Senin, 15 Agustus 2016

Ada apa dengan kesucian?




Untuk pertama kalinya dalam sejarah seorang biarawati mengikuti audisi The Voice. Dalam audisi tersebut biarawati itu terpilih, bahkan empat juri bersedia membimbingnya.

Suster Cristina, biarawati ordo Ursulin Italia berhasil menjadi juara satu dalam kontes The Voice tahun 2014. Tidak hanya dipuji karena suara emasnya tapi gaya penggung Cristina juga dinilai natural dan jenaka tidak terkesan berusaha untuk jaga image hanya karena dia seorang biarawati.



Kejadian ini menjadi pro dan kontra diantara umat Katolik, mereka mempersoalkan tentang kesucian dalam kehidupan membiara.


Ada apa dengan kesucian jaman sekarang, banyak orang merasa kesucian/kesalehan itu terletak pada berapa sering orang itu duduk sendiri berdoa di dalam gereja, atau seberapa sering misa, atau seberapa sering devosi rosario, atau seberapa sering ziarah. Mungkin kesucian itu hanya ada dalam biara-biara, hanya ada dalam gereja.

Kebanyakan orang memiliki gambaran yang keliru mengenai kerohanian dan kesucian (sehingga begitu melihat kenyataan sebenarnya, orang kaget).

1. Orang mengira bahwa semakin lama orang berdoa dan beribadat, semakin sucilah ia. Maka, yang suci adalah mereka yang kebanyakan waktunya dihabiskan di seputar altar, gereja, masjid, tempat bertapa dan berdoa. Kesucian hanya sekedar dipandang formalitas, bagaimana dia mengikuti ibadat dengan baik, aturan agama dengan baik.

Orang pikir yang suci itu adalah yang saleh dan kesalehan itu dilekatkan pada kesucian narcisistik: upaya menyelamatkan diri sendiri dengan aneka bungkus kesucian yang diukur dengan aneka aturan agama, entah itu bentuknya rumusan atau tata cara ibadat.

Mereka mengejar kesucian demi kesucian itu sendiri (apa-apa saja mereka lakukan untuk mendapatkan status suci (Luk 11:42).

Kesucian seperti itu menjadi segala-galanya, tetapi tak diletakkan dalam dimensi sosial hidup mereka. Orang macam ini imun terhadap persoalan sosial karena yang terpenting baginya ialah kesalehan pribadi: yang penting aku merasakan kedamaian ilahi.

2. Orang menjadi antipati terhadap aturan yang disodorkan agama. Daripada waktu habis untuk urusan doa-ibadat, jauh lebih baik bekerja keras untuk membantu orang lain membangun dunia yang baik dan yang penting punya moral yang baik, tak perlu agama dan lain sejenisnya.

Tidak ada hubungan logis antara agama dan moralitas. Orang beragama (baik) tidak otomatis bermoral baik dan orang bermoral (baik) juga belum tentu beragama. Karena itu ada orang yang menganggap agama tidak penting

Tapi pentingnya agama memang tidak terletak pada soal moral. Karena itu, kalau kita mau memilih agama tertentu supaya moralitas kita baik, lupakanlah!

Agama tidak diciptakan untuk mengurusi tata ekonomi negara yang bebas korupsi atau tata hukum yang adil atau budaya yang manusiawi. Agama ada pertama-tama untuk menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.

Orang beriman seharusnya punya spiritualitas. Spiritualitas itu memancarkan apa yang kita imani, apa yang kita harapkan, dan apa yang kita kasihi.

Untuk memahaminya, mungkin bisa dibayangkan bumi yang di lapisan terdalamnya ada api pijar yang membara. Seperti struktur bumi, setiap orang memiliki pijar api energi dalam dirinya. Api ini terus menerus mencari perwujudannya dan bagaimana orang menyalurkannya, akan terlihat spiritualitas seseorang. Spiritualitas adalah penyaluran api dalam diri orang itu.

Api desire Suster Cristina tertangkap oleh orang lain. Ini indikasi bahwa rohnya sungguh hidup bergantung bagaimana ia punya keseimbangan dengan hidup doanya. Ini jauh lebih besar daripada pikiran naif bahwa kesucian dan kerohanian adalah pertama-tama soal berapa kali ke gereja, berapa lama berdoa, berapa banyak adorasi, dan semacamnya.

Kesucian bukanlah untuk diri sendiri. Seperti halnya rahmat diberikan untuk dibagikan, demikianlah kesucian hidup layak diperjuangkan dalam membangun komunitas kita.

Sekali lagi ini bukan soal seberapa sering kita beribadah dan menjalankan perintah-perintah agama, melainkan soal bagaimana kita menyalurkan iman, harapan dan kasih ke dalam kegiatan kita. Jadi kesucian bisa dilihat dari buahnya (Mat 7:17-21).

Orang-orang kudus zaman ini mungkin lebih banyak diperlukan bukan di dalam biara-biara atau komunitas-komunitas religius, melainkan di jalan-jalan atau lorong-lorong gelap.

“Jika saya menjadi orang kudus, pastilah saya terus menerus absen dari sorga untuk menjadi terang bagi orang-orang yang berada dalam kegelapan.” (Mother Teresa dari Kalkuta)

Jika orang menentukan dalam sehari tidur-makan-minum-mandi-sport-rekreasi 12 jam, perjalanan 4 jam, kerja 8 jam, tentu tak ada lagi waktu doa. Sebaliknya, kalau urusan makan dll tetap 12 jam, perjalanan 4 jam, tetapi orang mau menjalankan ibadat 2 jam, tentulah waktu kerjanya mesti dipotong 2 jam.

Ini seperti halnya dua keluarga yang tinggal bersebelahan. Dua keluarga penghuni dua rumah yang bersebelahan bisa jadi tak saling mengenal. Orang bisa berdoa setiap hari 2 jam, dan bekerja 8 jam, tetapi tidak menemukan hubungan di antara keduanya.

Orang suci adalah mereka yang menemukan dan menghidupi relasi dalam doa dan kerja. Maka dari itu, doa orang suci tidaklah mengurangi waktu kerja normalnya, melainkan memberi kualitas pada kerjanya. Sebaliknya, kerja orang suci tidak meniadakan doanya, tetapi justru menyempurnakan, mengutuhkan, mewujudkan doanya. Jadi, semboyan orang suci adalah ora et labora.

Seluruh kerja di dunia ini semata untuk kemuliaan Tuhan. Karena itu, kerja semaksimal mungkin dilakukan tidak dengan aneka perhitungan manusiawi tetapi dalam sikap rendah hati bahwa Allah juga bekerja. Kesadaran ini harus kita pelihara dalam doa persembahan harian untuk membuat sinkronisasi antara doa dan kerja.

Kesucian sejati terletak pada kesatuan yang sakral (kesucian) dan yang profan (duniawi) yang diakomodasi oleh hati orang yang diresapi oleh Sabda Allah sendiri untuk membangun dunia yang semakin layak dihuni bersama.

Marilah kita meneladani kesucian Bunda Maria, ibu Yesus. Kesuciannya terletak pada hidupnya yang selalu sejalan dengan kehendak Allah. Ia tetap perawan karena kesuciannya, bukan sebaliknya. Kita pun diundang untuk menjadi orang-orang suci di zaman ini.

(Sumber: Warta KPI TL No.136/VIII/2016 » Renungan KPI TL Tgl 26 Mei 2016, Romo Vincentius Raditya Kurniadi, SVD).

Aku berkata kepadamu:
Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar
dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
(Mat 5:20)