertumbuh, berkembang serta menemukan kehidupan mereka.
Seorang pemberi adalah mereka yang makmur jiwa dan rohnya, sekalipun ditengah-tengah kekurangannya.
Roh dan hati yang makmur membuat pintu kemakmuran secara fisik menyertainya, melalui tindakan iman, ia menerima pemulihan hidup keuangannya secara drastis.
Untuk menjadi seorang pemberi, pertama-tama harus belajar dan menyadari keberadaannya sebagai penerima, sebab tidak ada seorangpun dapat memiliki sesuatu tanpa menerima.
Untuk menjadi pemberi, dimulai ketika ia mendapat anugerah untuk menerima, namun ia tidak membiarkan dirinya menjadi pemilik melainkan sebagai pengelola yang baik (Bdk. Yes 22:15-25).
Seorang penerima dapat menjadi seorang pemberi, ketika seseorang menerima sebuah pemberian dengan ucapan syukur kepada Allah dan memberkati banyak orang melalui sikap penuh syukur.
Untuk menjadi pemberi, tidaklah dimulai dari kemampuan kita untuk memberi atau menunggu kita memiliki segala sesuatu secara berkelimpahan lebih dahulu, melainkan dimulai dari sikap hati, dimulai dengan apa yang ada di tangan kita (1 Raj 17:7-16).
Seorang pemberi bukanlah ditentukan seberapa banyak yang dimiliki, namun seberapa besar kesediaan seseorang untuk mengalirkan apa yang ada dalam genggaman tangannya dan hidupnya.
Pengambil adalah mereka yang menyerap atau menyedot baik materi, potensi, kekuatan dan hidup orang lain atau lingkungannya sehingga mereka menjadi lemah, mandul, letih atau rusak bahkan mati.
Pada dasarnya seorang pengambil adalah seorang pencuri dan perampok dan pembunuh (Yoh 10:10; 8:44)
Seorang pengambil tidak senantiasa mengambil secara langsung atau sesuatu yang materiil atau sesuatu yang kelihatan, namun pada hakekatnya ia menyedot atau mengambil atau menghabiskan materi, kekuatan maupun kehidupan dari seseorang atau sesuatu yang seharusnya menjadi milik orang lain. Salah satunya adalah bersungut-sungut (Yud 16).
Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? (1 Yoh 3:17).
Seseorang mungkin saja dapat terlibat dalam kegiatan rohani bahkan memiliki pelayanan yang hebat, namun orang-orang disekitarnya, keluarganya, pegawainya, rekan kerjanya, atau mungkin pembantu rumah tangganya tidak pernah merasakan sebuah "aliran kasih" dari hidupnya. Jikalau demikian keadaannya, ibadah yang dijalani bukanlah ibadah sejati. Ibadah sejati akan memiliki kuasa yang mengubahkan mereka yang hidup didalamnya secara bertahap.
Ibadah sejati, bukanlah sekedar melibatkan diri dalam kegiatan rohani, melainkan perubahan sikap kehidupan ini, dari hidup bagi diri sendiri menjadi hidup bagi Tuhan (Bdk. Rm 14:7-8)
Banyak orang dinina bobokan oleh penghiburan yang palsu, dan mereka mengira memiliki iman pahadal mereka hanyalah percaya.
Ingatlah! Iman yang sejati tidak pernah dapat dipisahkan dengan perbuatan kasih (Gal 5:6). Saat kita mencoba memisahkan iman dengan perbuatan, maka yang ada dalam hidup ini hanyalah iman yang palsu. Iman yang palsu tidaklah pernah membawa seseorang kepada ibadah yang sejati dan pada akhirnya tidak membawa kepada keselamatan yang sejati.
Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (Yak 2:17).
Kehidupan rohani yang benar, pada hakekatnya lebih mirip kehidupan seorang atlet daripada kehidupan seorang ilmuwan.
Seorang ilmuwan dapat meyakini dan memahami sebuah teori, dan menjadi seorang pengamat dan penasehat ahli, tanpa ia harus menjadi pelaku. Dalam dunia keilmuan, ada yang disebut pengamat ekonomi, pengamat politik dst.
Pengamat ekonomi adalah seorang ahli ekonomi yang mampu menganalisa situasi ekonomi, namun belum tentu ia seorang pelaku ekonomi.
Sebaliknya dalam dunia olahraga, medali tidak pernah disediakan bagi pengamat atau penonton, melainkan hanya bagi atletnya (1 Kor 9:24-27).
Dalam kehidupan iman, anda dan saya tidak pernah dipanggil menjadi penonton pertandingan iman, melainkan menjadi peserta pertandingan iman (1 Tim 6:11-12)
Ibadah sejati adalah sebuah pertandingan iman bukan pertunjukan, mereka yang tak bersedia bertanding dan membayar harga, ia tak pernah mendapatkannya.
Demikian halnya mereka yang selalu menoleh ke belakang akan tersingkir sebagai peserta pertandingan. Mungkin sebagian orang berkata, bukankah aku telah percaya pada Kristus. Namun firmannya mengingatkan kita bahwa setan-setanpun juga percaya.
Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja. Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar (Yak 2:19).
Percaya adalah bagian dari iman, namun percaya hanya akan menjadi iman yang benar, ketika kepadanya ditambahkan perbuatan. Sekalipun ia percaya bahkan mengagumi semua kebenaran, namun tanpa tindakan, maka ia tidak pernah sampai kepada iman yang menyelamatkan (Yak 2:14-17).
Ibadah yang sejati adalah kesediaan untuk menerima anugerah kasih-Nya dan memberikan diri kita atau sesuatu yang ada dalam kita bagi Tuhan dengan sebuah komitmen.
Seseorang yang tidak bersedia mendedikasikan dirinya, atau memberikan sesuatu yang ada dalam dirinya, sesungguhnya ia belum melakukan ibadah yang benar.
Seperti halnya tripod yang ditopang dengan tiga kaki penyangganya, demikian ibadah yang benar memiliki tiga pilar yang menopangnya, kita tidak dapat memisahkan salah satu dari ketiganya, yaitu
Berdoa (Mat 6:5-15) - sebagian orang berusaha mencapai ibadah dengan lebih banyak berdoa dan berdoa. Namun Yesus mengajarkan kita untuk berhenti berdoa terlebih dahulu, jikalau kita memiliki perseteruan dengan saudara kita, kita harus membereskannya sebelum kita melanjutkan doa kita (Mat 5:23-24).
Jika kita mau memberi pengampunan, maka luka kita akan pulih dengan segera, kebenaran menjadi barisan depan kita dan kemuliaan Tuhan barisan belakang kita. Pada waktu kita memanggil Tuhan, Tuhan akan menjawab (Yes 58:8-9).
Mengampuni adalah kunci untuk membuka pintu Kerajaan Sorga, untuk menerima kuasa pemulihan dan kesembuhan.
Memberi (Mat 6:1-4) - banyak orang mengira ia hidup dalam kasih karena ia telah "berhasil" tidak membenci siapapun.
Hidup dalam kasih, bukanlah tidak membenci orang lain melainkan memiliki kepedulian. Janganlah kita berbuat kesalahan seperti Sodom, tidak memperdulikan orang-orang sengsara dan miskin disekitarnya (Yeh 16:49).
Marilah kita belajar dari
Kornelius, seorang perwira yang tulus hati dan takut akan Tuhan, yang terkenal baik. ... Malaikat berkata: "Doamu telah didengarkan Allah dan sedekahmu telah diingatkan di hadapan-Nya." (Kis 10:22, 31).
Tabita banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah, ia mengembangkan sikap hidup memberi melalui kemampuan menjahitnya untuk memberkati banyak janda-janda dan orang miskin.
Ketika ia meninggal secara tiba-tiba, banyak orang merasa kehilangan. Mereka menangisi dan menunjukkan pakaian pemberian dari Tabita.
Rasul Petrus digerakkan oleh Roh Kudus oleh doa-doa dari orang-orang yang mengasihinya, melalui kuasa-Nya, dibangkitkannya kembali Tabita dari kematian (Kis 9:37-39).
Janda di Sarfat - di zaman Elia langit tertutup selama tiga tahun enam bulan sehingga ada banyak janda nabi membutuhkan pemulihan ekonomi.
Sekalipun mereka umat Tuhan dan memiliki janji Allah, namun hanya janda di Sarfat yang mengalami pemulihan (Luk 4:25-26).
Elia menantang janda itu untuk menjadi pemberi. Ketika dia percaya dan melakukannya, di sanalah dia menemukan kunci untuk membuka tingkap-tingkap berkat (1 Raj 17:7-16).
Seseorang tidak pernah dikenang karena imannya. Seseorang dikenang melalui apa yang ia lakukan dalam hidupnya.
Sebuah ibadah yang benar adalah sebuah proses pergeseran pusat kehidupan dari diri sendiri menjadi kepada Tuhan. Karena tak ada seorangpun dapat mengabdi kepada Tuhan dan mamon bersama-sama (Mat 6:24).
(Sumber: Warta KPI TL No.104/XII/2012 » Anda Seorang Pemberi atau Pengambil, Guana Tandjung).