Baik Pohon Natal maupun Kandang Natal sama-sama memeriahkan suasana perayaan Natal kita.
Pohon Natal dengan daunnya yang selalu hijau menunjukkan perayaan pembaharuan hidup. Natal sebagai perayaan Inkarnasi Sang Sabda mengingatkan kita akan maksud kedatangan Kristus yaitu supaya kita "mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahannya (Yoh 10:10).
Dari sudut pemaknaan, Kandang Natal sarat akan makna. Paus Benediktus XVI pada tanggal 12 Desember 2005 memaknai Kandang Natal sebagai "cara yang sederhana tapi lantang dalam mengenang Kristus."
Kehadiran Kandang Natal menjadi "sarana evangelisasi" untuk menghangatkan kembali kesadaran kita akan beberapa butir iman yang sangat penting seputar kelahiran Sang Sabda. Butir-butir ini tidak bisa ditampilkan oleh Pohon Natal.
Kehadiran Kandang Natal membuka kemungkinan menyembah dan berdoa kepada bayi Yesus dikandang. Sikap ini meniru apa yang dilakukan oleh para gembala (Luk 2:8-20), dan kemudian oleh para orang Majus (Mat 2:1-12).
Bahkan penghormatan paling awal bisa dikatakan terjadi ketika Yohanes Pembaptis dan Elisabet mengenali bayi Yesus dalam kandungan Bunda Maria. Karena itu bayi Yohanes Pembaptis dalam rahim Elisabet "melonjak kegirangan" (Luk 1:39-45).
Kandang Natal membantu kita untuk merenungkan beberapa butir iman penting terkait Inkarnasi Sang Sabda.
Dalam Bayi kecil mungil dan tak berdaya itu, kita diundang untuk mengimani kehadiran Allah Putera yang datang untuk menebus dunia. Bayi kecil itu adalah Allah Putera yang rela merendahkan diri-Nya dengan tidak memperhitungkan keallahan-Nya dan menjadi manusia, sama seperti kita.
Jadi, Bayi kecil itu adalah bukti betapa Allah mengasihi kita umat manusia. Berdoa di depan Kandang Natal harus membuat kita merasakan kebesaran kasih Allah kepada kita.
Keadaan Bayi kecil yang miskin dan sangat sederhana di goa Betlehem adalah bukti bahwa Allah Putera "yang meskipun adalah kaya, menjadi miskin" (2 Kor 8:9) untuk kita, demi kita. Allah Putera mau mengalami nasib manusia, bahkan yang paling miskin dan hina.
Dalam cahaya Paskah, kita bisa berkata bahwa Allah mau menjalani pengalaman manusia yang tergelap, yaitu kematian.
Solidaritas Putera Allah ini harus membawa kegembiraan, kebahagiaan dan damai bagi kita, seperti halnya yang terjadi pada para gembala. Dia telah menjadi sama dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa.
Kehadiran Kandang Natal menjadi sarana untuk menghangatkan kembali kesadaran penuh syukur akan solidaritas Allah Putera yang menggembirakan ini.
Memandang Bayi kecil yang tak berdaya, miskin dan sangat sederhana mengingatkan kita bahwa Allah menggunakan yang secara manusiawi tak berarti untuk menundukkan segala kuasa di dunia, yang kelihatan maupun yang tak kelihatan.
Bayi kecil itulah yang akan membebaskan kita dari kuasa dan penindasan dosa dan sengatnya, maut. Bayi kecil itulah "putra sulung" kebangkitan.
Sebagai sesama manusia, Dialah kakak kita yang akan memimpin kita untuk menang melawan dosa. Sembah sujud kita di depan kandang Natal haruslah mengungkapkan kemantaban iman akan kebesaran karya Allah ini.
Pemasangan Kandang Natal bukan sekedar hiasan Natal, tetapi merupakan sarana ungkapan iman dan syukur kita akan peristiwa Inkarnasi. Inilah sarana untuk mengingatkan awal karya penyelamatan Allah.
Maka, pemasangan Kandang Natal juga harus disertai dengan kebiasaan berdoa dan bersujud di hadapan bayi Yesus yang dihadirkan di situ.
Menurut tradisi, Santo Fransiskus dari Asisi yang begitu terbawa oleh misteri Inkarnasi sehingga pada Natal 1223 untuk pertama kali membuat kandang Natal di Greccio, Itali.
Tindakan Fransiskus ini mendapatkan restu dari Paus Honorius III. Fransiskus mempersiapkan kandang Natal dengan binatang hidup, keledai dan sapi.
Dia menggambarkan betapa miskin dan sederhana keadaan Yesus ketika dilahirkan. Pada saat itu Greccio menjadi Betlehem baru. Dari peristiwa inilah lahirlah kemudian tradisi membuat kandang Natal yang populer itu.
Palungan
Penginjil Lukas memilih para gembala sebagai penerima pertama kabar gembira kelahiran Sang Penyelamat. Menurut Raymond E. Brown, melalui pemilihan gembala ini Lukas hendak menonjolkan makna "palungan".
Palungan di sini bukan simbol kemiskinan, tetapi mengingatkan kembali keluhan Allah tentang Israel dalam Yes 1:3: "Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Iarael tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya."
Melalui para gembala, ucapan Yesaya itu sudah batal, karena para gembala justru mengenali bayi Yesus melalui palungan seperti yang dikatakan oleh malaikat.
"Dan inilah tanda bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring dalam palungan" (Luk 2:12).
Para gembala tahu bahwa mereka sudah sampai ke tujuan karena mereka menemukan: "Maria, Yusuf, dan bayi yang sedang berbaring di dalam palungan" (Luk 2:16).
Dengan kata lain, umat Allah telah mulai mengenal kembali dan memahami palungan yang disediakan oleh Tuannya. Mereka menemukan Tuhan, kemudian memuji dan memuliakan Allah.
Para gembala juga bisa ditafsirkan sebagai wakil dari orang biasa, orang kecil yang tidak terpandang. Penafsiran ini sesuai dengan semangat Lukas yang mengutamakan orang kecil, orang miskin dan orang yang menderita.
Mereka inilah orang-orang yang miskin di hadapan Allah dan terbuka akan pewahyuan Allah. Kepada mereka inilah Yesus diutus untuk mewartakan kabar baik (Luk 4:18). Para gembala langsung percaya kepada pewartaan malaikat.
Kelahiran Yesus di Betlehem disambut dengan pujian para malaikat, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Luk 2:14).
Kedatangan Yesus sebagai pembawa damai dan sukacita sudah diramalkan oleh Yesaya. Dialah Raja Damai yang membawa sukacita dan sorak sorai dan damai sejahtera-Nya tidak akan berkesudahan (Yes 8:23 - 9:6).
Kedatangan Raja Damai juga diramalkan oleh Zakaria, bahwa lawatan Allah akan mengarahkan manusia kepada "jalan damai sejahtera" (Luk 1:79).
Bayi Yesus itulah yang melalui sengsara dan wafat-Nya akan mendamaikan kita dengan Allah dan kita dengan sesama (Ef 2:13-18; 2 Kor 5:18-20).
Yesus itulah Imam Agung yang mendamaikan dosa seluruh bangsa (Ibr 2:17). Karena Yesus Kristus ini kita bukan lagi orang asing, tetapi telah dijadikan kawan sewarga anggota keluarga Allah (Ef 2:19).
Hendaknya perasaan damai dan sukacita ini tidak membuat kita terlena dalam buaian kesyahduan emosional yang mandul atau narcistis, tetapi mendorong kita mewujudkan damai dan sukacita itu secara nyata dalam hidup sehari-hari di antara sesama kita, misalnya dengan mengampuni, membina kembali relasi yang retak, dll. Melalui tangan, kaki, senyum, hati dan keringat kita, Raja Damai itu hadir kembali di tengah-tengah kita.
Mari kita siapkan palungan hati kita untuk Raja Damai agar kehadiran-Nya dirasakan oleh sesama di sekitar kita.
Pohon Natal
Ada dari saudara-saudara kita yang Kristen dari Gereja Adven Hari Ketujuh (GAHK) menuduh kita menyembah berhala dengan memasang pohon Natal. Tuduhan ini didasarkan pada Yer 10:2-14. Tuduhan ini mungkin muncul karena kesalahan tafsir dari teks tersebut.
Perikop itu berbicara tentang penyembahan berhala dan bukan tentang pohon itu sendiri. Rupanya berhala itu dibuat dari "pohon kayu yang ditebang orang dari hutan, yang dikerjakan dengan pahat oleh tangan tukang kayu (ay 3). "Orang mengindahnya dengan emas dan perak" (ay 4; Bdk. Yes 40:19-20 dan Hos 8:6).
Jadi, yang ditentang oleh Nabi Yeremia ialah penyembahan berhala, yang antara lain terbuat dari kayu, dan bukannya penggunaan pohon kayu itu sendiri.
Berhala inilah yang diberi pakaian (ay 9) dan perhiasan emas dan perak (ay 4, 9). Jelas bahwa pohon biasa tidak diberi pakaian dan hiasan emas-perak.
Jika kita memasang pohon Natal (biasanya cemara), kita tidak bermaksud menyembah pohon Natal itu. Juga kita tidak menghormati pohon Natal seperti halnya menghormati orang kudus.
Tuduhan itu tidak mempunyai dasar dalam ajaran dan praktik rohani Katolik.
Lagipula jelas bahwa setelah masa Natal lewat, banyak orang Katolik yang membuang atau membakar pohon Natal itu. Ada juga yang menyimpannya untuk digunakan lagi tahun berikutnya.
Semua ini menunjukkan bahwa kita sama sekali tidak menyembah atau menghormati pohon Natal seperti dituduhkan. Kita hanya menggunakan pohon Natal untuk mengungkapkan semarak kelahiran Tuhan yang membawa hidup.
Jika kita menyimak Yes 60:13 ("Kemuliaan Libanon, yaitu pohon sanobar, pohon berangan dan pohon cemara, akan dibawa bersama-sama kepadamu, untuk mempersemarak tempat bait kudus-Ku, sebab Aku hendak memuliakan tempat kaki-Ku berjejak"), tampak jelas Allah juga menggunakan pohon-pohonan untuk menyemarakkan kemuliaan-Nya.
Jadi, jelas penggunaan pohon untuk memuliakan Allah yang benar, sama sekali tidak dilarang bahkan diminta oleh Allah sendiri.
Praktik dekorasi pohon Natal ini memang berasal dari praktik religius non-kristiani yang kemudian dikristianikan.
Ada legenda yang mengatakan bahwa praktik pohon Natal ini berasal dari Santo Bonifasius, yang pada abad VIII mengajak suku Teutonic untuk meninggalkan agama asli mereka, yaitu penyembahan pohon Oak yang tua.
Santo Bonifasius menunjukkan bahwa pohon Oak itu adalah simbol dari Yesus dan hidup abadi yang diberikan-Nya.
Gagasan pokok pohon Natal ialah bahwa daun pohon yang selalu hijau (evergreen) menunjukkan perayaan pembaharuan hidup. Dalam kaitan dengan perayaan kelahiran Yesus Kristus, gagasan pokok itu sesuai dengan dan terpenuhi dalam Inkarnasi Sang Sabda, yang kita rayakan pada Hari Raya Natal.
Yesus Kristuslah Sang Hidup Sejati (Yoh 14:6). Kristus datang supaya kita "mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (Yoh 10:10).
Bintang
Pada gua Natal atau pohon Natal seringkali dipasang bintang. Bintang itu disebut Bintang Betlehem atau Bintang Natal atau Bintang Yesus. Bintang yang dipasang pada Kandang Natal atau Pohon Natal mewakili bintang yang membimbing orang-orang Majus.
Kisah tentang bintang Betlehem ini hanya ditemukan di Injil Matius. Keberadaan bintang ini dipandang sebagai pemenuhan ramalan Bileam (Bil 24:17). Bintang ini mewartakan kedatangan Yesus "Raja Orang Yahudi" (Mat 2:1-2).
Secara astronomis dan astrologis, ada berbagai teori tentang keberadaan bintang Betlehem itu. Masing-masing teori memiliki keunggulan tetapi juga kelemahan.
Berikut ini adalah teori terbaru yang tampaknya dapat diterima. Teori ini dikemukakan oleh seorang astronomis Michael Molnar dalam bukunya, The Star of Bethlehem: The Legacy of the Magi.
Menurut Molnar, pada sekitar tahun 6 Sebelum Masehi), dua tahun sebelum kematian Raja Herodes, planet Yupiter muncul di Timur sebagai bintang fajar dalam tanda orang Yahudi, Aries Sang Kambing Jantan. Planet Yupiter yang muncul di Timur inilah bintang Betlehem itu.
Matius merujuk hal ini sebagai "bintang-Nya di Timur (Mat 2:2, 9). Peristiwa ini terjadi sekitar tanggal 17 April tahun 6 SM.
Para astrolog percaya bahwa ketika bintang rajawi Zeus, yaitu planet Yupiter, berada di Timur, saat inilah saat yang paling kuat untuk memberikan kerajawian.
Ciri kerajawian lainnya juga muncul dari pertemuan antara planet Saturnus dan Yupiter pada saat matahari terbit. Justru hal inilah yang juga terjadi ketika Yupiter berada di Timur.
Lepas dari aspek astronomis, pada awal tahun 2008 ini Paus Benediktus XVI menggarisbawahi misi Gereja dan setiap orang Kristiani untuk memberikan pencerahan dalam pencaharian akan kebenaran.
Menurut Bapa Suci, makna bintang dari Tiga Raja adalah undangan untuk semua orang Kristiani untuk menjadi misionaris bagi seluruh umat manusia, dengan "memberikan pencerahan melalui kata dan kesaksian hidup, membimbing jalan untuk saudara-saudara kita".
Bintang Betlehem juga adalah tanda bahwa kita harus tanpa kenal lelah mencari kebenaran.
Cahaya bintang yang diikuti oleh orang-orang Majus adalah tanda bahwa "cahaya Kristus telah mulai menarik umat manusia kepada-Nya ... dari segala bahasa, bangsa dan budaya".
Bapa suci melanjutkan "Adalah kekuatan Roh Kudus yang menggerakkan hati dan pikiran untuk mencari kebenaran, keindahan, keadilan dan kedamaian".
Dengan mengutip dari Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus menegaskan "manusia menemukan diri-Nya dalam perjalanan yang tanpa akhir dalam arti manusiawi, yaitu pencaharian akan kebenaran dan akan seorang pribadi yang bisa dipercayai" (Fides et Ratio 33).
Sinterklas
Nama "Sinterkkas" berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris digunakan "Santa Claus" atau Santo Nicholas (dari Myra). Dia adalah seorang Uskup dari abad IV. Seringkali dipanggil juga Nicholas dari Bari (Itali).
Legenda yang berkembang di negara-negara yang berbahasa Inggris, Santa Claus ini dikaitkan dengan tradisi pemberian hadiah rahasia dari orang tua untuk anak-anak yang dilakukan pada malam sebelum pesta Santa Claus pada tanggal 6 Desember.
Tradisi pemberian hadiah juga dirayakan di banyak tempat. Di Roma tradisi itu dikaitkan dengan perayaan Tahun Baru, sedangkan di tempat-tempat lain tradisi itu dilakukan pada Hari Natal atau Epifani, dengan meniru Tiga Raja yang membawa hadiah untuk kanak-kanak Yesus.
Di banyak negara Eropa, yang memberi hadiah justru adalah Kanak-kanak Yesus sendiri. Di Itali, seorang wanita tua dari dongeng Befana (dari kata Epifani) membagikan mainan kepada anak-anak pada tanggal 6 Januari, yaitu pesta Epifani. Di Spanyol, hadiah diberikan oleh Tiga Raja juga pada pesta Epifani.
Kesamaan tradisi memberi hadiah itulah yang kemudian menyatukan antara "Sinterkkas" dengan perayaan Natal. Kunjungan Sinterklas tidak lagi dilakukan pada malam sebelum pestanya (6 Desember), tetapi digeser ke malam Natal.
Jadi, sebenarnya tidak ada kaitan asali antara Sinterklas dan perayaan Natal, karena itu tidak ada biblis dari Sinterklas. Pemberian hadiah oleh Tiga Raja menjadi dasar untuk pemberian hadiah pada waktu Natal.
Kelahiran Sang Sabda menjadi manusia adalah pemberian terbesar Allah kepada manusia. Hadiah inilah yang kita rayakan.
(Sumber: Dari Adven sampai Natal, Dr. Petrus Maria Handoko, CM).