Pages

Jumat, 25 Maret 2016

Satu orang Kristen saja, bukanlah orang Kristen



“Unus cristianus nullus cristianus”, demikian tulis Tertulianus, seorang Bapa Gereja dari abad-abad pertama kekristenan. Satu orang kristen saja, bukanlah orang Kristen! Apa maksudnya? Untuk menjadi Kristen, minimal harus dua orang (Mat 18:20). Mengapa? Iman Kristen berakar dari iman Israel.

Jika kita belajar dari sejarah, terutama sejarah Timur Tengah kuno, ada satu bangsa kecil yang tetap hidup dan bertahan. Siapa bangsa kecil itu? Bangsa itu adalah Israel. Mengapa? Apa keistimewaan mereka? Karena Allah menjadi pengikat, mereka memiliki Yahwe. Ini semua karena ada ikatan khusus antara Yahwe dengan Israel.

Walaupun orang-orang Israel itu sudah melupakan Allah mereka (Kel 3:13), namun ternyata Yahwe mau mendengarkan jeritan mereka (Kel 2:23; Kel 3:7). Umat Allah tidak dibentuk dari imperium-imperium besar, tetapi justru dari sebuah bangsa kecil yang tertindas

Mengapa Israel bertahan, yakni pengalaman berjalan bersama. Pengalaman itu adalah pengalaman melewati padang gurun, sebuah perjalanan  yang panjang dan sulit untuk sampai ke Tanah Terjanji. Itu yang membangun ikatan.

Mereka telah dipanggil sebagai umat, artinya mereka tidak dibebaskan sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama. Ikatan (perjanjian) itu, bukan saja antara Allah dan mereka, tetapi juga antar mereka. Ini membuat mereka menjadi saudara. Umat bukanlah sekedar pengelompokan individu-individu, yang hanya memikirkan hidupnya sendiri-sendiri.

Tidaklah bisa disebut sebagaiumat”, hanya karena “masuk” dalam kelompok tertentu, tetapi tidak kenal dengan orang lain dan tidak peduli dengan urusan orang lain. Pengalaman padang gurun yang sulit mengajar mereka hidup seperti itu.

Mereka dipanggil dengan tujuan bersama, yakni menuju Tanah Terjanji.

Atas kehendak Tuhan mereka berhenti dan mendirikan kemah, atas perintah Tuhan mereka berangkat. Ada kesadaran yang mendalam hidup sebagai musafir.

Jadi hidup di dunia ini bukanlah tujuan. Tujuan kita adalah Tanah Terjanji, tanah air sorgawi. Seorang musafir rendah hati, karena sadar bahwa ia bukan pemilik dunia ini. Ia hidup sederhana, murah hati dan punya semangat tinggi, karena sadar bahwa hidup di sini adalah sementara, dan apa yang dimiliki hanyalah titipan Tuhan.

Kehidupan Israel diorganisir dalam kelompok-kelompok. Kelompok terkecil disebut “rumah bapak”.

Iman Israel tumbuh pada awalnya dari agama keluarga, artinya setiap keluarga memiliki “allahnya” sendiri. Allah mereka itu mereka percayai sebagai pelindung dan penjamin kehidupan keluarga.

Dalam arti tertentu secara langsung bertanggungjawab untuk kesejahteraan mereka, soal kebutuhan sehari-hari, soal perut dan roti. Ikatan dalam rumah bapak atau komunitas itu begitu mendalam. Kebersamaan adalah nilai yang sangat mendasar. Hidup yang satu terkait dengan hidup saudaranya secara mendalam.

Nasib orang lain juga mempengaruhi hidup yang satu secara mendalam pula. Seorang saudara laki-laki punya kewajiban mewarisi janda saudaranya untuk memberi keturunan pada saudara yang meninggal tanpa anak (Ul 25:5-10kewajiban perkawinan ipar).

Demikian, hidup saudaranya tidak terputus, melainkan bisa abadi. Ini berkat pengorbanan seorang saudara.

Kain membunuh saudaranya, dan gagal menjadi saudara. Membunuh berarti menolak keberadaan yang lain. Kain menginginkan semuanya, tempat bagi dirinya sendiri, dan tidak memberi ruang bagi yang lain. Ia ingin hidup sendiri.

Filsuf Emmanuel Levinas menulis komentar: “Pertanyaan yang penuh kemarahan Kain inilah asal mula dari setiap imoralitas (Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?).

Secara alamiah aku adalah penjaga bagi saudaraku. Mengakui atau tidak, aku adalah penjaga saudaraku, dan kebaikan saudaraku tergantung dari apa yang kulakukan dan yang tidak kulakukan”.

Begitu orang itu menatapku, aku mau tak mau sudah bertanggungjawab atasnya. Hal ini kerap tidak kita sadari dan kita lupakan.

Ada tanggungjawab dan panggilan dasar setiap manusia
untuk menjadi “penjaga” bagi saudaranya.

Marilah kita belajar dari pohon bambu:

Bambu adalah pohon kalangan bawah. Karena kalangan rakyat biasa pada jaman dulu biasanya membangun rumah mereka dari bambu

» Yesus Kristus itu seperti pohon bambu, Ia lahir sebagai orang miskin, anak dari seorang tukang kayu. Tuhan kita adalah Tuhan yang menjadi dan dari kalangan bawah. Karena golongan biasa inilah kekristenan bisa cepat menyebar di kalangan orang biasa, terutama di kalangan para budak.

Orang biasa memiliki keistimewaan, yakni tidak gengsi, dan memiliki solidaritas yang kuat satu sama lain.

Tidak seperti batang-batang pohon yang lain umumnya penuh, bambu kosong di tengahnya. Karena kosong di dalamnya, membuat bambu bisa mendatangkan banyak berkah, seperti untuk menyalurkan air.

» di jantung inkarnasi Kristus ada misteri pengosongan diri (kenosis) Tuhan. Tuhan mengosongkan diri, di paku di kayu salib, menjadi jalan keselamatan umat manusia. Jadi, dengan mengosongkan diri orang Kristen bisa menjadi berkah. 

Bambu menjulurkan akarnya ke dalam, dan akar yang satu terkait dengan akar pohon yang lain. Ikatan itu memberi kepenuhan sekaligus kekuatan yang besar

» demikianlah relasi antara mereka yang menjadi kristen sebenarnya adalah sebuah keterkaitan yang dalam, keterkaitan dalam akar.

Akar kita adalah panggilan Yesus dan iman kita kepada-Nya. Mereka yang menjadi kristen pada dasarnya adalah orang yang keluar dari dirinya, lalu menjawab panggilan Yesus.

Karena itu satu orang kristen saja, bukanlah orang kristen. Mereka perlu keluar dan menjadi satu jemaat/komunitas murid Tuhan.

Kesatuan ini semestinya kuat sekali, karena terjalin pada akarnya, yakni pada Tuhan sendiri.

Tidak ada bambu yang hidup sendiri. Sebab, segera setelah tumbuh sebagai sebuah pohon bambu, ia mulai memproduksi tunas-tunas kecil, lalu membentuk sebuah rumpun. Setiap pohon bambu hidup dalam rumpun

» orang yang mengaku kristen, tetapi hidup sendiri dan bagi dirinya sendiri, dalam arti tertentu “bukanlah orang kristen”.

Kekristenan adalah panggilan bersama. Inti dari ini adalah panggilan untuk mencintai. Ini ada di jantung iman kristen, sebab Tuhan adalah cinta.

Seperti Tuhan yang keluar dari diri-Nya bagi keselamatan manusia, seorang kristen  adalah mereka yang keluar dari dirinya sendiri bagi kebaikan orang lain.

Mengapa pohon bambu tidak pernah sendirian dan selalu hidup dalam rumpun? Karena setiap pohon bambu pada waktunya menumbuhkan anak, lalu muncul banyak bambu dan menjadi sebuah rumpun

» setiap orang kristen semestinyamenghasilkan orang kristenlain. Orang kristen di sini mungkin tidak selalu dimengerti sebagai orang yang dibaptis.

Namun apa yang lebih penting  adalah membuat orang menjadi kristen, dalam arti murid Yesus, yang mempunyai semangat/jiwa Yesus dan hidup seturut teladan-Nya.

Pada awal ada bambu yang sudah dewasa yang sudah sangat tinggi. Ada pula anak-anak bambu yang masih pendek sekali. Namun sekali tumbuh mereka kelihatan sama, sejajar dalam panjang dan kekuatan dengan bambu lain yang “senior”

» gereja kita dan kelompok-kelompok, yang ada di dalamnya entah di paroki, wilayah-wilayah dan lingkungan-lingkungan tak jarang masih mempunyai kesulitan dalam hal ini.

Hirarki dan orang-orang tertentu kerap masih nampak dominan dan kurang memberi kesempatan kepada yang lain untuk ambil bagian. Ini bisa menghambat kebersamaan dan pertumbuhan dalam Gereja.

Carang-carang bambu, seolah-olah seperti tangan-tangan yang berpegangan satu sama lain. Mereka saling terkait satu sama lain. Itu memberikan kekuatan dan rasa akan solidaritas. Ini adalah salah satu rahasia mengapa umumnya bambu-bambu itu bisa kuat melawan terpaan angin.

Walaupun kecil dan tinggi, bambu tidak roboh karena dipegangoleh carang-carangpara saudaranya.

» demikian semestinya kehidupan orang kristen seperti cara hidup jemaat pertama (Kis 2:44-45). Mereka mencoba menghayati hidup menurut semangat Yesus sendiri, yakni semangat kaum anawim, yakni kaum miskin sederhana yang pasrah kepada Tuhan.

Pohon bambu pada awalnya tumbuh dengan sangat perlahan. Pada tahun pertama, tidak kelihatan apa-apa. Demikian pula pada tahun ke dua, tahun ketiga, tahun keempat. Menginjak tahun kelima tunas bambu itu tiba-tiba tumbuh dengan cepat, dan menjadi sederajat dengan yang lain. Bambu membutuhkan waktu untuk tumbuh

» mungkin demikian juga hidup orang kristen, ada saat tidak kelihatan, tersembunyi di dalam. Dalam diam dan ketersembunyiannya itu ia menyiapkan segala sesuatu yang perlu nanti bagi pertumbuhan.

Ini seperti pengalamanTuhan Yesus di padang gurun, yang ternyata menjadi saat persiapan penting bagi karya-Nya yang luar biasa itu. Yesus juga diam dalam kubur, tetapi kemudian meledak dengan kebangkitan.

Untuk tumbuh dengan baik komunitas-komunitas kristen juga perlu waktu, waktu untuk diam dan tersembunyi. Butuh waktu untuk sabar satu sama lain. Sabar dengan berbagai macam orang yang ada di dalamnya.

Walaupun tidak nampak kokoh, bambu itu lentur, dan justru karena itu ia tahan terhadap terpaan

» mungkin ini menjadi panggilan kita sebagai orang kristen dan komunitas. Sejak awal komunitas kristen punya sejarah panjang dengan ini. 

Komunitas-komunitas kristen menghadapi seribu satu macam tantangan dan penindasan, tetapi tidak roboh dan mati. Karena orang kristen dan gereja pada dasarnya mempunyai sifat lentur ini. Ia tidak keras dan kaku, melainkan tetap setia pada ajaran Kristus, kreatif mencari jalan untuk mewujudkan hidup kristen.

Dengan dibaptis tidak serta merta kita “menjadi kristen”. Bisa saja kita menjadi orang kristen yang “tidak kristen”

Kristen adalah prosesmenjadi”. Sebab kristen berarti mengikuti Yesus dan hidup seturut teladanNya. Kita sedang belajar dan berjalan menjadi kristen. Tak jarang kita merasa “sudah sangat kristen”, namun bisa jadi kita mengerti kekristenan secara mendangkal.

Kekristenan sebagai “cara/gaya hidup” (Teolog Christopher Theobald, SJ). Gaya hidup adalah cara bagaimana orang hadir di tengah dunia (Maurice Merleau-Ponty). 

Unus cristianus nullus cristianus sebenarnya berkaitan dengan cara hidup. Orang kristen adalah mereka yang menghayati hidupnya dalam kesadaran bahwa ia terkait secara mendalam dengan orang lain, dengan komunitas.

Orang kristen, tak pernah sendiri tetapi selalu dalam komunitas umat beriman dari segala jaman dan segala tempat (Cardinal Walter Kasper).

(Sumber: Warta KPI TL No. 119/III/2014 » Seminar Unus Cristianus Nullus Cristianus, Rm Ignatius Budiono, O. Carm).