Hidup bergaul dengan Allah berarti senantiasa hidup di hadirat Allah, ketika Tuhan menuntun kita, kita akan berjalan begitu saja ~ membawa kita pada kematian daging.
Kalau kita tidak sering dihadirat Allah, daging kita lebih dominan dalam kehidupan ini. Pergaulan itu perlu dilatih, diperjuangkan, dipelihara dan dirawat dengan baik, sehingga menghasilkan kebijaksanaan.
Tuhan adalah pribadi yang terbuka, kalau kita mau berbicara dari hati ke hati. Semakin dalam kita bergaul/mengenal Dia, semakin besar cinta di hati kita sehingga kita dapat mencintai Allah baik di dalam suka maupun duka.
Jikalau kamu tinggal di dalam Aku (dihadirat Allah), firman-Ku tinggal di dalam Aku (bergaul karib dengan Dia), mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya (Yoh 15:7) ~ merupakan kunci segala-galanya; pergaulan menghasilkan keintiman dengan Dia, sehingga pada saat kritis ada hasil yang luar biasa.
Banyak orang tahu tentang kerajaan sorga lewat baca Kitab Suci/sekolah, tetapi tidak mengalami Allah setiap hari secara pribadi/tidak mengenal (punya pergaulan) dengan penguasa kerajaan sorga di dalam kehidupannya. Misalnya: kita tak mengenal SBY, hanya tahu saja – karena kita tidak bergaul dengan dia.
Aku akan menjadikan mereka dan semua yang disekitar gunung-Ku menjadi berkat (Yeh 34:26).
Marilah kita belajar dari Ester, Abraham dan Ayub
Ester merupakan ratu dari raja Ahasyweros. Karena Haman (orang kepercayaan raja Ahasyweros) sakit hati dengan Mordekhai (paman Ester), maka dia mencari ikhtiar hendak memusnahkan Mordekhai dan semua orang Yahudi di seluruh kerajaan Ahasyweros.
Dengan tipu muslihatnya, dia berbicara pada raja Ahasyweros untuk mengeluarkan undang-undang. Raja Ahasyweros menyetujui undang-undang yang diusulkan itu dan surat itu dimeterai dengan cincin meterai raja.
Ketika Mordekhai mengetahui segala yang terjadi itu, dia berbicara pada Ester: “Jangan kira engkau di dalam istana raja terluput dari antara semua orang Yahudi ... engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu ... kedudukanmu sebagai ratu ...”
Meskipun belum waktunya bertemu raja, tetapi ratu Ester berdandan cantik dan wangi lalu menghadap raja. Dan raja berkenan kepadanya, sehingga raja mengulurkan tongkat emas yang ditangannya ke arah Ester, lalu mendekatlah Ester dan menyentuh ujung tongkat itu.
Bertanyalah raja kepada Ester: “Apakah permintaanmu? Niscaya akan dikabulkan. Dan apakah keinginanmu? ...”
Kata Ester: “Hendaklah dikeluarkan surat titah untuk menarik kembali surat-surat yang berisi rancangan Haman ...”
Jawab raja: “Surat yang dituliskan atas nama raja dan dimeteraikan dengan cincin meterai raja tidak dapat ditarik kembali. Kecuali ditulis undang-undang ke dua untuk menetralisir undang-undang pertama.” ~ karena raja tersentuh hatinya, mengabulkan permintaan ratu, ada keintiman antara raja dan ratu (Est 3-8).
Kalau kita menjalin keintiman dengan Allah, hasilnya luar biasa ~ Allah akan memberitahu apa yang sedang/apa yang akan kita alami:
Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini? (Kej 18:17).
Keturunanmu akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan mereka, dan mereka akan diperbudak dan dianiaya, empat ratus tahun lamanya. Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda yang banyak. Tetapi engkau akan pergi kepada nenek moyangmu dengan sejahtera; engkau akan dikuburkan pada waktu telah putih rambutmu. Tetapi keturunanmu yang keempat akan kembali ... kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini...” (Kej 15:13-18).
“Murka-Ku menyala ... karena kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub. Oleh sebab itu ... pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkan ... sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima.” (Ayb 42:7-8).
Perjalanan rohani merupakan pendakian merambat setapak demi setapak dalam kegelapan, pemurnian yang menumbuhkan iman, harapan dan kasih kepada Tuhan.
Marilah kita berlomba-lomba untuk mengenal secara intim dengan pemimpin kerajaan sorga. Karena kalau kita intim dengan Tuhan, apa yang Tuhan berikan pada kita akan jauh lebih besar dari pada yang kita berikan pada-Nya.
(Sumber: Warta KPI TL No. 42/X/2007; Renungan KPI TL Tgl 13 September 2007, Dra Yovita Baskoro, MM).
Hidup di hadirat Allah berarti senantiasa menyadari kehadiran Allah, dengan berusaha mengarahkan hati dan pikiran selalu kepada Dia. Bukankah sepanjang hari dalam hidup ini kita bertabur siraman cintakasih Allah?
Setiap waktu kita dapat melihat setiap pemberian Tuhan dalam hidup kita - saat bangun pagi kita dapati tubuh yang sehat, mata yang dapat melihat warna-warni bunga di taman, kicau suara burung, keluarga, teman-teman, pekerjaan, dan bagaimana Tuhan menolong dalam setiap kesulitan - semua itu membuat mata hati kita melihat bahwa Allah sungguh hidup!
Melihat tangan kasih-Nya yang berkarya dalam kehidupan, memandang alam semesta yang merupakan jejak cinta-Nya, itulah yang akan mengangkat hati kita ke hadirat Allah.
Untuk bisa tinggal di hadirat Allah, kita perlu melatih diri (Doa Yesus sepanjang hari/membiasakan diri bercakap-cakap dengan rendah hati namun penuh cintakasih kepada Dia di segala waktu; terlebih saat dalam godaan, penderitaan, kekeringan, kecemasan, bahkan ketika kita sedang tidak setia dan berdosa).
Sekali pun kita tidak sedang berdoa – segala pekerjaan dilakukan dengan tenang, lembut, dan penuh cintahkasih, sebagai persembahan kepada Allah sebagaimana yang diteladankan oleh St. Theresia dari Lisieux.
Perhatian yang terus menerus kepada Tuhan ini juga akan memenggal kepala si jahat yang selalu mengintai dan menanti kelemahan kita.
Dengan hati dan pikiran yang selalu terarah kepada Tuhan, membuat seluruh keberadaan kita menjadi sebuah percakapan kecil dengan Allah - suatu komunikasi yang lahir dari hati yang murni dan sederhana. Hati kita pun akan menjadi lebih lepas bebas dan damai, tidak lagi terbeban dengan berbagai masalah duniawi.
Latihan ini perlu dilakukan dengan setia, agar akhirnya menjadi suatu kebiasaan - hati akan terangkat kepada Allah dan jiwa mengalami damai dan sukacita.
Hati kita adalah tempat kediaman Allah Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Kapan pun dan di mana pun, Ia tidak pernah meninggalkan kita (Elisabeth dari Trinitas)
Hidup di hadirat Allah berarti hidup dalam kesucian yang besar (Br. Lawrence dari Kebangkitan, seorang karmelit yang hidup sekitar abad ke 16)
Mengucap syukurlah dalam segala hal (1 Tes 5:18) – tanpa pemberontakan/kekuatiran, kita benamkan jiwa kita ke dalam samudera kasih Allah - menerima dengan rela dan gembira setiap kehendak Allah yang terjadi dalam hati kita, menerima segala sesuatu yang Tuhan berikan kepada kita.
Ketika segala sesuatu berhasil dan berjalan sesuai rencana, tanpa rasa syukur kita akan tenggelam dalam kesombongan dan kebanggaan diri yang sia-sia.
Ketika kita berjumpa dengan kegagalan dan kejatuhan, tanpa rasa syukur kita akan tenggelam dalam keterpurukan dan penyesalan diri yang berkepanjangan.
Ketika perpisahan yang tak pernah kita inginkan terjadi, tanpa rasa syukur kita akan tenggelam dalam kehilangan dan kesepian diri yang tak bertepi.
Ketika hari-hari kita lalui begitu saja tanpa rasa syukur, tiba-tiba kita temukan diri kita sudah tenggelam dalam lingkaran waktu yang tak bermakna.
(Sumber: Warta KPI TL No. 26/VI/2006; Hidup di Hadirat Allah, Vacare Deo edisi II/Tahun VIII/2006).
Setiap saat, sadar atau tidak sadar kita selalu bernafas; nafas ini sungguh-sungguh anugerah Tuhan, gratis.
Seorang Bapa Gereja yang bernama St. Gregorius dari Nasianse mengatakan bahwa “Kita harus lebih sering mengingat Allah, daripada bernafas”, artinya kita dipanggil selalu hidup di hadirat Allah, menyadari kehadiran Tuhan.
Jadi, kita harus berdoa setiap waktu di dalam Roh (Ef 6:18). Hidup di hadirat Allah merupakan latihan rohani untuk menyadari kehadiran Allah dalam tubuh dan jiwa kita.
Kita tidak dapat berdoa “setiap saat”, kalau kita tidak berdoa dengan sadar pada waktu tertentu. Jadi, ada kaitan antara waktu doa sehari-hari yang kita persembahkan kepada Tuhan dengan hidup di hadirat Allah.
Dari hidup doa sehari-hari mengalirlah hidup di hadirat Allah dan memampukan kita untuk doa setiap saat, sebenarnya kita adalah Rumah Doa-Nya, karena kita adalah Bait Roh Kudus (1 Kor 3:16). Saat-saat ini merupakan puncak doa Kristen, karena kedalamannya dan lamanya (KGK 2697).
Bagi pengikut Kristus yang telah menerima Sakramen Baptis, hal ini mungkin terjadi karena Allah selalu hadir di hati, bagi mereka yang menyadarinya.
Dasar hidup di hadirat Allah karena cinta. Jika kita tidak mengenal-Nya secara pribadi, maka kita juga tidak akan menyayangi-Nya. Jika kita betul-betul jatuh cinta, maka kita akan mengingat-Nya terus.
Cara praktis hidup di hadirat Allah yaitu menyadari dan mengingat bahwa Allah selalu hadir di hati kita dalam setiap aktivitas kita.
Di pasar atau waktu berjalan-jalan dalam kesunyian kamu dapat sering dan dengan rajin berdoa. Juga, apabila kamu duduk di dalam perusahaan, atau waktu menjual atau membeli, malahan juga waktu kamu memasak (Yohanes Krisostomus)
Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Mat 6:21). Apa dan siapa yang menjadi harta kita. Jika kita menyayangi … (ciptaan - pasangan dan anak-anak/uang dll), maka itu adalah harta kita. Jika kita menyayangi Pencipta, maka harta kita adalah Tuhan Yesus. Manakah harta yang kita pilih?
Doa-doa yang sangat sederhana ini (Ye…sus…, Tuhan kasihanilah kami, Allah hadir di hatiku dll) dapat menghasilkan buah-buah yang sangat kaya secara rohani, misalnya: penyangkalan diri, pengendalian diri terhadap daya batin kita (pikiran, ingatan, fantasi/khayalan, kehendak).
Ingatan dan pikiran kita seringkali dikuasai oleh hal-hal yang negatif (masalah/beban hidup, kekuatiran, merasa bersalah karena dosa-dosa) sehingga orang bisa menjadi gila atau bunuh diri.
Jika kita selalu berfokus pada Allah maka kita hanya memikirkan hal-hal yang positif sehingga kita dapat menjadi orang kudus.
Jadi, masuklah kamar kecil dalam hatimu, ketahuilah bahwa Allah ada di sana. Bila kamu terasa tegang, banyak masalah, cepatlah masuk ke situ dan percayakanlah semuanya pada Sang Guru. Berdoa tidak akan menjemukan kamu. Kamu pergi kepada Dia yang kamu cintai, kamu tinggal pada-Nya seperti anak kecil yang digendong ibunya. Dia membiarkan hatimu berbicara (Elizabeth dari Trinitas).
Tidak ada suatu apa pun yang lebih bernilai daripada doa: doa membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan yang berat menjadi ringan. Seorang yang berdoa, tidak mungkin berdosa (Yohanes Krisostomus).
Marilah kita meneladan santa pelindung persekutuan ini sehingga kita dapat menemukan “jalan kecil”-nya … akhirnya kita dapat memperoleh hidup yang kekal sejak di dunia ini, yaitu mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus (Yoh 17:3).
(Sumber: Warta KPI TL No. 87/VII/2011 » Renungan KPI TL tgl 21 Juli 2011, Bapak Effendy).