Rabu, 29 Juni 2016

1 Raj 19:9a, 11-16

Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya


Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. 
(Yak 1:21)


Penanggalan liturgi

Jumat, 10 Juni 2016: Hari Biasa Pekan X; Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Raj 19:9a, 11-16; Mzm 27:7-8a, 8b-9ab, 13-14; Mat 5:27-32)


1. Keheningan

Di sana masuklah Elia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Lalu firman-Nya: "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan Tuhan!"

Maka Tuhan lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului Tuhan. Tetapi tidak ada Tuhan dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada Tuhan dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada Tuhan dalam api itu.

Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-basa. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?"

Renungan:

Angin sepoi-sepoi melambangkan keheningan. Angin besar dan kuat, gempa dan api melambangkan keramaian, kemeriahan dan kegaduhan.

Pengalaman Elia menunjukkan bahwa di dalam keheningan, orang dapat merasakan kehadiran Tuhan dan mendengarkan suara-Nya.

Keheningan tidak hanya ditandai oleh situasi lahiriah semata, seperti tidak berbicara dan duduk diam. Sebab seseorang bisa saja diam, namun pikirannya berkeliaran ke mana-mana. keheningan lebih berkaitan dengan situasi batin.

Orang yang hening memiliki pikiran teratur dan mudah dikontrol. Ia bisa menguasai keinginan manusiawi.

Orang yang batinnya hening, mampu mendengarkan suara Tuhan. Selain itu ia dengan mudah berkomunikasi dengan Tuhan.

Hidup kita sering penuh dengan keramaian bahkan kegaduhan. Situasi demikian seringkali membuat batin kita kurang peka terhadap suara Tuhan.

Marilah kita melatih diri untuk mengontrol pikiran kita agar kita mampu mendengarkan suara Tuhan dengan jelas.

Tuhan Yesus memberkati.