Rabu, 29 Juni 2016

19.12 -

Mat 5:20-26


Sarapan Pagi 
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu
(Yak 1:21)



Penanggalan liturgi

Jumat, 23 Februari 2018: PW St. Polikarpus, Uskup dan Martir - Tahun B/II (Merah)
Bacaan: Yeh 18:21-28;.Mzm 130:1-2, 3-4ab, 4c-6, 7-8; Mat 5:20-26

Kamis, 14 Juni 2018: Hari Biasa X - Tahun B/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 18:41-46; Mzm 65:10abcd, 10e-11, 12-13; Mat 5:20-26

Kamis, 9 Juni 2016: Hari Biasa X - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan1 Raj 18:41-46; Mzm 65:10abcd, 10c-11, 12-13; Mat 5:20-26




Maka Aku berkata kepadamu: Jika (1A) hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Sebab itu, (1B) jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan (2) engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.

Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. 




Renungan


1. Penghayatan hidup keagamaan

Manakah hidup keagamaan yang lebih benar itu? Rupanya penghayatan hidup keagamaan itu tidak cukup sampai pada pengetahuan dan ketaatan pada perintah dan hukum-hukum Tuhan, apalagi yang merupakan warisan dan tradisi keagamaan.

Semuanya harus dihayati dalam semangat dasar yaitu cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Itulah yang dimaksudkan oleh Yesus dengan hidup keagamaan yang lebih benar.

Bila orang sungguh-sungguh menghayati hidup keagamaannya atas dasar cinta kasih, maka jangankan membunuh, marah pun tidak boleh. Cinta kasih itu membawa sukacita dan damai; dalamnya ada pengampunan.

Maka tidak ada artinya beribadah dan membuat persembahan, bila ada amarah, benci dan dendam dengan sesama.

Sebab, pada akhirnya, bukan orang yang tahu banyak tentang Tuhan, menghayati secara harafiah segala perintah dan hukum-Nya yang masuk Kerajaan Sorga, melainkan mereka yang hidup dalam cinta kasih.




2. Bijaksanalah dalam berkata-kata

Apa yang terbayang dalam benak kita ketika mendengar kata membunuh? Dapat dipastikan yang terbayang adalah darah yang tertumpah, parang atau golok, senjata dan bagian tubuh terpenggal.

Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang dengan tindakan fisik. Apakah membunuh hanya berhubungan dengan tindakan fisik manusia? Tuhan Yesus memberikan pemahaman yang lebih luas. Ia mengutip Kel 20;13. ‘Jangan membunuh'.

Selanjutnya, Ia menegaskan bahwa membunuh bukan saja soal aktifitas fisik, tetapi juga ketika mengeluarkan amarah kepada orang lain. Juga pada saat mengatakan orang lain sebagai kafir dan jahil.

Itu semua bentuk perbuatan membunuh sebab dengan amarah, dengan mengatakan kafir, atau jahil, pada saat bersamaan kita membunuh pribadi orang lain. Yang menjadi korban bukan fisik lahiriah, tetapi perasaan dan psikis sesama. Dan bukan tidak mungkin perbuatan tersebut memancing terjadinya pertumpahan darah.

Ketiga hal di atas marah, kafir, dan jahil, terungkap melalui kata-kata yang terucap dari mulut kita. Itu berarti kata-kata yang keluar dari mulut kita memiliki potensi untuk membunuh orang lain. Setiap kata-kata negatif punya potensi untuk membunuh, mematikan dan menghancurkan hidup orang. Oleh karena itu bijaksanalah dalam berkata-kata.



3. Praktek keagamaan tanpa dilandasi iman yang benar

Banyak orang yang mengaku dirinya beragama. Namun seringkali praktek hidupnya tidak mencerminkan mereka sungguh beragama. Kalau begitu apa yang salah? Hidup berimannya yang salah. Iman berhubungan erat sekali dengan agama. Jika menghayati iman secara keliru, maka hidup keagamaan juga ikut keliru.

(1AB) Praktek keagamaan (2) Praktek hidup beriman yang benar, berdamai dengan orang yang disakiti karena Allah menghendaki saling mengampuni.

Praktek keagamaan yang dilandasi dengan iman yang benar akan menunjukkan hidup keagamaan yang lebih baik daripada praktek keagamaan yang tidak dilandasi oleh iman yang benar.

Dalam kehidupan menggereja seringkali kita tanpa sadar jatuh pada hidup keagamaan saja. Akibatnya, kita merasa bosan, kering dan malas untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Itu berarti praktek keagamaan kita tanpa dilandasi iman yang benar.

Oleh karena itu, mintalah Allah untuk membantu kita dalam menghayati iman yang benar agar kita tidak jatuh pada runinitas keagamaan belaka,