Kekerasan dan kejahatan, pembunuhan dan penyiksaan, selalu mewarnai kehidupan umat manusia di bumi ini. Dari mana asal usul kekerasan itu? Mengapa manusia melakukan tindak kekerasan? Kekerasan itu amat kompleks dan dapat terjadi dalam pelbagai aspek kehidupan manusia.
Asal usul kekerasan dapat dilihat dari pelbagai sudut dan disiplin ilmu:
- Kekerasan dari sudut agama (Achmad Khudori Soleh), faktor internal dalam agama: klaim kebenaran, pensakralan atas ide, dan dokrin dakwah.
- Kekerasan dari sudut antropologis (Rene Girard)
Adanya keinginan mimetis yaitu kenyataan bahwa setiap orang menginginkan apa yang orang lain juga inginkan. Sebagai akibatnya lahirlah persaingan.
Ketika kekerasan itu meningkat sampai pada bahaya semua akan dimusnahkan, dicobalah memenangkan kekerasan itu dengan mengorbankan seseorang atau sesuatu (kambing hitam).
Keinginan yang sering menjadi keinginan mimetis adalah keinginan untuk menjadi sama atau tidak mau kalah. Keinginan ini membuat orang tidak mau menerima perbedaan atau menyikapi perbedaan secara keliru, yakni bukan dengan bersyukur melainkan dengan iri hati.
Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena ingin sama dengan Allah (Kej 3 - relasi manusia dengan Tuhan). Kain membunuh Habel karena ingin bernasib sama dengan adiknya (Kej 4:1-16 - relasi manusia dan sesamanya).
Karena manusia itu sendiri adalah kekerasan, seperti hidup adalah kekerasan. Hidup diawali dengan kekerasan (kelahiran - seorang bayi lahir dengan merobek vagina ibunya/bedah caesar) dan diakhiri dengan kekerasan (kematian - ketika mati seseorang ditanam/dibakar).
Pada dasarnya manusia mengandung unsur kekerasan, ia dibentuk dari “debu tanah” (Kej 2:7) seperti binatang dibentuk dari tanah (Kej 2:19).
Dengan kata lain, manusia memiliki kesamaan dengan binatang, yakni sama-sama memiliki unsur kebinatangan dan kerapuhan.
Unsur kebinatangan ini mengacu pada kekejaman yang kuat makan yang lemah. Bahkan dari sudut kekerasan ini, tampaknya manusia lebih kejam daripada binatang. Binatang pada umumnya tidak mau memangsa sesama binatang dari rasnya sendiri, tetapi manusia tega memangsa sesamanya sendiri.
Secara gampang bisa saja dikatakan bahwa strategi mengatasi kekerasan ialah dengan meniadakan akar-akar kekerasan.
Misalnya: karena akarnya adalah tidak mau menerima perbedaan, orang harus belajar menyikapi perbedaan secara tepat. Namun strategi meniadakan akar kekerasan itu tidak selalu bisa diterapkan.
Misalnya: bagaimana dengan unsur kebinatangan yang dimiliki manusia? Meniadakan ini berarti meniadakan manusia itu sendiri. Bagaimana dengan keinginan mimetis? Dapatkah orang hidup tanpa keinginan?
Strategi Allah dalam menghadapi kekerasan mengalami perkembangan
1. Mula-mula Allah memakai strategi hukum (Kej 4:11-12).
Strategi menghukum inilah yang umumnya dipakai manusia dewasa ini. Kekerasan dicoba untuk menghukum pelakunya.
Namun strategi ini sangat ironis karena menghukum seseorang juga merupakan suatu tindakan kekerasan. Menjawab kekerasan dengan kekerasan hanyalah memperbanyak tindak kekerasan.
Contoh: Kain mempersembahkan … sebagai korban persembahan … tetapi persembahannya tidak diindahkan-Nya. Habel mempersembahkan korban persembahan … Tuhan mengindahkan. Kain membunuh Habel, adiknya.
Keturunan Kain, Lamekh membunuh karena dia dipukul sampai bengkak oleh seorang muda. Jika Kain dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh kali lipat (Kej 4:15, 23-24). Strategi ini gagal.
2. Penghancuran total dengan air bah. Tindakan ini pun tidak meniadakan kekerasan.
3. Strategi keselamatan: melepaskan manusia dari kekerasan tanpa kekerasan (Yes 52:13-53:12) – mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali (Mat 18:22).
Diamnya Hamba Tuhan ini membuat orang menyadari bahwa kekerasan mengakibatkan bukan saja si korban melainkan juga si pelaku kekerasan menjadi tidak manusiawi.
Kesadaran inilah yang pada akhirnya mengantar orang pada pertobatan dan tidak mengulangi kekerasan.
Marilah kita belajar dari Kain dan Habel (Kej 4:1-16):
Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan menamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kej 2:7, 21-23)
» menamai mengandaikan mengenal, dan mengandung arti menguasai. Hubungan Adam dan Hawa adalah hubungan antara laki-laki yang berkuasa, yang memandang perempuan sebagai miliknya, sebagai obyek yang dimiliki.
Semenjak jatuh ke dalam dosa, laki-laki (Adam) yang mengira perempuan (Hawa) berasal dari dia, memperlakukan perempuan sebagai obyek yang dimilikinya.
Hawa yang diperlakukan demikian tidak dapat bertindak sebagai subyek yang bisa mengungkapkan cintanya. Di bawah tekanan kuasa suami, ia hidup dalam kekosongan cinta. Dulu ia ingin menguasai laki-laki namun dalam kenyataannya laki-laki menguasainya (Kej 3:16).
Dalam arti tertentu perbedaan laki-laki dan perempuan merupakan simbol semua perbedaan dunia. Adanya perbedaan bukanlah untuk memecah belah, untuk membuat orang iri hati, melainkan untuk membangun semua dalam kesatuan (Bdk. 1 Kor 12:4-11; Ef 4:1-13).
Allah menghendaki adanya perbedaan untuk tujuan luhur, untuk persatuan dan penyempurnaan umat manusia, agar manusia saling melengkapi.
Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, istrinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan Tuhan.”
» Keinginan itu tidak pernah padam. Begitu sang bayi lahir, ia berteriak kegirangan: “… ” Kekosongannya karena tidak bisa mengungkapkan cinta, kini diisi sepenuhnya dengan menumpahkan cinta pada Kain (Hawa sebagai subyek, Kain sebagai obyek).
Sepintas apa yang dia lakukan terhadap Kain adalah ungkapan cinta yang agung dan tulus, namun sebenarnya hanyalah pembalasan dendam atas perlakuan suami.
Ia memperlakukan anaknya sebagai obyek pemuas sebagaimana suami telah memperlakukan dirinya. Kain è terkurung dalam penjara kasih ibu.
Selanjutnya dilahirkannya Habel, adik Kain
» Kelahiran Habel sepertinya tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap hidup Hawa. Tidak terdengar reaksi kegembiraan ataupun kesedihan ketika Habel lahir. Habel - menderita kekurangan kasih sayang.
Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada Tuhan sebagai korban persembahan … tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya.
Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya, maka Tuhan mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu
» Kain mempersembahkan bukan sebagai pemberian cuma-cuma, melainkan untuk tujuan tertentu, untuk mencapai Allah dan mendapat balasan dari-Nya.
Dengan tidak mengindahkan persembahan Kain, Allah menunjukkan kepada Kain bahwa hidup ini mempunyai batas, dan mengundang Kain untuk keluar dari kungkungan infantilismenya akibat ulah sang ibu. Ia menyadarkan Kain bahwa tidak segala sesuatu bisa didapat dengan segera.
Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram. Firman Tuhan kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya
» Kain salah karena bermuka muram dalam menyikapi tindakan Allah. Allah tidak membiarkan Kain bergulat sendirian untuk keluar dari keterkurungannya.
Kain mendengar suara Allah yang mengingatkan dia akan adanya bahaya tipuan yang mencoba menjerumuskannya ke dalam dosa
(= suara hati -
1. Bersaing dengan suara nafsu keserakahan dalam mempengaruhi dan menggerakkan manusia mengambil keputusan melakukan sesuatu.
2. Mengundang manusia untuk merefleksikan apa yang telah terjadi.
3. Memberi pencerahan kepada manusia untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, serta mendorong manusia untuk memilih yang benar dan baik).
· … Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia … Firman Tuhan kepadanya: “Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat
» Dibalik kisah yang tampaknya begitu biasa, tumbuh ketidakseimbangan dan kekejaman tersembunyi begitu halus karena cinta ibu yang tidak sehat.
Kain yang menderita kekerasan juga melakukan tindak kekerasan terhadap adiknya. Begitulah kejahatan terus menurun dan berlanjut.
Kemudian Tuhan menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapapun yang bertemu dengan dia
» Meskipun Kain telah melakukan dosa berat, Allah mencegah balas dendam supaya kejahatan tidak terulang bahkan bertambah besar mengingat pembalasan sering lebih kejam daripada kejahatan itu sendiri.
Begitulah kekerasan membangun kerajaan ketakutan dan hanya bila ada ketakutan akan kejahatan dan balas dendam, hidup di bumi bisa berlanjutan.
Lalu Kain pergi (yasa) dari hadapan Tuhan
» berarti keluar dan mengandung makna yang berhubungan dengan lahir. Kain lahir untuk memulai hidup baru, namun bukan hidup dalam kebahagiaan melainkan hidup yang penuh derita dan kesialan.
Apakah strategi Allah ini pun telah gagal? Boleh dikatakan ya, tetapi bukan karena strategi itu salah melainkan karena manusia tidak mau menerapkan strategi itu. Manusia terus memilih membalas kekerasan dengan kekerasan.
Agar kita dapat menerapkan strategi seperti yang diteladankan Kristus, maka kita memerlukan peta (firman Tuhan dan ajaran-ajaran resmi Gereja Katolik) dan kompas (Tuhan Yesus Kristus).
(Sumber: Warta KPI TL No. 86/VI/2011 » Perempuan Sumber Dosa?, Dr. Penka Yasua).