Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya
Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)
Penanggalan liturgi
Kamis, 17 Januari 2019: Pw St. Antonius, Abas - Tahun C/I (Putih)
Bacaan: Ibr 3:7-14; Mzm 95:6-7, 8-9, 10-11; Mrk 1:40-45; RUybs.
Kamis, 14 Januari 2016: Hari Biasa I - Tahun C/II (Hijau)
Bacaan: 1 Sam 4:1-11; Mzm 44:10-11, 14-15, 24-25; Mrk 1:40-45
Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil (1A) berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: (1B) "Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku."
Maka (3) tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: (2) "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir.
Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras: "Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka."
Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.
Orang kusta dipandang tidak layak berada di tengah masyarakat karena sakitnya. Ia dikucilkan, dipandang sebelah mata, tidak dianggap apa-apa. Ia pasti tertekan, merasa tidak berdaya dan terabaikan.
Menghadapi ini ia tidak goyah. Ia berusaha sekuat tenaga, menyingkirkan segala ketakutan dan kecemasan. Ia berjuang sembari menyadari keberadaan dirinya, dan dengan rendah hati ia menjalankannya.
Akhirnya ia mendapatkan kesembuhan dari Tuhan. Ia memperoleh pengakuan dan dapat tinggal bersama dengan yang lainnya.
Terkadang kita juga merasa tidak diakui, tidak pantas, merasa tidak dipandang atau tidak berdaya karena kelemahan dan keterbatasan kita. Kitapun menjadi tersisih.
Jika kita putus asa, maka kita tidak mendapat apa-apa. Kita menjadi seorang yang kalah.
Tetapi bila kita tetap berusaha berbuat yang terbaik, menyingkirkan segala ketakutan, kecemasan, dengan sikap rendah hati dan mau untuk terus berubah, maka kita akan mendapatkan apa yang kita harapkan.
Memang itu tidak mudah, tetapi bersama Tuhan tidak ada yang mustahil.
Semoga usaha dan tindakan kita yang disertai kerendahan hati dapat semakin membuat kita layak di hadapan Tuhan dan sesama.
2. Tergerak oleh belas kasihan
(3) Penyembuhan ini dilakukan karena belas kasihan.Gerakan hati yang baik dan suci menghasilkan kebaikan dan kesembuhan.
Banyak diantara kita yang tidak memiliki kehendak yang baik untuk menyucikan diri dan orang lain. Terkadang kita diminta mendoakan tetapi tidak memenuhinya. Terkadang kita berniat memberi tetapi tidak mewujudkannya. Jika ini kita lakukan terus-menerus, maka kita akan menampilkan wajah Allah yang pendusta.
Ingatlah! Kita adalah perpanjangan tangan-Nya yang nyata. Ikutilah suara hati yang terkadang membawa kita pada rasa kasihan, terharu, sedih, yang menuntun kita pada kebenaran dan melakukan kasih.
Jadi, jangan keraskan hatimu, tetapi terbukalah pada suara Allah yang baik di hatimu sehingga meringankan beban sesamamu.
3. Sapaan yang menyembuhkan
(1A) Berlutut adalah ungkapan kerendahan hati (1B) Dibutuhkan kemauan untuk datang kepada Yesus dan keyakinan bahwa Yesus memang mampu menyembuhkan penyakitnya.
(2) Permohonan yang disampaikan dengan kerendahan hati mendapat jawaban yang positif.
Disekitar kita (di lingkungan, tempat kerja kita, sekolah atau kuliah) banyak orang yang mengalami perlakuan seperti orang kusta: dijauhi/dikucilkan, dicemooh, didiamkan, dan disingkirkan. Orang yang hidup seperti itu tentu tidak nyaman, tidak tentram. Mereka sebenarnya dalam hati juga merasakan “kalau engkau mau, sapalah aku!”. Cukup ke-mau-an dari kita, maka banyak orang bisa kita sembuhkan.
Marilah kita membuka mata dan hati kita terhadap orang-orang disekitar kita. Mungkin orang-orang itu adalah istri atau suami kita, mungkin juga anak-anak kita yang sudah lama tidak mendapat perhatian dan sentuhan hati secara khusus. Bisa juga orang kusta itu adalah orang tua kita, teman sekomunitas/sepanggilan, sekantor, seperjalanan, dan sebagainya.
Kalau kita tidak “tuli”, tentu permohonan orang kusta dalam perikop injil hari ini dapat kita lakukan. Sapaan kita kepada mereka yang “sakit kusta” dapat dirasakan sebagai sapaan kasih Tuhan sendiri, bila disertai dengan hati dan kemauan.