Banyak orang yang tergila-gila pada fenomena aneh. Mereka menggambarkan para mistik sebagai orang yang sering mengalami ekstase, trans, atau melayang-layang saat berdoa; atau sebagai pribadi-pribadi yang mendapat penampakan-penampakan, yang mendengar suara-suara sorgawi, yang melakukan mujizat-mujizat, yang meramalkan masa depan atau yang dapat berkomunikasi dengan arwah-arwah orang mati.
Ada juga yang menganggap mistisisme sebagai sesuatu yang dekat dengan ilmu perdukunan, baik hitam maupun putih. Semua ini mengandung pemahaman yang amat salah akan mistik dan mistisisme.
Para mistikus sendiri menganggap fenomena-fenomena luar biasa itu sebagai hal pinggiran yang tidak penting dibandingkan pengalaman mistik yang sesungguhnya.
Mereka menganggap fenomena-fenomena tersebut sebagai pelanturan/gangguan doa (distraksi), hal yang mengganggu hidup mistik.
Distraksi bisa eksternal seperti suara-suara yang ribut, suhu udara yang terlalu panas atau dingin, rasa gatal, kesemutan, lapar, ngantuk dsb dan bisa pula internal, yakni pikiran yang berlarian ke sana kemari meloncat sana sini seperti kera.
Distraksi eksternal dalam perjalanan waktu lebih mudah diatasi daripada distraksi internal (lih. Pelanturan dalam doa).
Jika kita tidak menyerah pada distraksi, Tuhan akan membimbing kita walaupun kita tidak menemukan seorang pun yang dapat membimbing kita.
Tidak ada obat yang lebih baik atas buruknya sikap menyerah ini daripada memulai berdoa lagi. Jika tidak, jiwa akan secara bertahap memburuk setiap harinya.
Di ruang ke dua puri batin tempat para pemula berjuang, masih dekat dengan pintu masuk ke puri. Jadi, pengaruh kejahatan masih cukup kuat. Jangan menyerah dan pakailah seluruh perlengkapan senjata Allah (lih.[Ef 6:10-20] Senjata perlengkapan Allah)
Jiwa mengalami pencobaan besar di sini. Jika si jahat mengetahui bahwa jiwa telah membiasakan diri untuk maju terus, ia akan mengumpulkan seluruh kekuatan neraka untuk menarik kembali jiwa keluar dari puri.
Untuk itu kita perlu selalu membuka diri pada Roh Kudus, Pemimpin kita dalam hidup. Roh Kudus yang adalah Sang Pemimpin bagi semua yang sedang berjalan menuju Kristus. (Pachasius Radbertus, seorang pengarang pada abad pertengahan).
Tidak ada obat yang lebih baik atas buruknya sikap menyerah ini daripada memulai berdoa lagi. Jika tidak, jiwa akan secara bertahap memburuk setiap harinya.
Di ruang ke dua puri batin tempat para pemula berjuang, masih dekat dengan pintu masuk ke puri. Jadi, pengaruh kejahatan masih cukup kuat. Jangan menyerah dan pakailah seluruh perlengkapan senjata Allah (lih.[Ef 6:10-20] Senjata perlengkapan Allah)
Jiwa mengalami pencobaan besar di sini. Jika si jahat mengetahui bahwa jiwa telah membiasakan diri untuk maju terus, ia akan mengumpulkan seluruh kekuatan neraka untuk menarik kembali jiwa keluar dari puri.
Untuk itu kita perlu selalu membuka diri pada Roh Kudus, Pemimpin kita dalam hidup. Roh Kudus yang adalah Sang Pemimpin bagi semua yang sedang berjalan menuju Kristus. (Pachasius Radbertus, seorang pengarang pada abad pertengahan).
Ia juga Sang Penghibur dalam kesesakan dan yang membuat kita berpikir lurus dan bijak. Kita perlu memohon dengan rendah hati agar Roh Kudus melindungi dan membimbing kita dalam setiap tahapnya untuk tetap maju agar Ia menghalau si jahat dari hidup kita; agar karunia-karunia-Nya menyegarkan dan menyemangati kita; dan agar bara cinta-Nya membakar kita sehingga kita mempunyai ketetapan hati untuk maju terus.
Doa yang sempurna tak terletak dalam berpikir banyak, tapi dalam banyak mencinta (St. Teresa Avila)
Dalam kebijaksanaan mistik, pengalaman supranatural tersebut tidak boleh dicari, dianjurkan, ataupun dibesar-besarkan. Kalau pengalaman itu datang, biarlah datang dan disyukuri, tapi jangan dicari-cari.
* Banyak orang kudus yang tidak menerima rahmat ini, namun banyak juga yang menerimanya tapi tidak menjadi kudus (St. Teresa Avila).
* Pengalaman supranatural seperti melihat, mendengar, merasa, mengecap, mencium bau harum, dan pengalaman supranatural lain. Semuanya itu menghalangi jiwa untuk maju. Suatu perbuatan kasih lebih berharga di mata Tuhan daripada semua penglihatan yang mungkin terjadi .... dan bahwa banyak pribadi yang belum menerima pengalaman-pengalaman ini malah lebih maju daripada mereka yang telah banyak menerimanya (St. Yohanes Salib).
Teologi adalah pembicaraan tentang Allah, tidak terbatas sebagai salah satu bidang ilmu akademis. Gereja Timur memberikan gelar teolog bukan hanya kepada orang yang lulus kuliah teologi secara akademis, melainkan juga kepada para suci (santo-santa) yang tahu berbicara tentang Allah dari pengalaman hidupnya.
Teologi mistik adalah
* mengenal Allah lewat pengalaman yang didapat dari pelukan cinta yang menyatukan (Jean Gerson – seorang penulis mistisisme).
* Rahasia kebijaksanaan Allah; untuk mencapai persatuan dengan Allah, tentu saja intelek harus membutakan dirinya akan semua jalan yang dapat dilaluinya (St. Yohanes Salib).
Hidup mistik dapat dijelaskan sebagai suatu persatuan yang begitu dekat antara Allah dan hakikat kita sebagai manusia lemah, bahwa yang ilahi tak lagi tersembunyi di balik yang manusiawi, tetapi menyemburat keluar bagai cahaya agung.
Allah yang dialami itu didapatkan atas prakarsa-Nya serta terungkap dalam suatu pengalaman direngkuh oleh Sang Cinta, yakni Allah itu sendiri.
Allahlah yang menganugerahkan diri-Nya untuk dialami oleh manusia. Ia membuka selubung misteri yang menyelimuti-Nya agar manusia dapat mengalami kehadiran-Nya (Beato Titus Brandsma).
Allah yang dialami itu didapatkan atas prakarsa-Nya serta terungkap dalam suatu pengalaman direngkuh oleh Sang Cinta, yakni Allah itu sendiri.
Allahlah yang menganugerahkan diri-Nya untuk dialami oleh manusia. Ia membuka selubung misteri yang menyelimuti-Nya agar manusia dapat mengalami kehadiran-Nya (Beato Titus Brandsma).
Manusia tidak dapat memahami Allah, ia tidak mampu bercakap-cakap dengan Allah karena bahasa manusia dan “bahasa” Allah berbeda jauh. Untuk itu Roh Kudus menjembati ini semua.
Jadi, jika kita berbicara tentang menjadi mistik, kita tidak sedang membicarakan bagaimana mengetahui banyak tentang Allah karena seorang atheis pun bisa melakukan hal ini.
Tapi, yang kita bicarakan adalah bagaimana kita belajar mencari Allah dan mengalami hadirat-Nya yang kudus dan penuh cinta. Pengalaman ini didapatkan terutama melalui doa.
Untuk itu, kita juga perlu belajar dari pengalaman para kudus karena dari merekalah kita mengenal pengalaman yang asli tentang Allah.
Jadi, jika kita berbicara tentang menjadi mistik, kita tidak sedang membicarakan bagaimana mengetahui banyak tentang Allah karena seorang atheis pun bisa melakukan hal ini.
Tapi, yang kita bicarakan adalah bagaimana kita belajar mencari Allah dan mengalami hadirat-Nya yang kudus dan penuh cinta. Pengalaman ini didapatkan terutama melalui doa.
Untuk itu, kita juga perlu belajar dari pengalaman para kudus karena dari merekalah kita mengenal pengalaman yang asli tentang Allah.
Orang Kristiani dalam masa mendatang harus menjadi mistikus atau tidak menjadi Kristiani sama sekali. (Karl Rahner – seorang teolg besar abad lalu)
Membahas pengalaman tentang Allah memang tidak mudah. Contoh: dalam seminar “pisang goreng” diundang dua orang pembicara; yang satu ibu sederhana penjual pisang goreng dan yang lain seorang filsuf dari Chicago.
* Ibu penjual pisang goreng (contoh orang yang mengalami Allah; seorang Kristen yang sungguh mengimani Yesus)
Pembicaraannya akan sangat hidup karena ibu ini berbicara dari pengalamannya. Dengan lancar dia berbicara detil tentang pisang goreng, dari bagaimana harus memilih pisang, menakar tepung, mencampur air, memotong pisang, menggorengnya, kadar panas apinya, dan kapan pisang itu harus diangkat dari penggorengan, serta sampai kapan pisang goreng itu dapat bertahan.
* Sang filsuf dari Amerika (contoh orang yang tahu tentang Allah dari teori; seorang atheis yang menjadi dosen Kristologi).
Pembicaraannya panjang lebar meninjau dari berbagai sudut filosofis: bahwa ke-pisang-an itu yang memungkinkan pisang bereksistensi dan atribut “goreng” hanya melekat pada pisang itu pada permukaan jati diri pisang tanpa mengubah hakikat ke-pisangan-nya; bahwa atribut “goreng” pada pisang bukanlah satu-satunya atribut karena ada atribut yang lain misalnya: kekuningan, kehijauan, kemanisan: jadi pisang goreng memberikan contoh salah satu atribut yang dapat melekat pada pisang yang membuat ke-pisang-an itu menjadi nyata berada.
Penjelasan filosofi ini hanya akan membuat orang mengantuk karena ia berbicara teori dan buku tentang pisang goreng, sedangkan pisang gorengnya sendiri belum pernah ia lihat atau makan, apalagi memasaknya.
Penjelasan filosofi ini hanya akan membuat orang mengantuk karena ia berbicara teori dan buku tentang pisang goreng, sedangkan pisang gorengnya sendiri belum pernah ia lihat atau makan, apalagi memasaknya.
Salah satu cara yang paling klasik untuk menilai keaslian pengalaman itu adalah melihat buah Roh dalam kehidupan orang itu (Gal 5:22-23 - kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri).
Jadi, pengalaman boleh tinggi ngawang, tapi jika tidak berbuah konkret dan nyata dalam sikap hidup keseharian, pengalaman itu bisa disebut palsu karena jika Allah sungguh hadir, Ia akan mengubah dan membawa kebaikan yang semakin lebih bagi orang yang mengalaminya dan juga bagi orang lain.
Jadi, pengalaman boleh tinggi ngawang, tapi jika tidak berbuah konkret dan nyata dalam sikap hidup keseharian, pengalaman itu bisa disebut palsu karena jika Allah sungguh hadir, Ia akan mengubah dan membawa kebaikan yang semakin lebih bagi orang yang mengalaminya dan juga bagi orang lain.
Pengalaman akan Allah dalam doa bisa menjadi pengalaman yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Maka, sering para mistik tersebut mengungkapkannya dengan perumpamaan (analogi/metafora/simbol) atau puisi atau diam sama sekali.
Maka, sering para mistik tersebut mengungkapkannya dengan perumpamaan (analogi/metafora/simbol) atau puisi atau diam sama sekali.
St. Teresa Avila:
* Perjalanan hidup rohani dibagi menjadi tiga bagian besar - metafora “bagaimana cara mendapatkan air”:
Via negativa/purgativa: jalan penolakan/pembersihan, di mana kita harus banyak berusaha menolak dosa dan mengatasi kelemahan-kelemahan diri serta banyak berlatih dalam doa. Matiraga dan disiplin diri di dalam tahap awal ini menjadi amat penting.
Kita harus menimba air dari sumur dengan tangan kita, kita harus bekerja keras menimba air itu untuk mengairi taman bunga.
Via illuminativa: jalan pencerahan. Kita lebih kurang berusaha dan Allah lebih banyak berinisiatif dan melakukan ini dan itu.
Kita tetap harus menimba air, tapi sudah ada alat bantu timba dan pipa-pipa air yang membuat pekerjaan kita menjadi ringan.
Via unitiva: jalan persatuan. Di sini kita diam pasif dan Allah yang aktif berkarya dalam diri kita.
Kita berhenti menimba, tugas kita hanya mengarahkan pipa ke mana air harus mengaliri taman. Kita tak bekerja keras, air datang dari sumber mata air atau dari sungai.
Akhirnya, kita menjadi sama sekali pasif karena air datang dari hujan dan hujan ini akan menyuburkan taman bunga kita.
Akhirnya, kita menjadi sama sekali pasif karena air datang dari hujan dan hujan ini akan menyuburkan taman bunga kita.
Bahasa atau metafora yang digunakan para mistikus yang lahir dari pengalaman mereka biasanya sangat sederhana, tetapi makna dan penjelasan yang ada dibaliknya sungguh amat dalam.
Pengalaman ini bisa didapatkan di mana saja, jika Allah menghendaki, namun tempat yang wajar adalah dalam doa.
Pengalaman ini bisa didapatkan di mana saja, jika Allah menghendaki, namun tempat yang wajar adalah dalam doa.
* Tahap-tahap hidup rohani - analogi sebuah perjalanan memasuki sebuah puri yang mempunyai banyak ruang untuk dapat sampai ke ruang tengah puri itu (lih. Ziarah ke pulau Puri Batin).
St. Yohanes Salib
* Allah Roh Kudus – puisi Nyala Api Cinta.
NCA ini adalah Roh Sang Pengantin, yakni Roh Kudus. Jiwa merasakannya di dalamnya bukan saja sebagai api yang melahap dan mengubahkan, melainkan juga sebagai api yang membakar dan bernyala di dalamnya. ... Dan api itu, setiap kali ia menyala, membasuh jiwa dalam kemuliaan dan menyegarkannya dengan kualitas hidup ilahi.
* Perjalanan menuju Allah - analogi Mendaki Gunung Karmel.
Doa adalah karya Roh Kudus dalam diri kita dan dalam hidup kita; karya Roh Kudus, bukan karya manusia. Dialah yang berkata-kata apabila kita tidak mampu berkata-kata (Rm 8:26).
Ia membimbing kita kepada persatuan dengan seluruh Gereja dan membantu kita untuk memperdalam pengalaman kita akan Allah.
Roh Kudus adalah pemberian terbesar dari Allah. Dalam Roh-Nya Allah selalu memberikan diri-Nya kepada manusia.
Dalam arti ini Allah selalu mengawali setiap komunikasi, percakapan, hubungan dengan manusia. Dari pihak kita manusia yang diminta dan diperlukan adalah sikap keterbukaan.
Roh Kudus sebagai Sang Pemberi Hidup berada dalam hati manusia (1 Kor 3:16). Ia adalah mata air yang terus menerus memancar sampai pada kehidupan kekal (Yoh 4:14).
Ia membimbing kita kepada persatuan dengan seluruh Gereja dan membantu kita untuk memperdalam pengalaman kita akan Allah.
Roh Kudus adalah pemberian terbesar dari Allah. Dalam Roh-Nya Allah selalu memberikan diri-Nya kepada manusia.
Dalam arti ini Allah selalu mengawali setiap komunikasi, percakapan, hubungan dengan manusia. Dari pihak kita manusia yang diminta dan diperlukan adalah sikap keterbukaan.
Roh Kudus sebagai Sang Pemberi Hidup berada dalam hati manusia (1 Kor 3:16). Ia adalah mata air yang terus menerus memancar sampai pada kehidupan kekal (Yoh 4:14).
Analogi tentang seberapa banyak dan sejauh apa usaha manusia itu dalam hidup doa. Kita hanyalah pembantu koki yang memotong semua daging dan sayur, menyiapkan semua bumbu, dan Allahlah Sang Koki, Ia yang memasak bahan-bahan mentah itu menjadi masakan yang nikmat dan lezat. Kalau mau dimengerti lebih dalam lagi, Allah jugalah yang menciptakan bahan-bahan makanan itu.
Jadi, singkatnya Allah menciptakan bahan makanan, manusia menyiapkan bahan tersebut untuk dimasak, dan akhirnya Allah jugalah yang memasaknya menjadi makanan yang lezat.
Jadi, singkatnya Allah menciptakan bahan makanan, manusia menyiapkan bahan tersebut untuk dimasak, dan akhirnya Allah jugalah yang memasaknya menjadi makanan yang lezat.
Doa mengajarkan kepada kita sikap kontemplatif terhadap dunia sekitar menjadikan kita mampu menemukan kehadiran Allah dalam peristiwa hidup sehari-hari dan khususnya menemukan Allah dalam diri saudara dan saudari kita. Dengan demikian, kita dibimbing untuk menghargai misteri mereka yang berbagi hidup bersama kita.
Alasan kita berdoa dan tujuan dari perkawinan rohani adalah lahirnya perbuatan baik, ya perbuatan baik.
Inilah tanda yang paling benar bahwa sesuatu berasal dari Allah. Pentinglah mengetahui bahwa dasar hidup rohanimu tidak melulu terletak dalam doa dan kontemplasi. Kalau kamu tidak berjuang untuk mengembangkan keutamaan-keutamaan hidupmu dan menerapkannya, kamu akan menjadi kerdil.
Marilah kita merindukan dan menyibukkan diri dalam doa bukan demi pemuasan diri kita, melainkan agar kita mendapatkan kekuatan untuk melayani (St. Teresa Avila).
Inilah tanda yang paling benar bahwa sesuatu berasal dari Allah. Pentinglah mengetahui bahwa dasar hidup rohanimu tidak melulu terletak dalam doa dan kontemplasi. Kalau kamu tidak berjuang untuk mengembangkan keutamaan-keutamaan hidupmu dan menerapkannya, kamu akan menjadi kerdil.
Marilah kita merindukan dan menyibukkan diri dalam doa bukan demi pemuasan diri kita, melainkan agar kita mendapatkan kekuatan untuk melayani (St. Teresa Avila).
Melalui proses kemurnian hati (puritas cordis) dan mengosongkan diri di hadirat-Nya yang kudus (Vacare Deo) kita bersatu dengan Sang Kebahagiaan Sejati sehingga sikap kita akan diubah menurut cinta-Nya.
Oleh karenanya, sikap hidup kontemplatif kita yang penuh kasih itu pun akan tampak dalam hidup persaudaraan dan pelayananan kita.
Oleh karenanya, sikap hidup kontemplatif kita yang penuh kasih itu pun akan tampak dalam hidup persaudaraan dan pelayananan kita.
Pelayanan tidak selalu berjalan mulus, bisa jadi ada banyak tantangan yang menghadang. Oleh karena itu, kita mesti menjadi suara nabi yang berseru membela keadilan dan perdamaian seperti Elia (1 Raj 17:1-24; 18:16-40; 18:1-15).
Elia menyerukan hal ini bukan karena ia tergila-gila dengan kerja, namun baik dalam doa maupun dalam karya ia berkobar-kobar oleh dan bagi Allah.
Elia menyerukan hal ini bukan karena ia tergila-gila dengan kerja, namun baik dalam doa maupun dalam karya ia berkobar-kobar oleh dan bagi Allah.
Hidup komunitas dalam persaudaraan adalah batu ujian pertama bagaimana pengalaman rohani dalam doa, setinggi apa pun itu, dibawa dan mewarnai hidup kita. Dan bagaimana kita setelah diubah oleh pengalaman akan Allah dapat menemukan wajah-Nya dalam diri para saudara yang hidup bersama dengan kita setiap hari.
Berkobar-kobar bagi Allah membuat kita tidak terjebak dalam dikotomi doa atau karya, namun baik dalam doa maupun dalam karya kita berkobar-kobar oleh semangat Allah. Kita menyala-nyala dalam doa, kita pun berkobar-kobar untuk melayani dalam karya-karya kita, apapun bentuknya itu.
Orang yang tidak beres dengan dirinya sendiri dalam doa, maka yang ia sumbangkan pada orang lain adalah sikap-sikap negatifnya.
Doa yang sejati menghantar kita untuk mengenal dan menjalin relasi yang penuh kasih dengan Allah dan diri sendiri; menghantar kita untuk menjalin relasi yang penuh kasih dengan sesama kita dan bahkan dengan seluruh ciptaan.
Pengalaman yang mengubah atau pengalaman transformatif doa disebut kontemplasi (pengalaman transformasi kasih Allah yang melimpah).
Pengalaman yang mengubah atau pengalaman transformatif doa disebut kontemplasi (pengalaman transformasi kasih Allah yang melimpah).
Cerita dari Timur ini mungkin bisa mencerahkan kita.
Pada suatu waktu hiduplah seorang pertapa di puncak sebuah gunung. Ia mempunyai beberapa orang murid. Salah serang muridnya yang senior bernama Nino. Esok hari ia akan menggenapi tahun kesepuluh ke muridannya.
Menurut tradisi setelah sepuluh tahun bertapa seorang murid dianggap sudah layak turun gunung untuk mengajar umat. Sang guru menyuruh murid itu untuk datang ke pondoknya malam nanti sebelum tidur untuk menjalani ujian terakhir.
Menurut tradisi setelah sepuluh tahun bertapa seorang murid dianggap sudah layak turun gunung untuk mengajar umat. Sang guru menyuruh murid itu untuk datang ke pondoknya malam nanti sebelum tidur untuk menjalani ujian terakhir.
Malam itu hujan deras. Nino dengan tepat waktu datang ke tempat sang guru. Di depan pondok ia melepaskan sandal kayunya dan meletakkan payungnya. Ia mengetok pintu dan masuk ke dalam pondok sang guru.
Guru: “Nino, besok kamu akan menyelesaikan masa sepuluh tahun berlatih bertapa di sini. Malam ini adalah malam penentuan apakah kamu dapat dianggap layak mengajar orang atau tidak.”
Nino: “Baik Guru, terima kasih. Saya sudah siap menjawab apapun pertanyaan guru. Saya sudah membaca banyak selama sepuluh tahun ini.”
Guru: “Baik Nino, satu pertanyaan sederhana saja. Di luar hujan. Pada waktu kamu datang ke sini kamu memakai payung dan sandal kayu. Lalu kamu melepaskan sandalmu di depan pondokku, bukan?”
Nino: “Benar, Guru.”
Guru: “Nah, ini pertanyaannya, di sebelah mana kamu meletakkan payungmu? Sebelah kanan atau kiri sandalmu?”
Nino: “Hmmmmm....” Ia berpikir keras dan lama, ia berkeringat dan akhirnya ia menyerah karena tidak dapat menjawab pertanyaan gurunya dengan yakin.
Guru: “Nino, sudah sepuluh tahun engkau melatih kesadaranmu, engkau memikirkan hal besar mengajar umat, padahal hal kecil yakni dengan sadar meletakkan payungmu di sebelah kiri atau kanan engkau tidak tahu. Engkau harus berlatih sepuluh tahun lagi.”
Kita sering seperti Nino yang telah menjadi kontemplatif, padahal berlatih pun tidak, membuka diri pada Allah pun ogah-ogahan. Mungkin kita perlu sepuluh tahun lagi untuk berlatih merendahkan diri kita di hadapan Allah!
Jika tidak membangun hidupnya atas dasar doa yang kuat dan mendalam sama dengan membangun rumah di atas pasir, tidak kokoh dan tidak kuat.
Hanya orang yang terlatih dalam doa yang dapat menjadi kontemplatif.
Hidup doa tidak selalu manis seperti yang dibayangkan oleh para pemula. Perjuangan berat menanti, semua untuk semakin memurnikan kita dan menjadikan kita semakin serupa dengan-Nya.
Kekeringan rohani akan datang karena dua sebab:
1. karena hidup kita menjauh dari Allah dan kita memupuk dosa; juga karena kita lalai dalam doa dan menjadi malas.
Maka, kita menjadi murung, sedih, lesu, kendor, suram, kacau, dan berbeban berat. Hidup kita akan mengarah kepada kedagingan, karena kita lalai dan sengaja.
Ini semua berawal dari sikap teledor, tak tahu mengatur diri dan menyusun prioritas dalam hidup. Kekeringan rohani semacam ini merupakan konsekuensi logis dari sikap teledor kita.
Seperti petani yang malas mengairi sawahnya, sawah sumber hidupnya mengering dan padi-padinya juga akan mati. Untuk mengatasinya, kita harus memakai prinsip agere contra, melakukan yang sebaliknya, yakni dengan lebih tekun dalam disiplin diri dalam doa, askese, meditasi, dan laku tapa.
Dengannya pula kita mesti menundukkan perasaan-perasaan yang dominan dengan akal budi yang sehat dan merenungkan bahwa tanpa bantuan Allah kita tidak dapat berbuat apa-apa juga untuk maju dalam hidup rohani.
Maka, kita menjadi murung, sedih, lesu, kendor, suram, kacau, dan berbeban berat. Hidup kita akan mengarah kepada kedagingan, karena kita lalai dan sengaja.
Ini semua berawal dari sikap teledor, tak tahu mengatur diri dan menyusun prioritas dalam hidup. Kekeringan rohani semacam ini merupakan konsekuensi logis dari sikap teledor kita.
Seperti petani yang malas mengairi sawahnya, sawah sumber hidupnya mengering dan padi-padinya juga akan mati. Untuk mengatasinya, kita harus memakai prinsip agere contra, melakukan yang sebaliknya, yakni dengan lebih tekun dalam disiplin diri dalam doa, askese, meditasi, dan laku tapa.
Dengannya pula kita mesti menundukkan perasaan-perasaan yang dominan dengan akal budi yang sehat dan merenungkan bahwa tanpa bantuan Allah kita tidak dapat berbuat apa-apa juga untuk maju dalam hidup rohani.
Dosa bukan melulu melanggar perintah Allah, namun lebih serius dari itu, dosa menolak dan menghina cinta Allah; memalingkan diri dari Allah, mengarahkan diri pada ciptaan (Thomas Aquinas).
Konsekuensinya sungguh besar, dengan menolak Allah, kita berarti menolak diri sendiri dan menolak sesama kita.
Konsekuensinya sungguh besar, dengan menolak Allah, kita berarti menolak diri sendiri dan menolak sesama kita.
2. karena kita sedang ditarik Allah untuk masuk lebih dalam lagi dalam hidup rohani kita, yakni berjalan melintasi padang gurun (keheningan dan kesendirian).
Dalam keadaan ini lagu-lagu rohani yang dengan manis telah menghibur kita menjadi hambar, kalimat-kalimat dalam Kitab Suci seolah-olah berlarian di hadapan kita, dan doa hening kita menghasilkan kehampaan.
Kita lalu sering mengeluh mengapa kita yang sudah berusaha hidup teratur dan baik secara moral, rajin dan tekun dalam latihan doa, kita justru mengalami kekeringan.
Dalam keadaan ini lagu-lagu rohani yang dengan manis telah menghibur kita menjadi hambar, kalimat-kalimat dalam Kitab Suci seolah-olah berlarian di hadapan kita, dan doa hening kita menghasilkan kehampaan.
Kita lalu sering mengeluh mengapa kita yang sudah berusaha hidup teratur dan baik secara moral, rajin dan tekun dalam latihan doa, kita justru mengalami kekeringan.
Kekeringan itu “baik” bagi kita dan jika kita mengeluh di sini, kita kurang rendah hati karena dalam tahap yang maju ini mungkin kita berpikir bahwa kita sudah “ahli” dalam hidup rohani dan layak menjadi guru.
Kamu tidak dapat mengharuskan Allah menganugerahkan rahmat khusus padamu. Sebaliknya, dia yang telah menerima banyak, dituntut banyak pula ... Rupanya kita lebih suka penghiburan daripada salib (St. Teresa Avila ).
Kamu tidak dapat mengharuskan Allah menganugerahkan rahmat khusus padamu. Sebaliknya, dia yang telah menerima banyak, dituntut banyak pula ... Rupanya kita lebih suka penghiburan daripada salib (St. Teresa Avila ).
Terhadap kekeringan jenis ini sikap kita hendaknya lebih dengan rendah hati menyerahkan diri pada Allah untuk dibentuknya, seperti tanah liat di tangan tukang tembikar.
Sikap dasar doa yakni keterbukaan pada Roh Kudus.
Pada akhirnya semua doa bermuara pada keheningan yang mendalam dan menjadi pasif di hadirat-Nya yang kudus.
Keheningan dapat lebih mudah menghantar kita ke dalam misteri Allah.
Keheningan dan kesendirian adalah dokter ahli bedah yang dapat dengan tajam mengupas semua topeng kehidupan dan membuang segala kepalsuan hidup, memampukan orang untuk kembali pada jati dirinya, dan dapat mengekang kejahatan lidah (Yak 3:5-6, 8).
Berdasarkan penelitian modern, “dalam keheningan meditasi”, gelombang otak menjadi tenang, lebih tenang daripada saat kita tidur dan membuat otak memproduksi emosi-emosi positif dan perasaan-perasaan baik. Aspek positif ini bukan saja berlangsung selama meditasi, tapi juga tinggal tetap dan mempengaruhi kita sesudah meditasi.
Allah merasuk ke dalam jiwa dengan amat lembut seperti air yang menetes di atas spons, meresap dengan mudah, dalam keheningan, dan menentramkan jiwa. Dalam keheningan dan ketelanjangan diri itulah manusia berhadapan dengan Allah, Penciptanya.
* Keheningan itu menjadi tempat Allah menyembuhkan kita dan mengembalikan kita pada fitrah kita yang baik, suci, murni, dan bersih, seperti pada awal penciptaan (menemukan Allah dan menemukan dirinya yang sejati dalam Allah).
Keheningan adalah guru yang mengajar untuk mendengarkan firman Tuhan karena dalam keheningan suara-suara lain yang bukan dari Allah terhalau. Dalam hening pikiran dan tubuh kita menjadi lebih tenang.
* Dalam ketelanjangan diri apa adanya inilah dia menyadari kerapuhannya dan kemudian merendahkan dirinya di hadapan Sang Pelukis Kehidupan.
Engkau menggerakkan kami untuk bersukacita dalam memuji-Mu karena Engkau telah mencipta kami bagi-Mu dan jiwaku takkan dapat beristirahat dengan tentram sebelum aku beristirahat dalam Engkau (St. Agustinus)
Ingar bingar kehidupan menjadi teman akrab dari ketakutan kita untuk mengenal dan menerima diri apa adanya dengan menyajikan gambar diri yang palsu, yang tidak utuh, yang tidak apa adanya – si jahat bekerja mempengaruhi jiwa dengan godaan yang memaksa, penuh hiruk pikuk dan membuat jiwa gelisah.
Hidup menjadi bertopeng, penuh kepalsuan. Jika topeng ini menjadi berlebihan dan menggumpal dalam kepribadian seseorang, akan timbul penyakit psikis yang membuat orang terbelah kepribadiannya atau berkepribadian ganda.
Orang tersebut tampaknya dapat menjadi ayah yang amat baik dan lemah lembut pada anak-anaknya. Tetapi setiap malam ia berkeliaran untuk merampok dan membunuh orang.
Dalam ingar bingar kehidupan mulut menjadi tidak terkekang, lidah selalu berkata-kata. Gosip bertebaran. Bisikan culas yang menebar kebencian ada di mana-mana.
Hidup menjadi bertopeng, penuh kepalsuan. Jika topeng ini menjadi berlebihan dan menggumpal dalam kepribadian seseorang, akan timbul penyakit psikis yang membuat orang terbelah kepribadiannya atau berkepribadian ganda.
Orang tersebut tampaknya dapat menjadi ayah yang amat baik dan lemah lembut pada anak-anaknya. Tetapi setiap malam ia berkeliaran untuk merampok dan membunuh orang.
Dalam ingar bingar kehidupan mulut menjadi tidak terkekang, lidah selalu berkata-kata. Gosip bertebaran. Bisikan culas yang menebar kebencian ada di mana-mana.
Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati (Ams 15:4)
Kristus mengandaikan para pengikut-Nya sudah mencapai kematangan tertentu dalam hidup rohaninya.sehingga Dia menyingkat kesepuluh perintah Allah menjadi dua perintah kasih pada Allah dan sesama.
Keutamaan adalah suatu sikap yang penuh kesadaran untuk memilih mengarahkan diri pada hal-hal yang baik dan ini dilakukan atau dilatih secara berulang-ulang sehingga menjadi cara hidup kita.
Selain keutamaan teologal iman, harapan dan kasih yang kita andaikan ada dalam doa, dari pihak kita masih ada beberapa keutamaan lain yang diperlukan dalam doa.
I. Kerendahan hati – keutamaan yang paling diperlukan
1. membuat kita tahu posisi kita di hadapan Allah, yakni kita sebagai ciptaan dan Allah adalah Sang Pencipta. Namun banyak orang yang merasa dan menganggap dirinyalah yang mengatur seluruh hidupnya, bukan Allah.
Pendek kata, mereka menjadi allah bagi diri mereka sendiri. Sebaliknya, kerendahan hati menjadikan Allah sebagai Allah dalam hidup kita.
Pendek kata, mereka menjadi allah bagi diri mereka sendiri. Sebaliknya, kerendahan hati menjadikan Allah sebagai Allah dalam hidup kita.
Menyadari hakikat diri yang rendah di hadapan Allah bukanlah suatu sikap yang menganjurkan kita untuk mempunyai gambaran buruk dan negatif terhadap diri.
Bukan ini yang dimaksudkan, namun untuk mencelikkan mata kita agar kita paham bawa kita yang sebenarnya tidak berarti apa-apa ini oleh Allah dipandang sebagai pribadi yang amat berharga dan dicintainya habis-habisan.
Saat kita melihat bahwa kita tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan, saat itu pulalah kita dapat mengenal diri kita dengan baik bahwa kita memantulkan keindahan dan keagungan Allah (Gal 2:20 – Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku).
Bukan ini yang dimaksudkan, namun untuk mencelikkan mata kita agar kita paham bawa kita yang sebenarnya tidak berarti apa-apa ini oleh Allah dipandang sebagai pribadi yang amat berharga dan dicintainya habis-habisan.
Saat kita melihat bahwa kita tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan, saat itu pulalah kita dapat mengenal diri kita dengan baik bahwa kita memantulkan keindahan dan keagungan Allah (Gal 2:20 – Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku).
2. membuat kita bergerak maju dalam hidup rohani. Tanpa kerendahan hati kita akan macet dalam perjalanan hidup rohani kita. Macet karena kita menganggap diri kita yang lemah dan penuh dosa ini sudah cukup baik dan karena kita tidak mau berubah dan diubah oleh Allah.
Jika kerendahan hati kurang, kita akan tetap di ruang ketiga puri batin seumur hidup kita dengan segala kesusahan dan kesedihannya. Karena kita tidak mau meninggalkan diri kita, tahap ini akan menjadi penuh kerja keras dan sangat berat (St. Teresa Avila).
3. membuat kita lebih taat pada kehendak Allah sehingga pelan-pelan kehendak kita menjadi searah dengan kehendak-Nya.
Kerendahan hati yang melahirkan ketaatan pada Allah itu tercermin “dalam perjuangan kita mempraktikkan keutamaan-keutamaan dalam mengarahkan hidup kita sesuai dengan apa yang telah diatur oleh Yang Mulia dan dalam menginginkan kehendak-Nya yang terjadi dan bukan kehendak kita” (St. Teresa Avila).
4. membuat kita lepas bebas dalam perjalanan kita menuju ke persatuan hidup dengan Allah.
Pujian, kepuasan, dan kenikmatan adalah karunia dan penghiburan yang patut disyukuri tanpa harus menjadi lekat kepadanya karena ini semua bukan Allah sendiri. Jika jiwa memberi perhatian pada mereka maka akan menghalangi jiwa untuk maju dan menghalangi roh menjadi telanjang (St. Yohanes Salib).
Metode untuk mengatasi dan melawan godaan si jahat dan kelekatan-kelekatan buruk dalam hidup, untuk memerangi diri sendiri agar pada akhirnya dapat berjumpa dan bersatu dengan Allah
Pukullah ular sebelum dia masuk ke dalam gua karena jika ia kaubiarkan masuk, engkau akan kesulitan menemukannya dan tiba-tiba engkau akan dipagut dan teracuni oleh bisanya yang mematikan.
Jadilah seorang penjaga pintu bagi hatimu dan janganlah membiarkan begitu saja sebuah pikiran masuk sebelum kamu tanyai.
Tanyailah setiap pikiran satu persatu dan katakan padanya: “Kamu ini salah seorang dari kami atau seorang lawan kami?”
Jika ia salah seorang dari kamu, ia akan memenuhimu dengan kebahagiaan. Namun jika ia antek musuh, ia akan mengisimu dengan kemarahan atau membangkitkan nafsumu.
Tanyailah setiap pikiran satu persatu dan katakan padanya: “Kamu ini salah seorang dari kami atau seorang lawan kami?”
Jika ia salah seorang dari kamu, ia akan memenuhimu dengan kebahagiaan. Namun jika ia antek musuh, ia akan mengisimu dengan kemarahan atau membangkitkan nafsumu.
II. Kesabaran – keutamaan yang diperlukan untuk menanti-nantikan Tuhan (Mzm 130:5-6).
Hidup dalam dunia modern membuat kita semakin bermental instan. Segala sesuatu ingin kita capai dengan cepat dan cepat pula kita lupakan. Semua dilakukan dengan cepat, cepat, dan cepat. Siapa cepat, ia dapat. Di sinilah lahir mentalitas mengambil jalan pintas. Jalan ini mengandaikan bahwa akulah yang mengatur hidupku; hanya akulah yang menentukan arah hidupku.
Dalam hidup rohani mentalitas ini tidak berlaku dan tidak ada jalan pintas menuju persatuan dengan Allah. Kita mesti sabar menanti kapan Allah menghendaki kita untuk berjalan maju, berhenti sejenak, mengalami pemurnian, atau untuk berlari maju dengan cepat.
Dalam hidup rohani mentalitas ini tidak berlaku dan tidak ada jalan pintas menuju persatuan dengan Allah. Kita mesti sabar menanti kapan Allah menghendaki kita untuk berjalan maju, berhenti sejenak, mengalami pemurnian, atau untuk berlari maju dengan cepat.
III. Menyimak dengan sepenuh hati - sahabat dari keutamaan kesabaran. Semakin kita mencoba mengetahui Allah, semakin Allah itu “berkelit” dalam misterinya.
- Allah bekerja dengan amat lembut untuk mengundang kita masuk lebih dalam lagi dalam hadirat-Nya. Karena begitu lembutnya Allah bekerja, perlu dari kita sikap menyimak dengan sepenuh hati (St. Teresa Avila - ruang yang keempat puri batin).
Sikap menyimak ini juga membantu kita untuk mendengarkan-Nya waktu Ia bersabda dalam desahan keheningan.
- Di mana Engkau bersembunyi Kekasihku dan Engkau telah meninggalkanku mengerang? Engkau berlari bagaikan rusa setelah melukaiku. Aku keluar memanggilmu, tapi Kau telah pergi (St. Yohanes Salib – puisi Madah Rohani).
IV. Keberanian – keutamaan ini diperlukan untuk menanggung semua penderitaan fisik, mental, maupun spiritual. Ketika kita berani menerima semua penderitaan ini dengan ketetapan hati yang mantap, pada saat itulah Allah menarik kita untuk bersatu dengannya dalam perkawinan rohani yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata (1 Kor 2:9).
Orang membutuhkan keberanian di sini, dia yang kepadanya Allah menganugerahi perhatian khusus dan juga dia membutuhkan iman dan sikap percaya serta penyerahan diri secara penuh pada Tuhan kita sehingga Ia dapat melakukan apa yang Ia kehendaki bagi jiwa.
Aku katakan padamu, lebih dari yang engkau pikirkan, keberanian dibutuhkan di sini. Kita menjadi malu jika berhadapan dengan sesuatu yang besar, tak peduli seberapa jauh pun engkau menganggap bahwa rahmat Allah itu baik bagi kita, engkau sebenarnya tak layak menerimanya.
Semakin mendekat pada Allah semakin nyatalah kekurangan kita. Di hadapan yang Mahasuci, dengan penuh kontras kita akan melihat diri kita penuh dengan kekotoran dan dosa-dosa. Sangat tidak mudah menerima hal ini.
Oleh karenanya, selain kerendahan hati, keberanian dibutuhkan untuk melihat diri kita dalam keadaan yang sebenarnya, apa adanya (St. Teresa Avila - ruang yang keenam puri batin).
Aku katakan padamu, lebih dari yang engkau pikirkan, keberanian dibutuhkan di sini. Kita menjadi malu jika berhadapan dengan sesuatu yang besar, tak peduli seberapa jauh pun engkau menganggap bahwa rahmat Allah itu baik bagi kita, engkau sebenarnya tak layak menerimanya.
Semakin mendekat pada Allah semakin nyatalah kekurangan kita. Di hadapan yang Mahasuci, dengan penuh kontras kita akan melihat diri kita penuh dengan kekotoran dan dosa-dosa. Sangat tidak mudah menerima hal ini.
Oleh karenanya, selain kerendahan hati, keberanian dibutuhkan untuk melihat diri kita dalam keadaan yang sebenarnya, apa adanya (St. Teresa Avila - ruang yang keenam puri batin).
(Sumber: Warta KPI TL No. 88/VIII/2011 » Berkobar-kobar Bagi Allah, Benny Phang , O. Carm).