Jika kita belajar dari sejarah, terutama sejarah Timur
Tengah kuno, ada satu bangsa kecil yang tetap hidup dan bertahan. Siapa bangsa
kecil itu? Bangsa itu adalah Israel. Mengapa? Apa keistimewaan mereka? Karena Allah
menjadi pengikat, mereka memiliki Yahwe. Ini
semua karena ada ikatan khusus antara Yahwe dengan Israel.
Walaupun orang-orang Israel itu sudah melupakan Allah mereka
(Kel 3:13), namun ternyata Yahwe mau mendengarkan jeritan mereka (Kel 2:23; Kel
3:7). Umat Allah tidak dibentuk dari imperium-imperium besar, tetapi justru
dari sebuah bangsa kecil yang tertindas.
Mengapa Israel bertahan, yakni pengalaman berjalan bersama.
Pengalaman itu adalah pengalaman melewati padang
gurun, sebuah perjalanan yang panjang
dan sulit untuk sampai ke Tanah Terjanji. Itu yang membangun ikatan.
Mereka telah dipanggil sebagai umat, artinya mereka tidak
dibebaskan sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama. Ikatan (perjanjian) itu,
bukan saja antara Allah dan mereka, tetapi juga antar mereka. Ini membuat
mereka menjadi saudara. Umat bukanlah sekedar pengelompokan individu-individu,
yang hanya memikirkan hidupnya sendiri-sendiri.
Tidaklah bisa disebut sebagai
“umat”,
hanya karena “masuk” dalam kelompok tertentu, tetapi tidak kenal dengan orang lain dan tidak
peduli dengan urusan orang lain.
Pengalaman padang gurun yang sulit mengajar mereka hidup seperti itu.
Mereka dipanggil dengan tujuan bersama, yakni
menuju Tanah Terjanji.
Atas kehendak Tuhan mereka berhenti dan mendirikan kemah,
atas perintah Tuhan mereka berangkat. Ada kesadaran yang mendalam hidup sebagai
musafir.
Jadi hidup di dunia ini bukanlah tujuan. Tujuan kita adalah
Tanah Terjanji, tanah air sorgawi. Seorang musafir rendah hati, karena sadar bahwa ia
bukan pemilik dunia ini. Ia hidup sederhana, murah hati dan punya
semangat tinggi, karena sadar bahwa
hidup di sini adalah sementara, dan apa
yang dimiliki hanyalah titipan Tuhan.
Kehidupan Israel diorganisir dalam kelompok-kelompok.
Kelompok terkecil disebut “rumah bapak”.
Iman Israel tumbuh pada awalnya dari agama keluarga, artinya
setiap keluarga memiliki “allahnya” sendiri. Allah mereka itu mereka percayai
sebagai pelindung dan penjamin kehidupan keluarga.
Dalam arti tertentu secara langsung bertanggungjawab untuk
kesejahteraan mereka, soal kebutuhan sehari-hari, soal perut dan roti. Ikatan
dalam rumah bapak atau komunitas itu begitu mendalam. Kebersamaan adalah nilai yang
sangat mendasar. Hidup yang satu
terkait dengan hidup saudaranya secara mendalam.
Nasib orang lain juga mempengaruhi hidup yang satu secara
mendalam pula. Seorang saudara laki-laki punya kewajiban mewarisi janda
saudaranya untuk memberi keturunan pada saudara yang meninggal tanpa anak (Ul
25:5-10 – kewajiban
perkawinan ipar).
Demikian, hidup saudaranya tidak terputus, melainkan bisa
abadi. Ini berkat pengorbanan seorang saudara.
Kain membunuh saudaranya, dan gagal menjadi saudara.
Membunuh berarti menolak keberadaan yang lain. Kain menginginkan semuanya,
tempat bagi dirinya sendiri, dan tidak memberi ruang bagi yang lain. Ia ingin
hidup sendiri.
Filsuf Emmanuel Levinas menulis komentar: “Pertanyaan yang
penuh kemarahan Kain inilah asal mula dari setiap imoralitas (Aku tidak tahu!
Apakah aku penjaga adikku?).
Secara alamiah aku adalah penjaga bagi saudaraku. Mengakui
atau tidak, aku adalah penjaga saudaraku, dan kebaikan saudaraku tergantung
dari apa yang kulakukan dan yang tidak
kulakukan”.
Begitu orang itu menatapku, aku mau tak mau sudah
bertanggungjawab atasnya. Hal ini kerap tidak kita sadari dan kita lupakan.
Ada tanggungjawab dan panggilan
dasar setiap manusia
untuk menjadi “penjaga” bagi
saudaranya.
Marilah kita belajar dari pohon bambu:
Bambu adalah pohon
kalangan bawah. Karena kalangan rakyat biasa pada jaman dulu biasanya membangun
rumah mereka dari bambu
» Yesus Kristus itu
seperti pohon bambu, Ia lahir sebagai orang miskin, anak dari seorang tukang
kayu. Tuhan kita adalah Tuhan yang menjadi dan dari kalangan bawah. Karena
golongan biasa inilah kekristenan bisa cepat menyebar di kalangan orang biasa,
terutama di kalangan para budak.
Orang biasa memiliki
keistimewaan, yakni tidak gengsi, dan memiliki solidaritas yang kuat satu sama lain.
Tidak seperti
batang-batang pohon yang lain umumnya penuh, bambu kosong di tengahnya. Karena kosong di dalamnya, membuat bambu
bisa mendatangkan banyak berkah, seperti untuk menyalurkan air.
» di jantung
inkarnasi Kristus ada misteri pengosongan diri (kenosis) Tuhan. Tuhan
mengosongkan diri, di paku di kayu salib, menjadi jalan keselamatan umat
manusia. Jadi, dengan mengosongkan diri orang Kristen bisa menjadi berkah.
Bambu menjulurkan
akarnya ke dalam, dan akar yang satu terkait dengan akar pohon yang lain. Ikatan itu memberi kepenuhan sekaligus kekuatan
yang besar
» demikianlah relasi
antara mereka yang menjadi kristen sebenarnya adalah sebuah
keterkaitan yang dalam, keterkaitan dalam akar.
Akar kita adalah
panggilan Yesus dan iman kita kepada-Nya. Mereka yang menjadi kristen pada
dasarnya adalah orang yang keluar dari dirinya,
lalu
menjawab panggilan Yesus.
Karena itu satu
orang kristen saja, bukanlah orang kristen. Mereka perlu keluar dan menjadi
satu jemaat/komunitas murid Tuhan.
Kesatuan ini semestinya
kuat sekali, karena terjalin pada akarnya, yakni pada Tuhan sendiri.
Tidak ada bambu yang
hidup sendiri. Sebab, segera setelah tumbuh sebagai sebuah pohon bambu, ia
mulai memproduksi tunas-tunas kecil, lalu membentuk sebuah rumpun. Setiap pohon
bambu hidup dalam rumpun
» orang yang mengaku
kristen, tetapi hidup sendiri dan bagi dirinya sendiri, dalam arti tertentu
“bukanlah orang kristen”.
Kekristenan adalah panggilan
bersama. Inti dari ini adalah panggilan untuk mencintai. Ini ada di
jantung iman kristen, sebab Tuhan adalah cinta.
Seperti Tuhan yang
keluar dari diri-Nya bagi keselamatan manusia, seorang kristen adalah mereka yang keluar dari dirinya sendiri bagi kebaikan orang lain.
Mengapa pohon bambu
tidak pernah sendirian dan selalu hidup dalam rumpun? Karena setiap pohon bambu
pada waktunya menumbuhkan anak, lalu muncul banyak bambu dan menjadi sebuah
rumpun
» setiap orang
kristen semestinya “menghasilkan orang kristen” lain. Orang kristen di sini
mungkin tidak selalu dimengerti sebagai orang yang dibaptis.
Namun apa yang lebih
penting adalah membuat orang menjadi
kristen, dalam arti murid Yesus, yang mempunyai semangat/jiwa Yesus dan hidup seturut teladan-Nya.
Pada awal ada bambu
yang sudah dewasa yang sudah sangat tinggi. Ada pula anak-anak bambu yang masih
pendek sekali. Namun sekali tumbuh mereka kelihatan sama, sejajar dalam panjang
dan kekuatan dengan bambu lain yang “senior”
» gereja kita dan
kelompok-kelompok, yang ada di dalamnya entah di paroki, wilayah-wilayah dan
lingkungan-lingkungan tak jarang masih mempunyai kesulitan dalam hal ini.
Hirarki dan
orang-orang tertentu kerap masih nampak dominan dan kurang memberi kesempatan
kepada yang lain untuk ambil bagian. Ini bisa menghambat kebersamaan dan
pertumbuhan dalam Gereja.
Carang-carang bambu,
seolah-olah seperti tangan-tangan yang berpegangan satu sama lain. Mereka
saling terkait satu sama lain. Itu memberikan kekuatan dan rasa akan
solidaritas. Ini adalah salah satu rahasia mengapa umumnya bambu-bambu itu bisa kuat
melawan terpaan angin.
Walaupun kecil dan
tinggi, bambu tidak roboh karena “dipegang”
oleh carang-carang “para saudaranya”.
» demikian
semestinya kehidupan orang kristen seperti cara hidup jemaat pertama (Kis
2:44-45). Mereka mencoba menghayati hidup menurut semangat Yesus sendiri, yakni
semangat kaum
anawim, yakni kaum miskin sederhana
yang pasrah kepada Tuhan.
Pohon bambu pada
awalnya tumbuh dengan sangat perlahan. Pada tahun pertama, tidak kelihatan
apa-apa. Demikian pula pada tahun ke dua, tahun ketiga, tahun keempat.
Menginjak tahun kelima tunas bambu itu tiba-tiba tumbuh dengan cepat, dan
menjadi sederajat dengan yang lain. Bambu membutuhkan waktu untuk tumbuh
» mungkin demikian
juga hidup orang kristen, ada saat tidak kelihatan, tersembunyi di dalam. Dalam
diam dan ketersembunyiannya itu ia menyiapkan segala sesuatu yang perlu nanti
bagi pertumbuhan.
Ini seperti
pengalamanTuhan Yesus di padang gurun, yang ternyata menjadi saat persiapan
penting bagi karya-Nya yang luar biasa itu. Yesus juga diam dalam kubur, tetapi
kemudian meledak dengan kebangkitan.
Untuk tumbuh dengan
baik komunitas-komunitas kristen juga perlu waktu, waktu untuk diam dan
tersembunyi. Butuh waktu untuk sabar satu sama lain. Sabar dengan berbagai
macam orang yang ada di dalamnya.
Walaupun tidak
nampak kokoh, bambu itu lentur, dan justru karena itu ia tahan
terhadap terpaan
» mungkin ini
menjadi panggilan kita sebagai orang kristen dan komunitas. Sejak awal
komunitas kristen punya sejarah panjang dengan ini.
Komunitas-komunitas
kristen menghadapi seribu satu macam tantangan dan penindasan, tetapi tidak
roboh dan mati. Karena orang kristen dan gereja pada dasarnya mempunyai
sifat lentur ini. Ia tidak keras dan kaku, melainkan tetap setia pada ajaran Kristus, kreatif mencari jalan untuk
mewujudkan hidup kristen.
Dengan dibaptis tidak serta merta kita “menjadi kristen”.
Bisa saja kita menjadi orang kristen yang “tidak kristen”
Kristen adalah proses “menjadi”. Sebab kristen berarti
mengikuti
Yesus dan hidup seturut teladanNya.
Kita sedang belajar dan berjalan menjadi kristen. Tak jarang kita merasa “sudah
sangat kristen”, namun bisa jadi kita mengerti kekristenan secara mendangkal.
Kekristenan sebagai “cara/gaya hidup” (Teolog Christopher
Theobald, SJ). Gaya hidup adalah cara bagaimana orang
hadir di tengah dunia (Maurice Merleau-Ponty).
Unus cristianus nullus cristianus sebenarnya berkaitan
dengan cara hidup. Orang kristen adalah mereka yang menghayati hidupnya dalam
kesadaran bahwa ia terkait secara mendalam dengan orang lain, dengan komunitas.
Orang kristen, tak pernah sendiri tetapi selalu dalam komunitas umat beriman dari segala jaman dan segala tempat (Cardinal Walter Kasper).
(Sumber: Warta
KPI TL No. 119/III/2014 » Seminar Unus Cristianus Nullus Cristianus, Rm
Ignatius Budiono, O. Carm).