Berikan
sumbangan, maka engkau akan menerima
kembali berlipat ganda.
Seruan
untuk memberikan sumbangan finansial kepada misi evangelisasi dengan
iming-iming untuk mendapatkan kembali apa yang diberikan secara berlipat ganda,
seperti yang sering didengungkan oleh para televangelists
yaitu para evangelis yang melakukan
pewartaan melalui media televisi.
Di
satu sisi, mendukung misi evangelisasi adalah baik, namun kalau dilakukan
dengan motivasi untuk mendapatkan kembali berlipat ganda apa yang akan
diberikan, maka motivasi ini keliru.
Dalam
hal ini, seolah-olah sumbangan dilakukan bukan dengan alasan kasih, namun
menjadi suatu urusan bisnis, yang dilihat dari segi untung dan rugi.
Pemikiran
seperti ini adalah suatu gambaran akan maraknya teologi kemakmuran.
Dalam
artikel ini, kita akan melihat latar belakang dari teologi kemakmuran, pengaruh
materialisme pada teologi kemakmuran.
Lebih
lanjut kita akan menelaah bahwa teologi seperti ini justru bertentangan dengan:
1) Alkitab, 2) jemaat perdana, 3) kehidupan para santa-santo, 4) akal sehat, 5)
dimensi eskatologi.
Dan
pada akhirnya, kita akan melihat tentang apakah sebenarnya yang dimaksud dengan
“hidup berkelimpahan”, yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang,
terutama oleh penganut teologi kemakmuran.
Dengan
memahami makna “hidup berkelimpahan” secara benar, maka kita dapat
menempatkan nilai-nilai Kekristenan dan semangat Injil di tempat yang
semestinya.
Yaitu, hidup berkelimpahan ini terutama menyangkut hal spiritual dan mengarah pada tujuan akhir
manusia, yaitu persatuan
abadi dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga, tanpa melihat apakah orang tersebut kaya maupun miskin secara
jasmani.
I.
Definisi dan sejarah teologi
kemakmuran
1.
Latar belakang teologi kemakmuran
Teologi
kemakmuran mulai dipopulerkan di Amerika pada waktu belakangan ini, terutama
dengan menjamurnya televangelist yang cukup populer, dengan gaya penginjilan
yang khas dan berapi-api.
Secara
prinsip, teologi kemakmuran
mengajarkan bahwa Tuhan tidak hanya
memberikan berkat spiritual, namun
terutama adalah berkat kesehatan dan kekayaan.
Dan
kerap kali kesehatan dan kekayaan dapat diterima sebagai akibat dari tindakan menabur
(seeding), yaitu dengan memberikan
perpuluhan.
Bahkan
dikatakan bahwa kekayaan
adalah suatu tanda bahwa akan kasih
Tuhan kepada umat-Nya.
Kita
dapat melihat akan beberapa pernyataan dari beberapa televangelist maupun
pendeta-pendeta terkenal, salah satunya adalah Joel Osteen yang mengatakan di
salah satu kotbahnya:
“Bagaimana
untuk hidup dalam kemenangan total? Yesus yang mati, telah bangkit pada hari
ke-tiga. Yesus berkata “karena saya hidup, maka engkau juga akan memperoleh
kehidupan.”
Diinterpretasikan
bahwa Yesus menginginkan kita semua untuk mendapatkan hidup yang berkelimpahan:
hidup yang bukan dipenuhi dengan kebiasaan buruk, bukan hidup yang biasa-biasa
saja. Bukan kemenangan setengah-setengah, di mana kita mempunyai keluarga yang
baik, kesehatan yang baik, namun senantiasa mempunyai masalah dengan masalah
keuangan. Ini bukanlah kemenangan yang total. Kalau Tuhan melakukan sesuatu di
satu area, Dia akan melakukan juga di area yang lain.
Orang yang
mengalami masalah kesehatan dan menerimanya sebagai sebuah salib, adalah tidak benar, karena Yesus telah membayar semuanya, sehingga
kita dapat bebas secara total – yang berarti bebas dari kebiasaan buruk maupun
kecanduan, bebas dari ketakutan dan kekuatiran, bebas dari kemiskinan dan
kekurangan, bebas dari kerendahan diri.
Karena
Yesus telah membayar harga agar kita
bebas, maka kita harus bebas
secara total.
Untuk
dapat bebas, maka kita harus tahu siapa diri kita, yang adalah anak-anak Allah, yang bukan
orang-orang yang biasa, telah
direncanakan oleh Allah sebagai pemenang, yang mempunyai kesehatan yang
baik, dan juga banyak uang
untuk membayar tagihan-tagihan, …”
Kalimat-kalimat
di atas adalah merupakan gambaran tentang teologi
kemakmuran, yang ingin
mengedepankan kesuksesan dan kemakmuran di dunia ini, seperti: relasi
sesama yang baik, keluarga yang baik, punya harga diri yang baik, kesehatan
yang baik, dan juga mempunyai kekayaan – sebagai manifestasi dari kebebasan
yang total, yang seolah-olah ditawarkan oleh Yesus, karena Yesus telah membayar
lunas seluruhnya.
Dikatakan,
dengan pengorbanan Kristus, maka seluruh umat Allah harus hidup dalam
kelimpahan, termasuk dalam urusan kesehatan dan kekayaan. Namun, apakah benar
bahwa pesan ini adalah sesuai dengan semangat Injil?
2.
Pengaruh materialisme terhadap
teologi kemakmuran
Kalau
kita melihat secara lebih cermat, maka kita dapat melihat bahwa materialisme yang melanda dunia ini
mempengaruhi teologi kemakmuran. Dunia yang dilanda materialisme –
paham di mana kesuksesan, kehormatan dan kemampuan seseorang menjadi parameter
apakah seseorang menjadi berharga atau tidak, masuk ke dalam teologi
kemakmuran.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan perkembangan teologi kemakmuran yang baru marak di
abad ke-20 ini, di mana materialisme melanda dunia dalam segala bidang.
Materialisme
– paham yang percaya bahwa yang benar-benar ada adalah sesuatu yang bersifat
materi – memberikan pengaruh kepada teologi kemakmuran.
Rahmat
Allah yang terbesar – yaitu janji akan kebahagiaan
Sorgawi – direduksi menjadi
kebahagiaan yang bersifat duniawi dan bersifat material, seperti rumah,
kesehatan, kekayaan.
Dengan demikian, efek dari pengorbanan Kristus di kayu salib direduksi menjadi
kebahagian semu yang ada di dunia ini.
Alasan
untuk mendapatkan kebahagiaan material yang dibayar dengan pengorbanan Kristus,
rasanya menjadi terlalu murah dan terlihat menjadi kesia-siaan, karena memang
Kristus bukan datang ke dunia untuk memberikan kebahagiaan duniawi namun
kebahagiaan sorgawi. Mari kita membandingkan teologi kemakmuran dengan
prinsip-prinsip Alkitab.
II.
Teologi kemakmuran salah dalam
menangkap pesan Alkitab dan tidak didukung oleh kesaksian jemaat perdana
1.
Teologi kemakmuran bertentangan
dengan Alkitab
a. Memang
ada bagian di Alkitab yang menyatakan bahwa Tuhan akan memberikan kemakmuran bagi orang-orang pilihan-Nya.
Dikatakan
“Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan,
dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada
nenek moyangmu, seperti sekarang ini.” (Ul 8:18).
Kita
juga melihat bagaimana kitab Amsal mengatakan “Berkat Tuhanlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan
menambahinya.” (Ams 10:22).
b)
Namun
di satu sisi, Alkitab juga mengatakan bahwa penderitaan – kurangnya kekayaan dan kesehatan – bukan
sebagai bukti bahwa Allah tidak mengasihi umat-Nya.
Kita
melihat di kitab Ayub, di mana diceritakan bahwa Ayub yang saleh
dan jujur serta takut akan Tuhan (lih. Ayb. 1:1),
tertimpa bencana. Dia
kehilangan semua yang dimilikinya, termasuk kekayaannya, ternaknya, termasuk
keluarganya, dan juga kesehatannya.
Dan teman-teman
Ayub mempergunakan teologi kemakmuran, dengan mengatakan “Camkanlah ini:
siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang yang jujur dipunahkan? Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan
dan menabur kesusahan, ia
menuainya juga.” (Ay. 4:7-8). Teman-teman Ayub melihat bahwa kesengsaraan Ayub adalah sebagai akibat dari dosa-dosanya,
karena dalam pemikiran mereka, Allah akan memberikan kelimpahan materi,
kesehatan yang baik, serta kehidupan keluarga yang baik, bagi orang-orang yang
menjalankan perintah Allah. Namun, pemikiran
ini tidak dibenarkan oleh Allah (lih. Ayb 42:7).
Dari
kitab Ayub ini, kita sebetulnya melihat dimensi lain dari penderitaan, yang bukan
sebagai hukuman atas dosa, namun sebagai
penderitaan yang innocent, yang
selayaknya diterima sebagai suatu misteri.[1]
Paus
Yohanes Paulus II dalam ensiklik Salvific Doloris, menyingkapkan penderitaan sebagai kesempatan untuk pertobatan, yang membangun kebaikan dari orang yang mengalaminya.[2]
Dengan
demikian, pengajaran teologi
kemakmuran, yang melihat bahwa penderitaan fisik (jasmani maupun kemiskinan)
sebagai sesuatu yang salah, seolah
menutup adanya rahmat Allah yang dapat bekerja secara istimewa kepada
orang-orang yang sedang mengalami penderitaan fisik.
Walaupun
Kristus mengatakan “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka
semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mt 6:33), yang sering menjadi ayat
andalan dari teologi kemakmuran, namun di ayat-ayat yang lain, Kristus juga
memperingatkan para murid untuk berhati-hati terhadap bujukan mamon. Dikatakan
“Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang
seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Allah dan kepada Mamon.” (Mt 6:24).
Bahkan
ditegaskan sekali lagi “Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang
jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Lk 18:25).
Dengan
demikian, penekanan bahwa Tuhan pasti akan memberikan berkat-berkat material
sebagai tanda kasih-Nya kepada umat manusia, tidaklah menyampaikan kebenaran
penuh akan pesan Kristus.
Hal
ini bahkan dapat menyesatkan, terutama
jika Kristus kemudian seolah digambarkan sebagai tokoh semacam ‘sinterklas’
yang membagi-bagi hadiah.
2.
Teologi kemakmuran bertentangan dengan
kehidupan jemaat perdana
Kalau
kita menganalisa sejarah kekristenan, maka kita akan dapat melihat bahwa pada
masa awal kekristenan, bukan kekayaan materi dan kesehatan yang baik, yang
mereka dapatkan, namun justru dikejar-kejar oleh penguasa.
Kita
dapat melihat contoh mulai dari Yesus yang akhirnya meninggal di kayu salib,
para rasul yang juga menderita dan mati dalam penganiayaan, para jemaat perdana
yang juga menderita dan banyak yang meninggal dalam mempertahankan iman mereka.
Tubuh
mereka bukannya mendapat kesehatan yang baik, namun sering berakhir pada perut
singa-singa yang buas.
Mereka
inilah yang dengan setia memegang dan menjalankan pengajaran Kristus sampai
pada titik mengorbankan diri mereka. Mereka mencintai kebenaran yang diwartakan
oleh Kristus lebih daripada harta kekayaan mereka, melebihi tubuh mereka dan
melebihi nyawa mereka. Bahkan dikatakan bahwa Gereja dibangun di atas darah
para martir.
3.
Teologi kemakmuran bertentangan
dengan kehidupan para santa-santo
Kalau
kita mempelajari kehidupan para santa-santo, maka kita melihat bahwa mereka
adalah orang-orang yang dipakai oleh
Tuhan dengan begitu luar biasa. Mereka senantiasa bekerjasama dengan rahmat Tuhan, sehingga menghasilkan buah-buah yang
limpah, dalam membawa banyak
orang kepada Tuhan, melalui
doa- doa dan karya kerasulan mereka.
Namun,
apakah mereka mempunyai kesehatan yang baik serta kekayaan yang berlimpah?
Mayoritas dari kehidupan para santa-santo diwarnai dengan begitu banyak
penderitaan.
Namun
demikian mereka tetap memiliki keberanian untuk mengasihi Kristus dalam kondisi
tersulit apapun.
Kita
melihat Santo Fransiskus dari Asisi, yang meninggalkan kekayaannya demi untuk
mengikuti Kristus secara lebih total. Dia menjadi santo yang besar dalam
sejarah Gereja, bukan karena kekayaannya, namun karena keberaniannya dalam
mengikuti Kristus, termasuk dalam hal kemiskinan, kemurnian dan ketaatan.
Lihatlah
kehidupan Santo Thomas Moore dari Inggris, yang memilih kehilangan keluarga,
kekayaan dan jiwanya untuk tetap setia pada Kristus dengan setia terhadap
pengajaran Gereja Katolik.
4.
Teologi kemakmuran bertentangan
dengan akal sehat
Kalau
kasih Kristus kepada umat-Nya diukur dari seberapa banyak umat-Nya menerima
berkat finansial, maka sungguh sangat disayangkan, dan bahkan tidak sesuai
dengan akal sehat.
Bayangkan
nasib dari begitu banyak penduduk miskin di dunia. Menurut data tahun 2001, ada
1,1 milyar orang masuk dalam garis kemiskinan yang ekstrim dan 2,7 milyar masuk
dalam garis kemiskinan, yang hidup kurang dari US$ 2 (Rp 18,000) per hari.
Ini
berarti ada sekitar 40% dari populasi dunia berada di bawah garis kemiskinan.
Bahkan dikatakan bahwa 6 juta anak-anak meninggal setiap tahun atau sekitar
17,000 meninggal setiap hari.
Kalau
kekayaan material adalah identik dengan kasih Tuhan, maka bagaimana mungkin,
kita dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak mengasihi orang-orang miskin dan
anak-anak yang meninggal setiap hari karena kemiskinan?
Bagaimana
mungkin bahwa Tuhan pilih kasih dan memberikan hukuman kepada mereka yang hidup
dalam kemiskinan, dan sebagian bukanlah akibat kesalahan mereka sendiri…
5.
Teologi kemakmuran menghilangkan
dimensi eskatologi
Dengan
memberikan penekanan pada kemakmuran material di dunia ini, maka teologi kemakmuran secara tidak langsung
mengaburkan dimensi eskatologi – yaitu yang berhubungan dengan akhir
zaman.
Penekanan
yang terlalu banyak akan kebahagiaan material dari teologi kemakmuran membuat
seseorang berfokus pada apa yang terjadi di dunia ini dan mengaburkan apa yang
menjadi tujuan akhir dari seorang
Kristen, yaitu berkumpul
bersama dengan Allah untuk selamanya di dalam Kerajaan Sorga.
Kita
tahu bahwa seorang Kristen hidup di dunia ini, namun bukan dari dunia ini. Seorang Kristen harus mempunyai
kesadaran bahwa apa yang
dialami di dunia ini hanyalah bersifat sementara, karena pada saatnya
nanti ketika kemah kita di dunia ini dibongkar, maka Allah telah menyediakan
tempat kediaman abadi di Sorga (lih. 2 Kor 5:1).
Seorang Kristen
harus tahu
bahwa kebahagiaan sejati bukanlah
kebahagiaan material, namun kebahagiaan
spiritual, yang akan diterima
dan dialami secara penuh pada saat kita masuk dalam Kerajaan Sorga.
III.
Arti yang sesungguhnya dari “hidup
berkelimpahan”
Kalau
teologi kemakmuran menekankan kemakmuran material, maka sebenarnya tidak ada
yang salah dengan kata “kemakmuran“, namun yang menjadi masalah adalah
penekanan kemakmuran pada hal-hal yang bersifat material.
Berjuang
untuk memperbaiki taraf hidup, tentu merupakan sesuatu yang baik. Namun tentang
hasilnya, apakah kita menjadi kelimpahan atau tidak secara duniawi, bukanlah
yang menjadi fokus utama dalam kehidupan umat beriman.
Sebab
bukan itu yang menjadi janji Tuhan yang terutama. Kalau Tuhan memberi rejeki
duniawi berkelimpahan, puji Tuhan. Kalau tidak, juga tetap puji Tuhan! Tuhan
mengetahui yang terbaik bagi kita.
Tuhan
memang tidak melarang, bahkan mengajarkan kita untuk memohon rejeki/makanan
secukupnya setiap hari, dan ini kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami.
Janji
inilah yang ditepati-Nya pada orang-orang yang percaya kepada-Nya. Namun Tuhan
tidak menjanjikan kelimpahan materi kepada setiap orang.
Memang
Yesus mengatakan “Aku datang,
supaya mereka mempunyai hidup,
dan mempunyainya dalam segala
kelimpahan.” (Yoh 10:10).
Rasul
Paulus juga menekankan hidup yang berkelimpahan, namun bukan berkelimpahan dari
sisi material, namun berkelimpahan
dalam kasih karunia (lih. Rm 5:20; Ef 2:7) dan oleh kekuatan Roh Kudus,
kita dapat hidup berlimpah-limpah
dalam pengharapan (lih. Rm 15:13), serta kelimpahan akan iman, kebajikan, penguasaan diri, ketekunan,
kesalehan, kasih (lih. 2 Pet 1:6-8).
Dengan
demikian, kita melihat bahwa kasih karunia Allah dicurahkan secara melimpah
kepada umat yang terus bekerjasama dengan rahmat Allah. Namun, Yesus sendiri
tidak pernah menjanjikan kelimpahan material, walaupun Dia juga akan memberikan
rejeki kepada orang-orang yang mencari Kerajaan Allah dan bertanggung jawab
terhadap panggilan hidupnya.
Dia
mengatakan kepada para murid yang telah meninggalkan segala sesuatu untuk
mengikuti Yesus “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya,
saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak
atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh
hidup yang kekal.” (Mt 19:29).
Apakah
“seratus kali lipat” adalah merupakan janji untuk mendapatkan sesuatu yang
bersifat material (harta, kedudukan, kesehatan, dll) ataukah sesuatu yang
bersifat spiritual?
Untuk
melihat ini, maka kita dapat melihat apa yang terjadi pada para rasul. Apakah
para rasul mendapatkan kekayaan? Tidak sama sekali. Bahkan, semua rasul
mendapatkan penderitaan dan kematian karena mengikuti dan mengajarkan kebenaran
Kristus.
Namun,
di tengah-tengah penderitaan mereka, mereka tetap menerima rahmat yang berkelimpahan, yaitu rahmat spiritual – kegembiraan
dalam menghadapi penderitaan dan rahmat pengharapan yang tak pernah surut, karena
percaya akan janji Kristus.
Dengan
demikian, makna dari hidup berkelimpahan sebagai rahmat yang mengalir sebagai
orang yang percaya dan senantiasa bekerjasama dengan rahmat Allah adalah
senantiasa bermakna spiritual, entah orang tersebut kaya maupun miskin.
Atau
kita harus menyetujui bahwa rahmat spiritual adalah lebih penting daripada
rahmat material, karena spiritual adalah lebih utama dan kekal daripada
material yang bersifat hanya sementara.
Dengan
demikian, hidup berkelimpahan terbuka bagi siapa saja, baik bagi yang kaya
maupun yang miskin, yang berarti Tuhan memberikan kesempatan yang sama bagi
semua orang.
Bahkan
orang-orang yang miskin
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan hidup yang
berkelimpahan, karena mereka adalah orang-orang
yang senantiasa mengandalkan belas kasih Tuhan.
Dikatakan
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga.” (Mt 5:3).
Dengan
memberikan penekanan bahwa keutamaan hidup berkelimpahan adalah sesuatu yang
bersifat spiritual, maka umat Allah akan senantiasa berfokus pada sesuatu yang
spiritual dan mengarahkan pandangan pada tujuan akhir, yaitu persatuan abadi
dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga tanpa juga melupakan kebaikan badan yang
harus dipenuhi selama kita berada di dunia ini.
Kesimpulan:
Dari
pemaparan di atas, maka terlihat bahwa teologi
kemakmuran adalah teologi
yang berfokus pada sesuatu yang bersifat material dan sementara, yang bertentangan dengan pesan Kristus
sendiri – yang senantiasa mengutamakan rahmat spiritual dan tujuan akhir dari
manusia, yaitu persekutuan abadi dengan Allah di dalam Kerajaan Sorga.
Dengan
demikian, teologi kemakmuran
terlalu menyederhanakan – mungkin lebih tepatnya membelokkan – pesan
Injil.
Teologi
kemakmuran menjadi sangat berbahaya di tengah-tengah kehidupan yang didominasi
oleh materialisme, karena seolah-olah mereka mendapatkan pembenaran dari
orientasi mereka ke hal-hal yang bersifat material.
Para Bapa Gereja dan jemaat Kristen awal, tidak
pernah mengajarkan tentang penekanan terhadap kemakmuran jasmani.
Sebaliknya, yang diajarkan
mereka adalah untuk menunjukkan kasih
kita kepada Tuhan sampai ke titik darah penghabisan: menyebarkan Injil
meski di dalam keadaan kekurangan dan penganiayaan, dan bahkan berani
menyerahkan nyawa demi mempertahankan iman.
Sesuatu
yang perlu direnungkan adalah buah-buah dari pengajaran Teologi sukses itu.
Apakah umat jadi mau prihatin dan lebih berbelas kasih kepada sesama, atau
malah cenderung menjadi sombong, dan menganggap bahwa orang miskin itu ‘layak’
miskin karena dosa mereka, sehingga mereka tidak diberkati? Bukankah ini
namanya menghakimi? Hubungannya dengan Tuhan bisa seperti hubungan ‘dagang’,
seolah mau memberi sekian persen penghasilan dengan harapan menerima berlipat
ganda dari Tuhan, semacam investasi saja.
Belum
lagi kalau Teologi ini membuat umat menjadi terikat dengan kenikmatan materi,
dan ini sudah pasti tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci, sebab malah
dikatakan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan (1 Tim 6:10); atau
bahkan Tuhan Yesus mengajarkan agar menjadi sempurna seseorang dipanggil untuk
memberikan semua harta miliknya kepada orang miskin dan kemudian mengikuti Dia
(Mat 19:21).
Selayaknya
kita mengingat bahwa Tuhan Yesus sendiri memilih untuk lahir sebagai orang
miskin, untuk mengajarkan kepada kita untuk hidup ‘miskin di hadapan Allah’
(Mat 5:3). Semoga kita sebagai murid- murid Kristus dapat diberi kebijaksanaan
untuk menilai mana ajaran yang berasal dari Tuhan, dan mana yang bukan.
Dan
agar jangan sampai kita memilih-milih ajaran, yang mudah dan enak didengar kita
terima, tetapi yang sulit kita tolak.
Kita
harus berdoa agar kita dimampukan oleh Tuhan untuk melaksanakan “segala sesuatu
yang diperintahkan oleh-Nya” (lih, Mat 28:20) dan bukan untuk memilih-milih
ajaran sesuai dengan kehendak sendiri.
CATATAN
KAKI:
Paus
Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris, 11 [↩]
ibid,
13 [↩]
(Sumber:
Teologi kemakmuran: ajaran gampang tapi salah!, katolisitas.org).