Senin, 15 Agustus 2016

Spiritualitas damai





Apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini? Kekuasaan, jabatan, uang, pengaruh, ketenaran, hidup enak atau... apa lagi? Ternyata setiap orang merindukan kedamaian batin, kasih sayang yang tulus, dan kebahagian sejati


Kedamaian hati tidak mengalir dari perasaan yang serba nyaman dan enak (tanpa soal, tanpa konflik, tanpa masalah dan tanpa keributan). 



Misalnya: karena badan yang sehat atau terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Melainkan kedamaian batin yang merupakan sukacita yang mengalir dari Allah sendiri (Yoh 14:27; 2 Kor 1:3-4); merupakan buah karya Roh Kudus sebagai daya kekuatan Allah yang bekerja di dalam diri kita; yang bersumber pada sikap hati dan tindakan kita yang lepas bebas. Sikap yang mau menyerahkan diri kita secara total kepada Tuhan, memberikan ruang gerak yang sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya kepada Tuhan di dalam hati dan diri kita.



Damai yang diberikan oleh dunia hanyalah damai yang bersifat sementara, damai yang mudah hilang lagi. Karena lebih merupakan hasil usaha atau prestasi sendiri dan sukanya menciptakan korban pada sesama

Saat memasuki masa pacaran, pasangan tampil anggun, menyenangkan dan menarik. Saat kedatangan anak yang pertama lalu kedua membahagiakan pasangan keluarga muda. 

Akan tetapi ketika uang gaji mereka berdua tidak cukup, terasa betapa tidak mudahnya hidup berkeluarga. Masalah demi masalah timbul bertubi-tubi, entah hubungan dengan keluarga besar, dengan anak dan pasangan hidup, dengan penyakit, dengan masyrakat sekitarnya dst - kini terasa menyebalkan dan membosankan.

Saat memasuki masa postulat, novisiat, hati seorang frater, bruder atau suster sangatlah berkobar dan penuh semangat. Bayangan hidup suci, berjalan kayak malaikat sorgawi, memenuhi kalbunya setiap hari. 

Namun, saat sudah menjadi imam, bruder dan suster yang sudah profes ... muncullah litani serba salah.

Demikianlah hari-hari yang harus kita jalani. Perasaan bahagia bergantian timbul tenggelam dengan perasaan sedih, kecewa dan jengkel. Entah apa pun status dan profesi kita, kedamaian hati tidak serta merta datang.

Ciri-ciri orang yang mengalami damai dalam hidupnya
- Menghadapinya dengan tenang dan sederhana. 
- Tidak menggunakan macam-macam cara untuk membela diri, apalagi ganti menyerang mereka yang menuduh. 
- Menyerahkan diri seutuhnya pada Allah dengan kedamaian, sehingga ia menemukan kekuatan untuk dapat mengampuni orang yang menuduhnya, bahkan akhirnya berdamai dengannya, mempertobatkannya dan menghiburnya. 

Orang-orang yang bertobat secara mendadak atau melalui peristiwa besar harus mengalami proses pemurnian (kadang menyakitkan dan masanya panjang, berlangsung seumur hidup); agar siap menerima karunia kedamaian. Doa menjadi kekuatan dan kunci utama untuk masuk ke dalam kedamaian batin bersama Tuhan.

Marilah kita belajar dari Paulus (Kis 9:1-2; 1 Tim 1:12-17)

Paulus sebelum bertobat meyakini bahwa jalan kedamaian dan kebahagian hidup terletak pada jalan hidup yang memegang dan melaksanakan hukum Taurat secara konsekuen - secara halus dan tidak disadari dia melakukan dosa besar dengan menempatkan segala usaha ketekunan dan ketelitiannya dalam menempati hukum Taurat sebagai jaminan keselamatan Tuhan. 

Saat menyaksikan sekelompok orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus Kristus memiliki cara hidup dan keyakinan yang berbeda, Saulus berkobar-kobar hatinya untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan 

» dia mengira dengan melenyapkan orang-orang Kristen dan pahamnya, kebenaran akan bisa ditegakkan dan damai akan bertumbuh (damai yang semu).

Sesudah bertobat, Paulus menyadari bahwa Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa; semua itu dia lakukan tanpa pengetahuan/di luar iman (1 Tim 1:12-16).

Pengenalan akan Kristus menjadi kunci utama seluruh perubahan hidup Saulus menjadi Paulus (Gal 1:15-16; 1 Kor 15:8-9; Flp 3:8) – memiliki cara pandang baru; rela melepaskan dan mengosongkan apa pun yang dianggap berharga selama ini demi dan karena Tuhan Yesus Kristus (Gal 2:19-20).

Paulus harus pulang ke Tarsus, karena dianggap oleh jemaat Yerusalem sebagai orang yang menimbulkan persoalan dengan tokoh-tokoh Yahudi. 

Dia mengalami hidup penuh kesepian yang panjang (Kis 9:29-31; 26:16-17). Tentunya saat itu dia banyak refleksi hidupnya (pewartaannya berkobar-kobar namun dengan perspektif jangka pendek; pewartaan Injil hanyalah karya Tuhan, dia hanya pelayan/kawan sekerja Allah – 1 Kor 3:5-7), banyak membaca Kitab Suci dan terus berdoa. 

Itulah masa sepuluh tahun sesudah pertobatannya, merupakan masa-masa gelap, tidak enak, penuh tantangan dan pergulatan, keraguan dan pertanyaan – merupakan masa pemurnian agar kembali ke makna pokok panggilan dan perutusannya.

Setelah ditempa oleh berbagai cobaan, penderitaan dan kesulitan yang luar biasa, Paulus menjadi seorang pribadi yang istimewa dalam kehidupan iman/rohaninya. Dia memancarkan kedamaian batin yang unggul, kaya dan mendalam sehingga mengalami transfigurasi Tuhan Yesus Kristus sendiri (2 Kor 3:18): 

1. Adanya sukacita batin dan kedamaian yang besar (2 Kor 7:4). 

2. Adanya kemampuan untuk bersyukur (1 Kor 1:4; Flp 1:3). 

3. Adanya sikap pujian (Ef 1:3). 

4. Kemampuan untuk setiap kali memulai lagi tanpa kenal lelah. 

5. Berani tampil dan mengambil sikap yang terkadang berlawanan dengan keyakinan umum (Bdk. Gal 2:5, 13).

(Sumber: (Sumber: Warta KPI TL No. 56/XII/2008 » Spiritualitas Damai, E. Martasudjita, Pr.)