Pages

Kamis, 28 Juli 2016

7 Pilar dasar kehidupan Kristiani



Keutamaan-keutamaan Katolik adalah cara untuk menjalani suatu kehidupan moral yang unggul dan baik menurut standar yang ditentukan oleh Kitab Suci dan Tradisi Gereja Katolik.

Menurut Gereja Katolik, ada dua jenis keutamaan (= kebajikan). Pertama, kebajikan ilahi (1 Kor 13:13 – iman, harapan dan kasih). Kedua, kebajikan manusiawi (Keb 8:7 - kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan penguasaan diri

Kebajikan adalah suatu kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik. Ia memungkinkan manusia bukan hanya untuk melakukan perbuatan baik, melainkan juga untuk menghasilkan yang terbaik seturut kemampuannya, dengan segala kekuatan moral dan rohani. Ia berusaha untuk mencapainya dan memilihnya dalam tindakannya yang konkret.

Memelihara keutamaan-keutamaan dalam kehidupan seorang Kristen berarti menjadi serupa dengan Kristus. Sebaliknya, menciptakan ruang bagi hal-hal yang berlawanan dengan kedua jenis keutamaan itu berarti memelihara kehancuran diri.

Lawan dari kehidupan berdasarkan keutamaan dapat ditemukan pada daftar tradisional mengenai tujuh dosa pokok, yaitu: sombong, kikir, cabul, gelojoh, iri hati, marah dan malas).

Meskipun ketujuh dosa ini bukan lawan seperti bayangan dalam cermin terhadap keutamaan-keutamaan, namun kehidupan yang membuka diri kepadanya tidak sesuai dengan kehidupan yang berdasar pada keutamaan.

Tujuan kehidupan yang berkebajikan
ialah menjadi serupa dengan Allah.
(Gregorius dari Nisa)

Kebajikan Manusiawi adalah sikap yang teguh, kecenderungan yang dapat diandalkan, kesempurnaan akal budi dan kehendak yang tetap, yang mengarahkan perbuatan kita, mengatur hawa nafsu kita dan membimbing tingkah laku kita supaya sesuai dengan akal budi dan iman.

Mereka memberi kepada manusia kemudahan, kepastian dan kegembiraan untuk menjalankan kehidupan moral secara baik. Manusia yang berkebajikan melakukan yang baik dengan sukarela.

Kebajikan moral diperoleh oleh usaha manusia. Ia adalah buah dan sekaligus benih untuk perbuatan baik secara moral; ia mengarahkan seluruh kekuatan manusia kepada tujuan, supaya hidup bersatu dengan cinta ilahi.

Kebajikan manusia yang diperoleh melalui pendidikan, latihan, dan ketekunan dalam usaha, dimurnikan dan diangkat oleh rahmat ilahi. Dengan bantuan Allah menggembleng watak dan memberi kemudahan dalam melakukan yang baik.

Kalau seseorang mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah kebijaksanaan. Sebab ia mengajarkan menahan diri dan berhati-hati, keadilan dan keberanian (Keb 8:7).

Kebijaksanaan adalah kebajikan yang membuat budi praktis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya. Kebijaksanaan langsung mengatur keputusan hati nurani.

Berkat kebajikan ini kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan mengatasi keragu-raguan tentang yang baik dan buruk yang harus dielakkan.
- Orang yang bijak memperhatikan langkahnya (Ams 14:15).
- Kebijaksanaan ialah akal budi benar sebagai dasar untuk bertindak (St. Tomas).

Keadilan sebagai kebajikan moral adalah kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama, apa yang menjadi hak mereka.

Keadilan terhadap Allah dinamakan orang ‘kebajikan penghormatan kepada Allah (virtus religionis). Keadilan terhadap manusia mengatur, harmoni yang memajukan kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama.
- Engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran (Im 19:15).
- Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga (Kol 4:1).

Keberanian adalah kebajikan moral yang membuat tabah dalam kesulitan dan ketekunan dalam mengejar yang baik. Ia meneguhkan kebulatan tekad, supaya melawan godaan dan supaya mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan moral.

Kebajikan ini memungkinkan untuk mengalahkan ketakutan terhadap kematian dan untuk menghadapi segala pencobaan dan penghambatan. Ia juga membuat orang rela untuk mengurbankan kehidupan sendiri bagi suatu hal yang benar.
-  Tuhan itu kekuatanku dan mazmurku (Mzm 118:14).
-  Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia (Yoh 16:33).

Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat.

Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak indrawinya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai.
- Janganlah menuruti segenap keinginanmu, melainkan jauhkanlah dirimu dari segala nafsumu (Sir 18:30).

Kebajikan ilahi adalah dasar jiwa, dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen. Mereka membentuk dan menjiwai semua kebajikan moral.

Mereka dicurahkan oleh Allah ke dalam jiwa umat beriman, untuk memungkinkan mereka bertindak sebagai anak-anak Allah dan memperoleh hidup abadi. Mereka adalah jaminan mengenai kehadiran Roh Kudus dalam kemampuan manusia. 

Ada tiga kebajikan ilahi (1 Kor 13:13):

Iman adalah kebajikan Allah, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri.
- Dalam iman ‘manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah (DV 5). Karena itu manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah.
- Orang benar akan hidup oleh iman  (Rm 1:17).
- Hanya iman yang bekerja dalam kasih (Gal 5:6).
- Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak 2:26).
- Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga kan menyangkalnya di depan Bapa-Ku di sorga (Mat 10:32-33).

Iman
adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat
(Ibr 11:1)

Iman merupakan Misteri agung yang sulit dipahami. Satu-satunya cara untuk memahami iman adalah hidup dalam iman.

Beriman kepada Yesus berarti memutar haluan untuk menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya dan menemukan di dalamnya kegembiraan yang lebih besar daripada semua kegembiraan dan penderitaan yang sementara dalam kehidupan ini.

Iman tumbuh karena pengalaman akan iman orang lain dengan mengambil bagian dalam kehidupan komunitas iman.

Pertumbuhan iman diukur bukan oleh pendapat atau harapan orang lain tetapi hanya dengan ukuran-ukuran Injil.

Hidup menjadi rapuh bila iman lemah atau tidak ada sama sekaliMemiliki iman hidup akan lebih berarti dan memiliki tujuan.

Pandangan yang keliru bahwa iman pada dasarnya menghendaki kita untuk mematikan daya nalar supaya dapat menerima sesuatu yang tidak masuk akal yang disebut “iman buta” tidak mendapat tempat di sini.

Iman buta” seperti ini dapat ditemukan dalam ucapan orang yang mengatakan, “hanya dengan iman kamu akan memahaminya» kalimat ini berarti kita tidak perlu bertanya dan memiliki keraguan. Pandangan ini seringkali digunakan orang sebagai penjelasan atas pertanyaan mengapa kita harus menerima dokrin agama.

Untuk beriman kita perlu bukti, iman tanpa bukti tidak bisa dipertanggungjawabkan. Allah selalu menjawab iman yang mempertanyakan (Adrienne vor Speyr).

Ajaran Gereja Katolik menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang didirikan-Nya.

Untuk menegaskan kembali ajaran Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/menyimpang, Gereja mengadalan Konsili. Dan Konsili menghasilkan Magisterium (Wewenang mengajar Gereja).

Iman bukanlah “penopang”, “tempat pelarian”, atau “jaket pengaman” sebagaimana anggapan orang. Iman lebih sebagai kaki untuk melompat daripada tiang untuk bertaut; lebih sebagai dorongan untuk mengambil resiko daripada pelarian; lebih sebagai sumber ketidakamanan daripada sumber keamanan.

Kadangkala orang berpikir tentang iman sebagai sumber keamanan yang mutlak. Padahal iman sejati menjadi sumber keamanan hanya dalam pengertian yang sama seperti cinta dalam suatu perkawinan yang baik menjadi sumber keamanan, atau hubungan saling menyayangi di antara dua sahabat menjadi sumber keamanan. Kita tidak tahu ke mana perkawinan atau persahabatan itu membawa kita.

Dalam pengertian ini, iman paling tepat digambarkan sebagai sebuah petualangan. Atau juga dapat dilihat sebagai paradoks: menghibur yang menderita dan membuat menderita yang nyaman.

Iman adalah suatu pengalaman jatuh bangun, dan bukan sekali jadi. Iman tidak memastikan ke mana anda akan melangkah tetapi memastikan bahwa anda akan melangkah ke mana pun. Ibaratnya perjalanan tanpa peta. Keraguan bukanlah musuh iman tetapi elemen iman (Tilich)

Apa yang tidak disadari orang adalah resiko agama. Mereka menganggap iman sebagai selimut penghangat di tengah cuaca yang dingin membeku, padahal iman adalah salib, jauh lebih sulit untuk percaya daripada tidak percaya. ... Jangan berharap iman akan memuluskan semuanya bagimu. Iman adalah kepercayaan, bukan kepastian (Flanerry O’Connor).

Kita benar-benar menghayati iman kita hanya dalam dan dengan dan melalui orang-orang beriman yang adalah Gereja, komunitas umat beriman.

Tujuan utama dari komunitas iman bukan untuk menyediakan rahim hangat bagi setiap orang untuk mengungsi dari dunia, tetapi untuk membangun komunitas doa dan pelayanan.

Hubungan yang paling penting dalam kehidupan iman bukan hubungan dalam pengertian “persekutuan”, melainkan hubungan antara orang-orang beriman dan yang terpanggil oleh iman untuk saling peduli.

Komunitas iman bukan sekedar berkumpul bersama orang lain saat perayaan Ekaristi atau minum kopi bersama. Tetapi itu suatu realitas yang jauh lebih dalam. Komunitas perlu bagi iman dan merupakan ekspresi iman.

Iman yang dangkal adalah iman yang tidak dapat bertahan dalam keheningan, yang tidak dapat bertahan tanpa disibukkan terus menerus oleh interaksi dalam komunitas.

Iman menuntut kita mampu menyendiri dengan Allah, karena hanya ketika kita dapat menemukan Allah dalam kesendirian, kita dapat menemukan Allah dalam komunitas.

Sesungguhnya tanpa kesendirian tidak mungkin bisa menjalani suatu kehidupan rohani. Kesendirian diawali dengan menyediakan waktu dan tempat untuk Tuhan. Jika kita sungguh percaya bahwa Tuhan tidak hanya ada, tetapi juga secara aktif hadir dalam hidup kita – menyembuhkan, mengajarkan, dan membimbing – maka kita perlu menyediakan waktu dan tempat untuk memberi Dia perhatian yang tidak terbagi-bagi (Henry Nouwen).

Ketika kita mampu mengenal Roh Allah pemberi kehidupan di tengah kesendirian kita, dan oleh karenanya mampu menegaskan identitas sejati kita, kita pun dapat melihat Roh Allah yang sama itu berbicara kepada kita melalui sesama kita. Dan ketika kita telah mampu mengenal Roh Allah pemberi hidup sebagai sumber dalam kehidupan bersama kita, kita pun akan lebih siap untuk mendengar suara-Nya dalam kesendirian (Henry Nouwen).

Komunitas yang dimaksud tidak dalam pengertian yang dangkal, tempat orang-orang sekedar berkumpul untuk pelarian dan pengungsian.

Komunitas sebagai disiplin merupakan upaya untuk menciptakan ruang bebas dan hampa di antara manusia yang bersama-sama melaksanakan ketaatan sejati. Melalui disiplin komunitas kita mencegah diri kita dari kebersamaan dalam ketakutan dan kesendirian dan menyiapkan ruang bebas untuk mendengarkan suara Allah yang membebaskan (Henry Nouwen).

Komunitas tidak harus berkumpul bersama secara fisik,  .... Ruang bagi Allah dalam komunitas melebihi semua batasan waktu dan tempat (Henry Nouwen).

Orang sederhana tidak melihat iman yang ada dalam dirinya, tetapi Allah membiarkan orang lain yang melihatnya dengan jelas.

Harapan  adalah kebajikan ilahi yang olehnya kita rindukan Kerajaan Sorga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji Kristus dan tidak mengandalkan kekuatan kita, tetapi dengan bantuan rahmat Roh Kudus.

Dalam tiap situasi kita harus berharap, agar dengan rahmat Tuhan kita ‘dapat bertahan sampai akhir... dipersatukan bersama Kristus, mempelai-Nya, dalam kemuliaan sorga’.
- Marilah kita berpegang teguh kepada pengakuan tentang harapan kita, sebab Ia yang menjanjikannya, setia (Ibr 10:23).
- Allah telah melimpahkan Roh Kudus kepada kita melalui Yesus Kristus, Juru Selamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima kehidupan abadi, sesuai dengan pengharapan kita (Tit 3:6-7).
- Harapan Kristen dibentangkan langsung pada awal kotbah Yesus dalam Sabda Bahagia. Pengharapan tidak mengecewakan (Rm 5:5).
- Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita (Ibr 6:19-20).
- Ia juga merupakan senjata yang membela kita dalam perjuangan keselamatan kita: “Baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (1 Tes 5:8).
- Harapan memberi kepada kita kegembiraan dalam pencobaan sekalipun: Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan (Rm 12:12).
- Ia mengungkapkan diri dalam dan dikuatkan oleh doa, terutama doa Bapa Kami.

Keutamaan pengharapan adalah pokok dalam seluruh Kitab Suci. Pengharapan adalah keutamaan yang memampukan kita untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti. Pengharapan bukan sifat alami manusia. Pengharapan berakar dalam hubungan kita dengan Allah dan keterbukaan kita kepada cinta Allah.

Di sinilah letak perbedaan mendasar antara pengharapan dan optimisme. Jika optimisme percaya bahwa hanya ada yang baik-baik saja dalam hidup ini, maka pengharapan justru percaya bahwa kehidupan itu pantas untuk dijalani entah keadaannya menyenangkan ataupun tidak.

Pengharapan mempunyai cakupan makna yang lebih luas daripada sekedar optimisme belaka. Makna pengharapan itu kekal-abadi, sementara optimisme dibatasi oleh ruang dan waktu di sini dan kini. Pengharapan tampil di malam yang paling gelap, lama setelah optimisme menghilang.

Pengharapan memampukan kita untuk bertahan dalam setiap kesulitan maupun penderitaan yang mungkin dialami dalam hidup sekarang ini.

Ketika kita sedang berada dalam situasi sulit, pengharapan akan berbisik kepada kita, “Ini juga pasti akan berlalu.” Jadi, pengharapan membuat mungkin bagi kita untuk tetap setia kepada janji-janji kita.

Pengharapan menuntut kita untuk menjadi orang yang bebas, orang yang dibebaskan dari ketergantungan pada hal-hal lain selain Allah. Pengharapan memperlihatkan dirinya dalam pengetahuan bahwa kita hanya dapat berusaha semampu kita untuk membawa perubahan, tetapi yang menentukan adalah Allah. Allah pasti bekerja menurut waktu-Nya yang tepat, yang seringkali tidak dipahami oleh manusia.

Pengharapan sejati menjadi sangat luar biasa karena bersumber hanya pada kepercayaan akan Sabda Allah dan janji-Nya, bukan pada bukti nyata (Rm 4:18-19).

Pengharapan Kristiani didasarkan pada kemurahan cinta Allah yang dinyatakan kepada kita secara terus-menerus dan teristimewa dengan pengorbanan Yesus untuk mati di Kayu Salib.

Pengharapan tidak mengharapkan apapun; tidak menuntut kepada Allah hasil tertentu. Pengharapan tidak mengatakan, “Inilah yang saya harapkan, dan jika saya tidak mendapatkannya, Engkau keterlaluan Tuhan.”

Sebaliknya, pengharapan mengatakan, “Inilah hidupku, kuserahkan ke dalam tangan-Mu, terjadilah kehendak-Mu, karena hanya Engkaulah yang tahu apa yang terbaik bagiku.”

Pengharapan yang sesungguhnya adalah jika kita bersedia membuka hati selebar-lebarnya terhadap penyelenggaraan Tuhan, yakni apapun kehendak-Nya, pasti yang terbaik.

Pertanyaan mendasar adalah bagaimana memelihara pengharapan dalam kehidupan kita sehari-hari di dunia. Kita ingin menjadi orang berpengharapan, tetapi kita harus melawan godaan kesombongan dan keputusasaan.

Bagaimana kita memelihara pengharapan sejati tanpa bersikap sombong? Bagaimana kita bisa menjadi orang berpengharapan tanpa menjadi orang optimis belaka, yang dapat dengan mudah menghantar kita kepada keputusasaan?

Dengarklan! Pengharapan tidak berasal dari keinginan yang besar dan terus-menerus, secara desakan batin untuk “bersikap penuh pengharapan”.

Pengharapan tidak datang dari sikap berpura-pura menganggap tidak ada kegelapan, penderitaan, ketidakadilan, kemiskinan, kesakitan atau kemalangan yang terjadi sehari-hari.

Pengharapan tidak tumbuh dalam masyarakat yang mengajarkan kita untuk hidup bagi diri sendiri dan dalam budaya yang menyombongkan sebuah pencapaian sebagai cara satu-dsatunya mengalami kebahagiaan sejati.

Pengharapan juga tidak tumbuh dalam dunia yang mengutamakan individualisme dan yang mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita percaya dan andalkan adalah diri sendiri.

Keutamaan pengharapan bertahan dan bertumbuh ketika kita tahu dari pengalaman bahwa hidup kita bernilai hanya jika kita melayani dan peduli pada orang lain; jika kita tahu dari pengalaman sendiri bahwa kebahagiaan dialami manusia ketika ia lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada mencintai diri sendiri, dan pengharapan akan memenuhi hati manusia ketika kita belajar dari pengalaman pribadi tentang apa artinya mencintai Allah.

Kasih adalah kebajikan ilahi yang paling utama (1 Kor 13:13), dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri dan karena kasih kepada Allah kita mengasihi sesama seperti diri kita sendiri.

Yesus membuat kasih menjadi suatu perintah baru. Karena Ia mengasihi orang-orang-Nya ‘sampai pada kesudahannya’ (Yoh 13:1), Ia menyatakan kasih yang Ia terima dari Bapa-Nya.

Melalui kasih satu sama lain para murid mencontoh kasih Yesus, yang mereka terima dari Dia. Karena itu Yesus berkata: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku (Yoh 15:9). Dan juga: “Inilah perintah-Ku: yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihimu (Yoh 15:12).

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-7).

Cinta Kristiani, agape, memberikan pelayanan demi kebaikan orang lain, dan “kesukaan” sering tiidak berhubungan dengan itu. Keutamaan cinta sejati Kristiani bukan cinta romantis, walaupun tentu saja tersedia tempat bagi cinta semacam itu. Keutamaan cinta merupakan dasar mutlak bagi kehidupan Kristiani, sehingga kita harus memberi perhatian penuh kepadanya.

Cinta adalah suatu tindakan atau aksi, bukan suatu perasaan: Cinta adalah perhatian yang aktif terhjadap kehidupan dan pertumbuhan dari sesuatu yang kita cintai. Ketika perhatian yang aktif ini tidak ada maka tidak ada cinta (Erich Fromm, seorang psikolog).

Kunci untuk mencintai adalah pengalaman dicintai, dan pengalaman yang terpenting sehubungan dengan ini adalah pengalami dicintai Allah. Tidak ada suatu pun yang bisa menggantikan kenyataan saya dicintai tanpa syarat oleh Allah.

Sekali pengalaman dicintaioleh Allah, oleh orang lain, atau oleh keduanya – terjadi yang membentuk perspektif kita tentang hidup dan dunia, segala sesuatu menjadi berbeda.

Allah adalah awal sumber cinta. Dalam seluruh Kitab Suci, Allah tampil sebagai kekasih yang setia bagi umat-Nya, dan hubungan antara Allah dengan setiap pribadi digambarkan sebagai hubungan intim penuh kasih. Cinta sebagai hati dan jiwa hidup Kristen.

Cinta Allah menopang dan mendukung semua cinta yang lain. Bahkan sebelum kita mencintai dengan baik, kita harus membuka hati kepada cinta Allah sehingga cinta kita mampu membawa pengaruh yang menyembuhkan kita dari dalam. Tujuannya supaya memberi ruang kepada apa yang disebut “doa cinta kontemplatif”.

Doa ini dapat berupa membiarkan Sabda Allah meresap masuk dan tinggal di dalam hati kita dengan membaca Kitab Suci secara perlahan dan merenungkannya, duduk dan berlutut dengan tenang beberapa saat, sekedar membuka diri kepada cinta Allah. Kosentrasi harus dijaga dengan berulang-ulang mengucapkan doa singkat atau ayat Kitab Suci secara perlahan: ,”Tuhanku dan Allahku”; “Ya Allah, Engkaulah Allah yang kucari”; “Cinta Allah memenuhi hatiku.”

Orang yang menjalankan doa cinta kontemplatif secara teratur setiap hari akan menemukan kemampuan baru yang lebih hidup untuk mencintai dan dicintai.

Keutamaan cinta akan menjadi sejati hanya jika cinta itu bersifat aktif, dalam arti cinta itu harus membantu orang yang dicintai untuk merasa dicintai. Tanpa memberi dan menerima cinta, hidup kita akan hampa dan tanpa tujuan. Dengan cinta, tidak soal apa pun yang terjadi, hidup ini sangat berharga.

(Sumber: Warta KPI TL No.135/VII/2016 » 7 Pilar dasar kehidupan Kristiani, Mitch Finley: KGK  No.1803-1829).